Friday 27 July 2007

Khatib Jum'at

Barusan saya Jumatan di kantor tetangga sebelah, Departemen Perhubungan. Cukup mengerikan mendengar uraian khatibnya. Bila khatib Jumat untuk kawasan merdeka barat aja, yang note benenya jamaahnya relatif well informe dan well educated seperti ini, bagaimana dengan khatib di kampung-kampung dan kawasan yang jauh dari akses informasi.

Mengutip hadits nabi, Sinfaani min ummati .... " bahwa dua kelompok masyarakat yang menurut nabi paling menentukan perjalanan sebuah bangsa adalah ulama dan umara. Konyolnya analog dan tafsir yang diberikan tidak karuan.

Menurut sang khatib mesti ada kerjasama antar keduanya sehingga bangsa ini menjadi maju. Contohnya seperti umara, dengan kekuasaan yang dimilikinya, membangun masjid nanti ulama yang akan mengajarkan tafsir didalamnya karena tidak mungkin ulama bisa mengajarkan tafsir.
It's ok menafsirkan umara sebagai penguasa, pejabat, mentri, presiden dll. Tetapi menafsirkan ulama sebagai guru ngaji atau orang yang tahu agama jadi sangat problematis. Jadi tidak ada keterkaitan sama sekali dengan ajaran perubahan sosial yang selama ini kita pelajari dari sosiologi. Kasihan juga kan kalo para intelektual, cendikiawan tidak dianggap sebagai ulama.

Pemahaman secara leterleks dari kata Ulama saja sudah menginspirasikan makna yang sangat luas. Apalagi mau ditelusuri lebih mendalam secara definitif atau konteks sosiologisnya. Saya gak tahu khatib mengerti bahasa arab atau tidak. Yang pasti peci yang dia pakai tidak menjadi jaminan dia paham bahasa arab hehehe...

Beberapa minggu sebelumnya, ketika saya Jumatan disana, khatib nya lebih ngawur lagi. Tanpa argumentasi dan data yang jelas, juga tidak jelas ujung pangkalnya, tiba-tiba saja membela pemprov DKI dalam masalah penanganan banjir dan memaklumi itu sebagai sebuah musibah tahunan sehingga kita mesti menerimanya. Jadi kasihan sama bapak saya yang selalu serius dan berkorban habis-habisan bila mau jadi khatib Jumat.

Saya ingat masa-masa kuliah di Fikom Unpad dulu. Pada hari Jum'at dan bila tiba saatnya shalat Jumat kita selalu mengusahakan bareng-bareng pergi ke masjid yang kira-kira enak. Pertanyaan saya ketika itu ke temen; mau shalat jumat atau mau tidur?kalo mau tidur shalat nya di masjid kampus aja. Teman-teman langsung saja ketawa.

Bukan apa-apa, pertanyaan saya itu memang bentuk kesinisan saya terhada masjid di kampus Unpad Jatinangor ketika itu. Waktu itu, saya yakin sekarang juga masih, thema khutbah Jumat tidak pernah beranjak dari masalah khilafah dan syariah Islam. Tidak ada sesuatu yang baru baik dari tekhnik penyajian maupun substansi khutbahnya. Yang lebih mengerikan ketika thema khutbah jumat tidak pernah mengajarkan semangat toleransi antar umat beragama.

Tidak tahu darimana dan bagaimana mesti memulainya, kondisi seperti ini mesti dirubah. Bila pembicaraan para khatib Jumat ngawur, seenaknya dan tidak jelas argumentasi serta datanya seperti apa, akan menjadi kontraproduktif. Bila audiences nya well informe dan well educated mungkin sang khatib yang hanya akan menjadi bahan tertawaan. Repotnya bila berhadapan dengan audiences yang lugu. Segala ucapannya menjadi rujukan sikap dan tingkah laku di masyarakat, karena bagaimanapun agama masih menjadi pegangan masyarakat kita.

Disinilah repotnya. Kerugian pertama agama kehilangan elan vitalnya sebagai penunjuk kehidupan individu dan kelompok. Kerugian kedua kehidupan masyarakat jadi rusak.

Semoga hanya kekhawatiran yang berlebihan dan kesalahan mengambil kesimpulan.

Jakarta, 27 Juli 2007

No comments:

Post a Comment