Friday 20 July 2007

Sambil berdo'a, kita ...

Pada satu sessi materi Leadership Basic Training yang saya ikuti di PII, sejarah perjuangan umat Islam, saya diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang pola perjuangan umat Islam yang mesti dilakukan. Saya ngotot dan habis-habisan meyakinkan temen-temen se lokal bahwa umat Islam mesti mengambil politik sebagai jalur perjuangannya. Tidak cukup pendapat pribadi, kelompok diskusi yang saya pimpin pun saya arahkan mengambil kesimpulan, bahwa politik sebagai sebuah bentuk utama perjuangan yang mesti diambil oleh umat Islam. Politic is the prime way

Kalau ingat masa itu, sepertinya instruktur training basic saya di PII pasti tersenyum. mendengar segala macam argumentasi yang saya kemukakan. Maklum saja, anak kelas 2 SLTA ngomong-ngomong analisis politik. Pastinya hanya berdasar berita koran. Apalagi ketika itu politik komunikasi Indonesia mutlak dalam kontrol pemerintah. Tetapi saya yakin saja. Waktu itu pasti instruktur saya bangga. Mendengar anak kelas 2 SLTA fasih menyebut nama-nama Agus Salim, tokoh-tokoh Masyumi, pakar politik, mengutip omongan mereka dll. Tentunya dengan segala keterbatasan informasi yang dimiliki anak SLTA di daerah.

Sekarang yang namanya dunia politik itu ada di depan mata saya. Meskipun gak deket-deket amat, seperti teman-teman yang pada jadi asisten para anggota DPR RI. Tetapi minimal waktu saya jadi Ketua Umum PB PII saya berkesempatan berinteraksi dengan para politisi. Mulai satpam rumah ketua umum sampai ketua umum partainya pernah saya temui dan ngobrol intens. Sebagai mahasiswa sempat dikit-dikit baca buku politik dan mendengar omongan para politisi senayan secara langsung. Sekarang, kerja sebagai news analyst isyu publik, memberi kesempatan untuk dikit-dikit baca analisa politik di koran dan baca blog tentang politik.

The End Of Idiology...

Kalo Fukuyama menyebutkan telah terjadi The End of History, untuk politik Indonesia saya pikir telah terjadi The End of Idiology. Coba baca analisa-analisa politik yang biasa muncul di Kompas atau media lainnya. Mulai dari tulisan Sukardi Rinangkit, Budiarto Shambazy atau Eef yang sekarang muncul ke permukaan kembali. Semuanya bernada pesimis melihat perilaku para politisi kita dan manuver-manuver yang dibuatnya. Tidak terbaca ada wacana yang di bawa, tidak terasa adanya keberpihakan idiolgis. Muaranya hanya satu, mempertahankan kursi yang diduduki sekarang. Caranya?menjaga popularitas,bagaimanapun caranya, sehingga pemilu berikutnya bisa terpilih kembali.

Contoh lapangan terdekat bisa dibaca dari analisa Media Indonesia yang saya baca hari ini (Jumat, 12 Juli 2007) hal 17 dalam rubrik Analisis. Tulisan menarik perihal privatisasi BUMN. Judulnya “Sebagai ‘Lumbung Keuangan’ BUMN sulit lepas dari intervensi politik”

Analisanya berdasar hasil dari survey LSI (Lembaga Survei Indonesia) tanggal 15-24 Maret 2007. Menurut Marbawi, analis politik litbang media group, pada dasarnya keberatan partai politik menolak program privatisasi BUMN bukanlah berdasar sebuah pilihan analisa ekonomi apalagi keberpihakan idiologis mazhab ekonomi tertentu. Penolakan program privatisasi BUMN lebih didasarkan kepada dual hal semata. Pertama usaha menjaga popularitas partai, karena privatisasi telah di image kan di masyarakat sebagai usaha menjual negara kepada asing. Bila popularitas tidak dijaga, pemilu berikunya siap-siap aja kelaut. Kedua adalah urusan pundi-pundi partai. Bila BUMN di privatisasi dijamin partai tidak bisa menjadikannya sebagai sapi perah lagi. tidak bisa jadi lumbung keuangan partai seperti yang terjadi sebelumnya. Karena BUMN akan dikelola secara profesional.

Inilah gila dan sakit hatinya saya. Bertahun-tahun saya meyakini privatisasi sebagai tindakan bodoh dan menjual aset negara. Doktrin kaum marxist tentang ketertindasan struktural negara terbelakang begitu saya pegang. Ternyata bagi para politisi penolakan privatisasi tidak lebih dari kepentingan popularitas dan pundi-pundi partai. Saya bayangkan orang-orang seperti Revrisond Baswir atau Ichsanudin Noorsy yang habis-habisan menolak privatisasi pasti jengkel melihat langkah para politisi itu.

Sisi lain yang juga menjadi bahan perhatian terdekat saya sekarang ini adalah tentang sistem politik dan design pemilu. Sekarang ini, dipimpin Ferry Mursyidan Baldan, politisi dari Partai Golkar, DPR RI sedang membahas RUU politik. Menurut saya kita mesti siap-siap saja untuk melihat tidak adanya perubahan revolusioner dari para anggota DPR RI dalam mendesign sistem politik dan pemilu kita yang memang tidak sinkron. Sistem yang memungkinkan semuanya menikmati kekuasaan. Sulit menemukan cita-cita demokrasi yang diamanatkan oleh gerakan reformasi.

Kita membangun sistem politik presidensialisme sementara disisi lain design pemilu kita adalah sistem proporsional. Studi politik justru menunjukan tidak compatiblenya antara sistem presidensial dengan sistem proporsional dalam pemilu.

Sistem presidensial berarti adanya derajat governability yang sangat tinggi. Sementara hal itu terhalang dengan sistem proporsional dalam pemilu yang memunculkan fenomena multi partai dan pada akhirnya melahirkan kartelisme partai. Derajat governability, sebagai syarat memerintah secara efektif, habis oleh kartelisme partai. Kekuasaan tinggi yang dimiliki oleh presiden seolah di tarik kembali oleh para pemimpin partai yang merasa memiliki keterwakilan dengan sistem pemilu yang menghasilkan derajat refresentativeness.

Posisi SBY-JK sebagai ”Juara” dalam pilpres langsung 2004 bermakna adanya kepercayaan penuh dari publik terhadap SBY-JK yang berarti kekuasaan ada di tangan sang juara. Tetapi derajat govern itu di preteli oleh para pemimpin partai. Mestinya yang terjadi adalah kontrol pemerintah di oleh anggota DPR. Tetapi yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Kontrol pemerintah berada di tangan para pemimpin partai. Sehingga tidak salah dalam setiap kali reshuffle selalu saja menimbulkan gonjang-ganjing panas di kalangan para pimpinan partai.

Jadi sebetulnya menurutku keramaian yang terjadi di gedung DPR yang menggugat presiden dengan interprelasi Lapindo, Irak dsb hanya sandiwara saja atau sakit hati tidak dapat jatah. Karena sangat lucu, melihat anggota partai Golkar,PBB menuntut adanya interpelasi terhadap presiden. Bukankah partai mereka pendukung utama pemerintah sekarang?

Jawab dari semuanya memang karena tidak ada keberpihakan idiologis yang dimiliki oleh para politisi kita. Semuanya bergerak berdasarkan adanya ancaman terhadap posisi dan peluang meraih posisi. Semuanya tentang kepentingan. Konyolnya kepentingan itu bukan kepentingan idiologis, tetapi kepentingan personal. Sangat menyakitkan.

Sebagai seorang muslim saya tidak pernah membayangkan adanya politisi atau pemerintah yang govern dengan idiologi Islam, ataupun sebaliknya. Saya tidak pernah membayangkan sistem sekular ditindas habis tidak diberi ruang berpartisipasi dan memegang kekuasaan. Bayangan saya dengan sistem demokrasi, semua idiologi berhak dan berhak memposisikan diri sebagai oposisi. Kesempatan untuk berkuasa dan perlindungan terhadap oposisi akan melahirkan keseimbangan dalam proses perjalanan politik di Indonesia.

Pemerintah beridiologikan agama tidak akan pernah menjadi jaminan adanya kehidupan dan kebijakan-kebijakan yang religius. Justru disinilah terletak potensi kerusakan yang sangat akut, ketika agama menjadi legitimasi bagi perjalanan sebuah kekuasaan. Begitu juga ketika idiologi sekular berkuasa. Tidak akan menjadi jaminan perjalanan kekuasaan menjadi lebih rasional.

Apapun idiologi yang berkuasa tetap membutuhkan sparing partner sehingga perjalanan kebijakan terus berada di tengah. Idiologi agama, ketika tergiring dalam bentuk yang sangat ekstrem, hanya akan menghilangkan elan vital agama untuk memperkosa kekuasaan. Politisasi agama adalah fenomena yang mesti siap-siap kita temui. Begitu juga idiologi sekular. Titik ekstremnya hanya akan memberangus esensi manusia sebagai sebagai makhluk spirtual yang pada akhirnya hidup akan menjadi sangat kering dan hampa. Kritik dibutuhkan untuk menjaga semua supaya tidak terjatuh pada titik yang terjauh.

Sambil berdoa kita menata diri …

Beberapa hari kemarin, pada jam 2 malam,setelah shalat malam saya berdoa untuk istri, keluarga dan temen-temen. Saya sempatkan doa buat para pengambil kebijakan itu. Beberapa saya sebut namanya karena memang kenal dan mempunya harapan banyak. Saya berdoa semoga inayah, hidayah dan maghfirah Allah senantiasa mereka dapatkan, supaya mereka jujur, bener dan serius dalam mengambil keputusan dan menjalankannya. Doa itu saya sms kan juga ke seorang mentri dan seorang tokoh masyarakat. Inilah hal minimal yang paling bisa saya lakukan untuk sementar ini.

Sambil menata diri membangun kompetensi dan kapabilitas, saya pikir sekarang ini baru hal itu yang bisa saya lakukan. Membangun basis keilmuan yang lebih mapan, mendirikan basis komunitas yang lebih berkarakther dan menata basis spiritual yang supportif dan tidak melenakan. Hal ini menurutku mesti dipersiapkan matang. Jangan sampai terjebak kartelisme public figure.

Bandung, Juli 2007


1 comment:

  1. assww. kang ni rido, jogja.
    sory, baru ngunjungi blognya..
    memang ya, hampir semua strategi perjuangan menjadi absurd
    kira-kira gimana lagi ya. kalo saya mending ngotot aja terus, sambil terus memproduksi kader....siapa tau masa yang kita tunggu ternyata ada di zaman setelah sekarang ini....
    saya juga lagi serius skripsi nih, ,mau nulis yang cukup relevan dengan usaha mensistematisasi strategi perjuangan...moga saya ga putus asa haha....

    ReplyDelete