Wednesday 7 November 2007

Kemiskinan

Saya datang kesini untuk belajar sambil bekerja. Meskipun disini saya sudah mapan, saya akan tetap balik kampung di Pagaralam Sumatera Selatan. Membuat yayasan pendidikan dan wirausaha membangun ekonomi masyarakat di kampung saya. Banyak hal yang mesti saya lakukan setiba di Indonesia nanti.

Kira-kira begitulah ungkapan Rizalman. Mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi pasca sarjana ilmu ekonomi di University of Malaya. Rizalman meskipun mempunyai orang tua yang relatif mampu, tetap beritikad untuk memenuhi segala kebutuhan biaya pendidikannya di negeri orang secara mandiri. Mula keberangkatannya ke negeri jiran hanya dibekali beberapa ratus ribu untuk hidup satu bulan pertama. Selanjutnya Rizal, begitu dia biasa dipanggil teman-teman dan saudara-saudaranya, berjuang keras memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Rizal hanyalah satu diantara sekian banyak masyarakat Indonesia yang memiliki kemandirian dan kepedulian terhadap kondisi sekitarnya. Meskipun menjalani kehidupan yang lebih mudah dan nyaman di negeri tetangga, ingatannya terhadap negeri sendiri tidak pernah pupus. Baginya apa yang dia jalani sekarang merupakan modal untuk membangun kampung halamannya dari keterpurukan ekonomi dan keterbelakangan pendidikan.

Sikap seperti ini, dalam setting sosial yang berbeda, akan kita temukan di tempat-tempat lain baik itu di luar negeri maupun dalam negeri. Di kawasan Victoria Park Hong Kong misalnya. Warga Negara Indonesia yang sedang mencari nafkah disana, secara rutin mengadakan pertemuan setiap Sabtu dan Minggu. Bersenda gurau dengan bahasa kampung halaman sambil berbagi informasi kondisi tanah air. Hasil kerja keras selama 5 hari kerja tidak pernah dinikmati untuk diri sendiri. Sebagian besar dikirim ke kampung halaman untuk sanak familinya. Harapan mereka dengan kiriman uang itu tidak hanya sanak saudara saja yang terbantu, tetapi masyarakat di kampung halaman bisa terangkat dari kesulitan ekonomi.

Di negeri sendiri, jiwa-jiwa patriotik yang energik ini, terlihat begitu jelas pada setiap moment kemanusiaan yang membutuhkan partisipasi bersama. Catatan penanganan bencana tsunami di Aceh maupun gempa bumi Yogyakarta tidak akan pernah melupakan partisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang tanpa pamrih mengulurkan segala potensi yang dimiliki untuk membantu korban bencana. Bantuan masyarakat ini muncul sedemikian rupa secara mandiri tanpa rekayasa. Begitu besarnya kemunculan jiwa patriotik ini, sehingga menyudutkan pihak yang berwenang karena dianggap lalai dan tidak mampu untuk melaksanakan koordinasi dan komunikasi bantuan.

Banyaknya kelompok masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial merupakan modal utama yang sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang membelit negeri kita; kemiskinan.

Bahaya kemiskinan bukan semata ketiadaan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lebih jauh dari itu, bahaya kemiskinan adalah ancaman terciptanya budaya kemiskinan di kehidupan kita. Kemiskinan selalu menghasilkan perilaku masyarakat yang tidak peduli kepada kebersihan dan kesehatan, minus kepatuhan terhadap aturan dan ketertiban serta mengabaikan pendidikan. Kemiskinan merupakan musuh bersama. Budaya kemiskinan akan selalu berakibat tidak hanya bagi orang miskin saja, tetapi juga mengancam kehidupan orang-orang mampu.

Adanya kelompok masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi, merupakan modal dasar yang sangat luar biasa dalam penanggulangan kemiskinan. Melalui kelompok masyarakat inilah usaha pengentasan kemiskinan akan berjalan lebih komprehensif dan menyeluruh. Kelompok masyarakat inilah yang akan membantu orang miskin dan pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan.

Dimensi bantuan dalam penanganan kemiskinan diungkap lebih luas oleh Jeffrey D Sach. Ekonom lulusan Harvard Univesity yang menjadi penanggung jawab program PBB dalam penanggulangan kemiskinan dunia, sebagaimana tertuang dalam Millennium Development Goal (MDGs).

Menurut Jeffret Sach dalam bukunya The End of Poverty (2005), meski orang miskin ingin keluar dari kemiskinannya, ia tidak mampu melakukannya dengan kekuatan sendiri. Begitu banyak faktor menjeratnya sampai tak berkutik: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dan tentu saja tiadanya cukup uang. Kaum miskin dunia melihat tangga menuju pembangunan, mereka tergoda oleh gambaran kemakmuran dari dunia sebelah lain. Namun, mereka tak mampu meletakkan kakinya pada anak tangga, dan karenanya tidak mampu untuk merangkak keluar dari kemiskinan (hal 20).

Maka, kemiskinan harus langsung ditangani dan digarap. Ini sebabnya Jeffret Sach begitu menggebu-gebu menuntut agar negara- negara kaya menyediakan bantuan sebesar 135 miliar dollar AS pada tahun 2006, terus meningkat hingga 195 miliar dollar AS pada 2015 (untuk sampai target Millennium Development Goals). Tuntutan ini bukan impian karena negara-negara kaya telah setuju dengan Monterrey Consensus tahun 2002 untuk menyediakan bantuan pembangunan resmi (ODA) sebesar 0,7 persen dari pendapatan nasional bruto (PNB) mereka (atau sekitar 235 miliar dollar AS per tahun).

Sementara itu pada sisi lain Amartya Sen mengingatkan dimensi sistem dalam usaha penyelesaian kemiskinan. Bagi Amarya Sen, ekonom asal India yang dianugrahkan penghargaan Noble ekonom (1998) atas dedikasinya dalam penanganan kemiskinan, kemiskinan akan tertangani melalui adanya sistem sosial politik yang terbuka.

Ilustrasi yang diberikan Sen adalah apa yang terjadi di China dan India. Kesiapan sumber daya manusia akibat pendidikan massal dan pelayanan kesehatan umum yang lebih memadai, membuat China lebih berhasil dari India memasuki era marketisasi, karena sampai tahun 1991 tingkat buta huruf orang dewasa di India masih sebesar 50 persen, dan pelayanan kesehatan dasarnya juga sangat terabaikan. Akan tetapi, menyusul kegagalan program Lompatan Jauh Ke Depan, antara tahun 1958-1961 China mengalami bencana kelaparan terburuk sepanjang sejarah dengan angka kematian berkisar 30 juta orang. Sementara, dalam situasi ekonomi yang lebih buruk, India justru tak pernah lagi mengalami bencana kelaparan sejak kemerdekaan mereka di tahun 1947.

Bagi Amartya Sen, jawabannya terletak pada demokrasi di India yang jauh lebih marak. Menurut Sen, dalam iklim demokrasi, keterbukaan dan kebebasan tak memungkinkan bencana seburuk ini terjadi. Karena itulah, dalam Development as Freedom, peraih The Bank of Sweden Prize in Economic Sciences ini menandas-nandaskan pentingnya kritik, keterbukaan, kebebasan, dan demokrasi bagi pembangunan sebuah masyarakat. Bagi Sen boleh jadi demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran, tetapi di negara-negar demokrasi tidak akan pernah ada kelaparan karena pemerintah yang demokratis akan lebih tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya.

Demokrasi yang mengharuskan adanya transparansi, kebebasan, akuntabilitas, ruang publik yang bisa diakses masyarakat umum sudah menjadi komitmen kita bersama. Kata ini selalu menjadi bahan perhatian bagi para pengambil kebijakan dalam menjalankan fungsi dan perannya. Bagi para pakar, pengamat dan lembaga swadaya masyarakat, demokrasi sudah menjadi pijakan dalam mengevaluasi dan merumuskan setiap kebijakan pembangunan masyarakat.

Penutup

Modal besar itu, masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial dan sistem sosial politik yang demokratis, sudah ada di depan kita. Selanjutnya, sambil menjaga dan menumbuh suburkan kedua potensi ini, tentunya kita tinggal melangkah bersama untuk menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan itu bisa kita atasi.

No comments:

Post a Comment