Friday 9 November 2007

Semiotika Nama

Kalau Shakespeare pernah bertanya apa(lah) arti sebuah nama, sangat mungkin saat ini pertanyaan tersebut berulang dalam intensitas berbeda. Oleh globalisasi, dengan gaya hidup sebagai ujung tombaknya, zaman sekarang tidaklah begitu "memedulikan" nama.

Saya sempat terkejut ketika tetangga di seberang desa mencomot nama "Andreas Surya Saputra" untuk anak pertamanya. Padahal, ia seorang Muslim taat. Keterkejutan saya semakin bertambah ketika ada pastor yang bertugas di Semarang memiliki nama "Ibn Fajar Muhammad".

Entahlah, sejak kapan proses ini terjadi. Sekarang tidak ada lagi blok hitam-putih untuk sebuah nama bahwa nama ini harus mewakili golongan tertentu. Sementara itu, nama lain masuk dalam wilayah pendakuan satuan primordial tertentu. Suatu nama klise tidak lagi menyokong garansi kepemilikan dari sebuah kelompok tertentu.

Sebutan "romo" tak lagi untuk pastor, tetapi juga kiai. Kata tahbisan tidak lagi khas menandai seseorang dilantik menjadi hierarki. Sementara kata mesias sudah tidak begitu keramat lagi eksklusif menunjuk pribadi tertentu. Seorang penyerang dalam suatu klub sepakbola dengan sangat mudah mendapat gelar sebagai "mesias" (lihat Majalah Bola).

Dalam tradisi agama tertentu, nama mencerminkan suatu periode liminal khusus yang unik. Seseorang diinisiasi dalam suatu komunitas besar. Itulah paguyuban yang mengidentifikasi diri dengan berbagai pernik khas.

Berkaitan dengan proses demikian, nama "Andreas" termasuk satu dari sekian santo-santa yang dijadikan penanda inisiasi seseorang ke dalam gereja Katolik. Ada latar sejarah tertentu mengenai pribadi orang yang dianggap suci untuk diteladani. Sejauh ini pengambilan nama pelindung tidak bisa serampangan.

Hanya saja, secara kebetulan nama pelindung itu kebanyakan dari Eropa. Entah siapa dahulu yang membonceng dan menunggangi tidaklah jelas genealogi nama-nama Eropa yang kemudian mewabah dalam kultur masyarakat kita. Globalisasi sekadar mendorong identitas kesetaraan masyarakat Indonesia yang inferior. Nama Barat dipresumsi bisa mendongkrak sindrom eksistensial untuk melampiaskan kejengkelan sebagai penyandang status subordinat kultural.

Saya belajar untuk tidak terlalu kaget dengan banalitas masyarakat dalam memilih nama buat anak-anak mereka. Mungkin kita memang sedang digerus kecemasan akut karena ketidakmudahan daya-ucap eksplorasi kata-kata yang membanjir. Sebegitu mudah suatu kata menjadi populer, segampang itu pula artikulasi sekaligus bobot semiotiknya habis. Budaya niraksara kita begitu subur dengan proyek kudeta-mengudeta kata, persis di saat kita tidak bisa memilah dengan pasti marka antara reduksi atau progresi atas Eropanisasi nama-nama dalam masyarakat kita.

Ada teman yang berkomentar, kita ini cabang dari Eropa. Kultur franchise rasanya tidak berlebihan menjadi ilustrasi budaya kita. Nyaris tidak ada lagi kebanggaan memiliki nama yang benar-benar Indonesia. Atau, "nama Indonesia" sekadar ilusi?

Berarti selama ini saya salah sangka.

TULUS SUDARTO

Rohaniman, Bekerja di Paroki Lampersari, Semarang


Sumber ;

http://www.kompas.co.id/

Jumat, 09 November 2007

No comments:

Post a Comment