Friday 23 November 2007

Bukan sekedar alunan nada

Guru besar musik dari Bandung, almarhum Harry Roesly, mempunyai argumentasi yang sangat sederhana dan menarik tentang perlunya musik dalam kehidupan kita. Menurut almarhum, musik adalah kebutuhan dasar manusia karena musik merupakan manifestasi jiwa manusia itu sendiri. Manusia, menurut Harry Roesly, adalah makhluk yang mencintai harmony, keseimbangan di kehidupan sehari-harinya. Selalu ada kejanggalan dan gangguan bila kita melihat ketidakseimbangan dan ketidakharmonisan di kehidupan kita. Gerak kaki dan tangan kita saja ritmis, akan sangat mengganggu kita dan orang lain bila gerak tangan dan kaki kita tidak ritmis. Begitu kira-kira contoh sederhananya.

Tentunya almarhum hanya mengurai sedikit hal saja tentang musik. Banyak hal yang masih bisa kita gali dari setiap alunan nada yang kita dengar. Musik merupakan dokumentasi sejarah, karena syair-syair musik tentunya tidak lahir dari sebuah ruang vakum. Syair musik selalu lahir dari pergulatan intens antara idealita dan realita yang dihadapi setiap penciptanya. Adapun kualitasnya tentunya tergantung dari pergulatan dan motifasi dari musik yang diciptakan.

Sebagai dokumentasi sejarah juga kadang musik membuat kita untuk sedikit merenung ke perjalanan kehidupan kita sebelumnya. Masa kejayaan musik selalu mengingatkan masa ketika kita hidup waktu itu. Segala macam idealisme dan obsesi serta kekonyolan masa dahulu kita secara tidak sadar terungkap kembali ke permukaan.

Inilah yang saya rasakan ketika iseng-iseng memutar beberapa lagu masa lalu seperti lagu dari Iwan Fals& Sawung Jabo lewat album Dalbonya. Juga ketika track musik merambat ke lagu-lagu berikutnya. Lagu cinta dari Jayanti Damansari tentang bukit yang indah, bis kota dari God Bless dan lagu dari Gank Pegangsaan. Syairnya seolah menjadi dokumentasi sejarah dan membuat kita untuk sedikit merenung ke belakang. Lagu itu saya dapatkan secara tidak sengaja di sebuah blog.

Iwan Fals dengan Sawung Jabo melalui album Dalbo ketika itu memang tidak menuai sukses penjualan. Sepertinya pola musik, saya kurang faham tentang aliran-aliran musik secara detail, yang disajikan oleh Dalbo tidak cukup menarik bagi masyarakat meskipun disana ada nama Iwan Fals yang sudah cukup tenar. Tetapi syair dari Dalbo seolah mengingatkan saya secara personal tentang semangat muda dan idealisme ketika itu.

Melalui Dalbo, Iwan dan Jabo, melakukan proses kritik sosial yang cukup keras. Bagi dalbo penguasa, ketika itu, adalah kelompok orang yang lalim dan sewenang-wenang. Para orang kaya hanya hidup berdasar gengsi saja, tidak berpikir apa-apa tentang dirinya dan sekitarnya. Sementara itu kehidupan masyarakat pun sudah tidak ada lagi kosa kata kepedulian didalamnya.

Hal yang sangat mengejutkan, ketika hal yang menjadi kritik Dalbo masih menjadi keseharian kehidupan kita. Artinya reformasi kemudian belum,saya tidak ingin menyebut kata tidak, menghasilkan apa-apa bagi kehidupan kita. Masih banyak hal yang mesti kita benahi.

Begitu juga ketika mendengar syair-syari dari Jayanti Mandasari, dengan lagu "di puncak hijau" rasanya kita memang perlu merevisi kembali cara pandang hidup kita. Setting tentang bukit yang hijau dengan pemandangan yang indah, burung yang berkicauan, harum wangi bunga menjadi tempat memadu kasih sepasang pemuda. Menempatkan alam sebagai pusat kehidupan kita seolah sudah tidak ada lagi di kehidupan kita.

Lagu cinta yang kita dengar saat sekarang ini tidak lebih dari kepedihan tentang kegagalan cinta. Seolah hidup adalah penderitaan dan kesusahan karena kegagalan cinta. Tidak ada visi yang di tawarkan dan nilai yang diajarkan. Jayanti mandasari seolah mengingatkan kita tentang alam yang mendatangkan kedamaian, tidak hanya sekedar syair cinta picisan saja.

Yang lebih menarik dari lagu-lagu lama itu adalah revisi tentang diri. Masa emas beredarlagu lama selalu mengingatkan masa diri kita saat itu juga. Mendengarkan musik-musik yang diputar tahun 80-90an selalu mengingatka masa hidup kita di tahun-tahun itu.

Tahun 80-90an adalah masa-masa menempuh pendidikan sekolah dasar dan pesantren. masa ketika menikmati pelajaran dan didikan idealisme kehidupan melalui ajaran-ajaran agama, pergaulan dengan sesama yang ceria dan menceriakan serta kekonyolan-kekonyolan khas yang dilakukan anak seusia itu.

Masa-masa itu sudah lalu. Ajaran-ajaran idealisme itu kadang terlupakan, untung tidak terhapuskan, dan kehidupan ceria pun sudah lama tidak dinikmati. Relasi kemanusiaan sekarang seolah tidak pernah lepas dari kepentingan dan kepusangan.

Selesai mendengarkan lagu itu saya shalat Jumat. Seperti biasa, khatibnya tidak menarik dan tidak layak untuk didengarkan isi ceramahnya. Saya lebih banyak melamun memikirkan rencana kehidupan ke depan, sesuai dengan cita-cita dan apa yang saya jalani ketika kecil dulu. Membayangkan hidup membangun masyarakat di pedalaman. Melalui tekhnologi informasi tetap bersentuhan dengan dunia global dan memberi konstribusi. Sepertinya itu kehidupan yang ideal dibanding dengan apa yang dijalani sekarang.

Terima kasih buat teman-teman yang sudah menyediakan file lagu itu secara free di internet.

oya, satu hal lagi

Lagu-lagu kritik sosial, seperti yang dinyanyikan oleh Franky dan Iwan Fals, lahir dari sebuah zaman yang sangat refresif. Orde baru tidak mentolerir setiap bentuk kritikan yang ada di masyarakat. Tetapi anehnya lagu seperti itu juga tumbuh dan berkembang.

Sekarang lagu yang hadir tidak lebih dari roman-roman cinta yang minim kedalaman makna, padahal kita hidup di zaman yang relatif bebas. Semuanya lebih berorientasi untuk memuaskan kebutuhan pasar saja, tidak lebih. Tidak ada nuansa informatif dan edukatif dari syair-syair yang di tawarkan. Padahal kita hidup di zaman bebas dimana kebebasan selalu menstimuli ke kreatifitas.

Gak tahu lah.. Saya cuman sekedar nulis saja. Saya gak sempat ketemu Almarhum Harry Roesly untuk menanyakan hal ini.

Terpenting sekali lagi, terima kasih buat teman-teman yang menyediakan file itu secara free di internet.

Jakarta, 22 November 2007



No comments:

Post a Comment