Wednesday 12 December 2007

Eco-Theology ;


Kehidupan manusia seolah sudah semakin menyusahkan dan menyulitkan. Belum usai konflik perang antar manusia yang sangat melelahkan dan memakan banyak korban, ketenangan kehidupan manusia kembali terancam. Alam, baik itu darat, laut dan udara, seolah tanpa henti terus menerus mengusik ketenangan kehidupan manusia.

Akhir tahun 2004, terlebih negara-negara Asia Selatan dan Tenggara di kawasan pesisir samudera hindia, dunia dikejutkan oleh gelombang tsunami yang menelan jutaan nyawa manusia.
Setelah itu, seolah tanpa henti, alam terus bergerak menebar ancaman bagi kehidupan manusia.

Beberapa bulan lalu badai Topan Sidr berkecepatan 250 km/per jam menghantam wilayah Bangladesh. Jutaan warga kehilangan tempat tinggal dan 3.000 orang tewas. Sebelumnya badai katrina tanpa ampun menghantam New Orleans AS. Diteruskan dengan kebakaran besar dikarenakan suhu panas melanda California. Tidak terlihat keperkasaan Arnold Schwarzeneger, sang gubernur California, yang selama ini diperlihatkan di film-film action Hollywood.

Setelah itu gelombang panas terjadi di Eropa Selatan melanda Yunani, Rumania, dan Bulgaria. Banjir juga terjadinya di beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Gorontalo, Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Kejadian angin puyuh, topan, dan gelombang laut turut melanda pantai utara Jawa dan selatan.

Fenomena alam ini tak urung menarik perhatian dunia internasional. Karena fenomena ini merupakan akibat dari pola hidup masyarakat global, pertemuan-pertemuan internasional secara intens dilakukan untuk merumuskan tindakan bersama dalam rangka menyelamatkan lingkungan.

Pertemuan pertama dilaksanakan di Stockholm dalam sebuah confrence ”The 1972 UN Conference on the Human Environment”. Setelah itu, dilanjutkan dengan the brundtland report, “Our Common Future 1987” sehingga menghasilkan rumusan konsep tentang pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang peduli dan bersahabat dengan alam.

Tidak cukup sampai disitu, 5 tahun berikutnya di Rio de Janeiro Brasil digelar Konfrensi Tingkat Tinggi Bumi (The 1992 UN Conference on Environment and Development) yang menegaskan tentang perlunya paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi agenda politik pembangunan di semua negara tanpa terkecuali. Karena masih banyak yang belum tuntas, 10 tahun berikutnya di gelar “World Summit on Sustainable Development” di Johannesberg, Afrika Selatan yang lebih mempertegas pembumian pembangunan yang berkelanjutan.

Puncaknya adalah saat ini, 3-14 Desember 2007, Indonesia menjadi tuan rumah konferensi internasional perubahan iklim di Nusa Dua Bali, UN Climate Change Conference 2007. Konferensi besar yang dihadiri lebih dari 10.000 peserta yang terdiri dari 189 negara, 20 kepala negara, 2.000 utusan delegasi PBB, 2.000 wartawan media massa, dan 6.000 peserta aktif. Adapun agenda utama pembahasan para delegasi meliputi empat hal, yakni masalah mitigasi, adaptasi, transfer of technology, dan finance investment.

Kerjasama internasional ini menjadi sebuah keharusan. Selain karena penyebab dan penderita dari perubahan musim ini adalah masyarakat global, juga dibutuhkan tindakan yang lebih sistemik dan menyeluruh dari semua penghuni bumi ini. Tetapi berpijak mutlak pada kerjasama internasional, tentunya bukan satu-satunya solusi. Apalagi bila menelaah lebih lanjut dari materi pembahasan yang hanya meliputi wilayah struktural. Perlu ada alternatif lain yang mesti dilakukan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.

Eco Theology

Seruan presiden SBY, seperti yang tertulis diawal tulisan ini, tentunya menjadi sesuatu yang sangat menarik. Agama merupakan dimensi kehidupan yang selama ini terlupakan dalam menyelesaikan problem lingkungan hidup.

Hal ini menjadi sangat lumrah dan dimaklumi. Karena pemahaman masyarakat umumnya sendiri tentang agama masih berkutat pada masalah ritualistik saja. Bagi beberapa kalangan menyebut istilah agama selalu diartikan sebagai penunjuk terhadap seperangkat ritual agama baik itu ibadah maupun perayaan hari-hari suci. Banyak masyarakat pemeluk agama, juga para pengkritik agama, melupakan bahwa agama merupakan lebih dari itu. Banyak makna terdalam kenapa agama sampai menjadi bagian yang sangat diperlukan bagi kehidupan manusia.

Setidaknya harapan Presiden SBY diatas menjadi dua hal yang berkaitan erat, pertama mengingatkan kembali kepada seluruh pemeluk agama pentingnya implikasi sosial dari setiap ketaatan terhadap ajaran-ajaran agama. Kedua, berkaitan dengan pemanasan global yang sedang mengancam kehidupan manusia, perlunya mengingatkan kembali akan pemahaman-pemahaman agama yang suitable dengan kerusakan alam.

Jika diasumsikan, gerakan pedagogi paling efektif bagi masyarakat agraris adalah internalisasi nilai-nilai agama, tidak salah untuk memformulasi paradigma teologi agama terhadap lingkungan. Apabila usaha perlindungan lingkungan dengan memberi status hutan lindung, taman hutan rakyat, dan taman nasional tidak mempan, kita butuh tambahan berupa pemahaman agama, teologis, yang bervisi lingkungan.

Pemahaman-pemahaman agama yang ramah lingkungan sendiri pada dasarnya bukan berarti tidak ada dalam setiap ajaran-ajaran agama. Eco theologies bukan merupakan hal yang baru dalam agama-agama di permukaan bumi ini. Problemnya adalah ketika terjadi over simplikasi dari setiap tindak keberagamaan kita. Agama sebatas dimaknai sebagai sebuah kegiatan ritual untuk memuja sang maha agung dan tidak mempunyai relevansi secara sosial. Hal ini tentunya mengingkari makna beragama sendiri yang menginstruksikan terbentuknya masyarakat yang adil dan sejahtera jauh dari segala macam gangguan kehidupan yang bermula dari nafsu sesaat.


Eco Thelogis Agama-agama


Dasar pemahaman teologi lingkungan adalah kesadaran bahwa krisis lingkungan tidak semata-mata masalah yang bersifat sekular, tetapi juga problem keagamaan yang akut karena berawal dari pemahaman agama yang keliru tentang kehidupan. Melalui teologi lingkungan, dilakukan kaji ulang terhadap pemahaman-pemahaman agama di tengah masyarakat, utamanya mengenai posisi manusia dan tanggung jawabnya berkaitan dengan alam yang didiaminya selama ini.

Melalui teologi lingkungan diungkap lebih lebih jujur dan semestinya relasi manusia dengan alam. Bila selama ini manusia dan lingkungan dianggap sebagai dua entitas yang berbeda dan berjauhan, melalui teologi lingkungan pemahaman itu diralat. Manusia dan alam merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada posisi ordinat dan subordinat antar keduanya.

Pemahaman agama yang ”ramah lingkungan” ini sendiri pada dasarnya sudah terungkap dalam ajaran-ajaran agama. Dalam agama Kristen contohnya. Menurut Yongki Karman (Kompas, 23 November 2007), seorang Rohaniawan, teologi penciptaan dalam agama Kristen merupakan penegasan adanya tanggung jawab ekologis manusia. Penguasaan manusia atas bumi adalah agar alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia dan anak cucunya sehingga mendoong manusia untuk selalu bersyukur kepada Allah yang maha baik. Alam tidak diciptakan untuk memenuhi kerakusan manusia. Penguasaan atas alam terkait dengan menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, menurut Yongki Karman, wujud penguasaan manusia atas alam bukan berarti menggunduli hutan, mengeruk pasir yang menimbulkan abrasi atau membuang sampah sembarangan. Memelihara bumi dan tidak merusak ekosistem adalah bukti penguasaan manusia atas alam. Dunia adalah tempat tinggal bersama dimana semua penghuninya hidup saling berkaitan satu sama lain.

Paul Haffner dalam Critique of Radical Green Spirituality (1996) menyatakan Kristianitas mengajarkan tidak hanya manusia, tetapi seluruh ciptaan Allah juga bernilai dan sebanding lurus dengan penghormatan kita atas ciptaan-Nya. Pengabaian atas status ciptaan Tuhan selain manusia menunjukkan watak kemunduran iman (decline of faith).

Hal senada diungkap juga dalam agama Islam. Menurut Sayyid Hussein Nasr, seorang filosof muslim dari Iran, Islam memiliki sesuatu yang disebut filosofi perennial (al-hikmah al-khalidah) tentang tatanan alam yang berhubungan secara religius dengan kehidupan manusia. Dalam risalah penaklukan Kota Mekkah (fathul Makkah), Nabi Muhammad dengan lantang melarang pasukannya menebang pohon sebagai bentuk show of force.

Dalam buku Man and Nature : Crisis of Modern Man, Nasr menyebutkan aspek teologis yang menjadikan manusia sebagai khalifah bukan berarti memiliki otoritas mutlak atas makhluk Allah yang lain, yakni lingkungan dan hewan. Kata khalifah sendiri mengacu kepada makna pemelihara alam (murabbi, concervatio) dan bukan bertindak sewenang-wenang atas alam.

Hassan Hanafi, filosof muslim dari Mesir, dalam karyanya Religion, Ideology, and Developmentalism (1990) menawarkan apa yang dikenal sebagai teologi untuk memperlakukan bumi. Bagaimana semestinya bumi ini diperlakukan?

Menurut Hanafi, bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara baik dan benar. Tidak ada satu pun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim memiliki barang sejengkal pun terhadap bumi karena bumi ini adalah milik-Nya. Oleh karenanya, tidak dibenarkan jika ada manusia yang arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi. Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya sendiri; mengebor, mengeruk, mengeksploitasi, tanpa memikirkan apa akibatnya. Juga arogansi seperti, oleh karena manusia hidup di alam dan lingkungan, lalu ia seenaknya mengotori dan mencemari alam dan lingkungan dengan polusi serta berbagai perbuatan lainnya yang sesungguhnya akan merusak bumi.

Di dalam ajaran Islam, dikenal juga dengan konsep yang berkaitan dengan penciptaan manusia dan alam semesta yakni konsep Khilafah dan Amanah. Konsep khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini (khalifatullah fil'ardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul'alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.

Sementara itu Chee Yoke Ling (1994) menemukan pemahaman yang tidak jauh berbeda dari berbagai agama yang ia kaji. Ajaran Taoisme menekankan konsep keselarasan dan kesempurnaan alam dalam memandang manusia dan alam sebagai suatu kesatuan. Hinduisme mengajarkan bahwa alam yang dianggap sebagai penjara manusia dapat dikalahkan melalaui pengetahuan tentang struktur alam bahkan dengan bantuan alam pula.

Dengan demikian lingkungan alam terikat erat dengan teknik spiritualnya, alam juga diposisikan sebagai guru yang dapat memperkaya manusia melalui kearifannya. Selanjutnya Nasrani menekankan ajarannya sebagai cinta kasih yang memberikan petunjuk bagi manusia dalam berinteraksi dengan sesama dan alam lingkungannya. Terbukti semua agama mendukung upaya pengelolaan lingkungan untuk kelestarian yang berkelanjutan.

Perusak hutan adalah pelanggar perintah tuhan.

James A Rimbach, seorang filsuf agama, pernah menyatakan ; “For theologians to address the issues of the ecology and environtment is typical ‘test case’ for doing thelogy today”. Dengan kata lain, teologi lingkungan menjadi semacam batu uji untuk mengukur tingkat keberagamaan dan keimanan semua orang yang merasa dirinya sebagai umat beragama.

Jika selama ini kita menganggap diri sebagai kaum beragama, sudah semestinya pemahaman agama kita tidak hanya cukup sampai pada keyakinan, namun tidak ada aktualisasinya dalam kehidupan. Sehingga, misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama tapi perbuatan kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Saatnya kita membuktikan keberagamaan kita dalam realitas dan praktek kehidupan sehari-hari. Agama yang mengajarkan kebaikan harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat terhindar dari segala mara bahaya.

Selanjutnya mulai sekarang maukah kita menyatakan bahwa semua para pembalak hutan, penebang liar dan pelaku industri yang tidak mempunyai visi lingkungan hidup sebagai orang-orang fasik, kafir dan merupakan musuh bersama. Mereka adalah orang-orang yang tidak beragama yang mesti ditegur dan dihukum bersama-sama bukan hanya oleh pemerintah saja. Dajjal yang datang di akhir kehidupan manusia.



No comments:

Post a Comment