Friday, 24 October 2008

Kyai menikahi anak umur 12 tahun

Seorang pengusaha kaya di Semarang Jawa Tengah, Pujiono Cahyo Widioanto, menikahi Lutfiana Alfa bocah umur 12 tahun. Katanya Pujiono itu seorang Kyai. Tapi menurut MUI, Pujiono itu bukan Kyai. Puji tidak pernah masuk pesantren, ujar anggota MUI. MUI Jateng pun memvonis itu sebagai pernikahan yang haram.

Saya sendiri bingung untuk menyebutnya sebagai seorang kyai. Apa kriterianya sehingga media menyebutnya sebagai seorang kyai. Apakah karena dia sudah naik haji lalu pakai surban, jubah putih dan kemana-mana membawa tasbih?atau karena dia sudah zakat sebanyak 1,3 Miliar?Tapi kalau melihat apa yang dia lakukan, menurut saya dia bukanlah seorang Kyai.

Kembali kepada pernikahan yang dilakukan oleh Puji. Ketika membaca berita ini di internet, langsung saja saya posting ke beberapa teman via YM. Ada yang sinis, miris, tertawa dan ada yang tanpa ba bi bu langsung mengatakan ini halal, syah menurut hukum Islam. Karena semua prosedurnya sudah terpenuhi. Nah lho?

Jujur saja, ketika saya membaca berita itu, saya cukup miris bercampur geli ketika membaca argumen yang disampaikan Pak "Kyai". Tetapi saya bertambah miris ketika teman tadi langsung mengatakan bahwasannya ini adalah halal dan syah.

Kemirisan pertama, kenapa sebuah fenomena mesti ditempatkan begitu sempat dalam koridor halal dan haram. Kemirisan kedua, kenapa begitu mudahnya menetapkan sesuatu itu halal dan haram karena melihat kepada prosedurnya?

Saya pikir dalam meneropong sesuatu dalam perspektif Fiqh urusannya tidak bisa dilihat secara hitam putih dalam kalimat halal atau haram. Cara pandang seperti ini selain menunjukan kesempitan cara pandang, juga menunjukan kenaifan. Bila hendak di elaborasi lebih lanjut, bukankah hukum Islam itu berhenti di halal dan haram saja?bagaimana dengan mubah, makruh dan sunnah?

Saya tidak ingin mengatakan orang-orang seperti ini sebagai bodoh dan tidak tahu hukum agama, tapi lebih suka mengatakannya sebagai naif. Karena kadang-kadang hal seperti ini sering datang dari seseorang yang berlabelkan sarjana agama. Saya melihat ini sebagai sebuah kebiasaan kita yang selalu berpikir hitam putih, tidak mempunyai alternatif meskipun hal itu sudah disediakan.

Lalu berkaitan dengan penetapan hukum halal, ini berkaitan dengan kemirisan saya yang kedua, apakah memang benar pernikahan ini halal karena sudah melewati prosedur yang sudah ditetapkan oleh Fiqh?

Kalau pertanyaan ini disampaikan kepada para pengkaji ilmu agama, saya pikir akan menjadi kajian yang sangat panjang. Banyak hal dan perspektif yang perlu di tinjau dan menjadi bahan pertimbangan. Bila menggunakan hadits, maka harus ditinjau bagaimana asbabul wurud hadits tersebut. Bila melandaskan ayat al quran, maka harus dilihat asbabun nuzul. Bila merujuk kepada sirrah nabawiyah, maka harus dicek kembali aspek sosiologis dan psychologis dari sirah tersebut.

Tetapi saya tidak ingin membicarakan hal itu. Pasalnya sederhana saja, saya tidak terlalu expert untuk membicarakan hal sedalam itu. Bila saya menolak pernikahan "Kyai" Puji dan mempertanyakan penetapan hukum halal dari teman tadi, itu karena banyak hal yang tidak terpenuhi, diantaranya metodologi pengambilan hukumnya, dari penjelasan yang diberikan.

Saya hanya ingat kepada ayat yang berbunyi kullu mimma fil ardhi halalan thoyiban. Makanlah apa yang ada di bumi itu dalam keadaan halal dan baik. Jadi yang mesti kita makan itu ternyata tidak hanya cukup halal, tetapi juga mesti baik. Penjelasan sederhana dari guru saya, daging ayam itu baik, tapi kalau daging itu sudah dua hari dan tidak di hangatkan, maka menjdi tidak baik. lebih baik saya tidak memakannya. Kira-kira begitu.

Jadi kira-kira pertanyaan saya adalah, bila apa yang dilakukan pak "Kyai" Puji itu, katakanlah di beri hukum halal, apakah hal itu layak untuk dilakukan?Bagian terakhir ini menjadi sangat penting karena selanjutnya hal ini akan berkaitan dengan hak anak, pendidikan anak, psikologi anak, psikologi orang menikah, psikologi orang hamil dsb.

Tapi sebelum membahas itu pernikahan yang baik atau bukan, secara pribadi saya melihat itu pernikahan yang haram. Masalahnya sederhana saja ; motif sang "kyai" dan mudharat yang akan ditimbulkan. Kalau tidak percaya coba saja lihat profil sang "kyai" tersebut dan baca tentang psikologi pertumbuhan anak. Perkawinan seperti itu hanya akan mendatangkan mudharat. Kasihan terhadap bocah kecil itu.
READ MORE - Kyai menikahi anak umur 12 tahun

Wednesday, 15 October 2008

Para Perampok di Jalan Tuhan

Majalah Tempo, 6 - 12 Oktober 2008

Djalaluddin Rahmat

  • Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia
    Sects and Errors are synonymous. If you are a peripatetic and I am a Platonist, then we are both wrong, for you combat Plato only because his illusions offend you, and I dislike Aristotle only because it seems to me that he doesn’t know what he’s talking about.

    Voltaire, Philosophical Dictionary

    "Aku tidak bisa melepaskan diri dari bayangan guruku. Ia masuk dalam mimpi-mimpiku. Pada suatu malam aku pernah terbangun. Aku duduk dalam lingkaran. Di situ ada guruku, Nabi Muhammad, Tuhan, dan Yesus. Guruku menyebutku Hafshah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Aku pernah melihat Nabi Muhammad datang kepadaku; memanggilku dengan mesra. Pendeknya, kemudian terjadilah pergaulan suami-istri antara Hafshah dan Nabi Muhammad. Beberapa saat setelah itu, aku baru sadar bahwa Hafshah itu aku dan Nabi Muhammad itu adalah guruku itu,” Helen, bukan nama sebenarnya, mengadukan nasibnya kepadaku.

    Helen sarjana dan profesional. Ia cerdas dan kaya. Ketika ia mulai tertarik pada hal-hal spiritual, kawannya membawanya ke pengajian tasawuf. Ia diperkenalkan kepada seorang ustad. Bukan ustad terkenal. Tampaknya ustad itu tidak mengisi pengajian umum. Ia memusatkan pengajarannya pada komunitas khusus dengan tema khusus. Di seluruh alam semesta, hanya dia yang mempunyai pengetahuan khusus, ilmu makrifat. Ia mau berbagi ilmu makrifat itu hanya kepada manusia-manusia pilihan yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengamalkan ritus-ritus tertentu—berzikir, berpuasa, dan bersemadi—Helen berhasil melihat Tuhan. Berkali-kali sesudah itu, ia mengalami ”trans”. Ia bukan hanya berjumpa dengan Tuhan. Ia juga dapat berkencan dengan para nabi.

    Makin ”dalam” pengalaman rohaniahnya, makin bergantung dia kepada sang ustad. Helen yang cerdas kehilangan daya kritisnya ketika ia mendengar kalimat-kalimat gurunya. Ia berikan apa pun yang dimintanya, mulai waktu, uang, kendaraan, rumah, sampai kehormatannya. Ia sudah menjadi sujet di hadapan juru hipnotis. Semua dilakukannya di bawah sadar, sampai ia disentakkan oleh salah satu kuliah psikologi. Sebuah buku dengan judul Saints and Madmen menyadarkan dia bahwa gurunya dan juga dia bukan orang suci, tapi orang gila. Ia bukan mengalami pengalaman rohaniah, tapi gangguan mental. Sayangnya, kesadaran itu muncul setelah ia kehilangan banyak.

    Tak terhitung banyak orang seperti Helen. Manusia modern yang jenuh dengan materialisme gersang. Ia merindukan pengalaman rohaniah. Ada yang kosong dalam jiwanya. Kekosongan itu tidak bisa diisi dengan seks, hiburan, kerja, bahkan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat. Ia ingin getting connected dengan Yang Ilahi. Ia sudah kecapaian dengan logika dan angka. Ia ingin meninggalkan dunia yang dingin dan kusam menuju alam yang hangat dan cemerlang. Ia ingin mendapat—sebut saja—pencerahan rohaniah. Ia tidak mendapatkannya dalam institusi-institusi agama.

    Dalam kerinduan spiritual itu, muncullah guru. Ia menawarkan pengalaman rohaniah yang ”instan”. Kalau kamu sudah kecapaian dengan logika dan angka, masuklah bersama guru ke dalam dunia rasa dan percaya. Bunuh rasionalitas dan tumbuhkan spiritualitas (seakan-akan keduanya bertentangan). Dengan memanipulasi ajaran-ajaran esoterik dalam setiap agama, guru menegaskan—sambil mengutip Rumi—”di negeri cinta, akal digantung”.

    Kalau akal sudah digantung, terbukalah peluang bagi guru untuk memanipulasi pikiran para pengikutnya. Aku menemukan bahwa teknik-teknik menggantung akal yang dilakukan para guru itu sepenuhnya melaksanakan nasihat Dostoyevsky dalam The Brother of Karamazov: ”Ada tiga kekuatan, dan hanya tiga, yang dapat menaklukkan dan melumpuhkan semangat para pemberontak ini. Yang tiga itu ialah mukjizat, misteri, dan otoritas.” Tentu saja hampir tidak ada di antara para guru itu yang membaca Dostoyevsky.

    Mukjizat sebenarnya adalah kumpulan dari halusinasi, ilusi, dan delusi. Guru menciptakannya dengan ”merusak” otak pengikutnya melalui ritual yang aneh-aneh. Salah satu teknik yang paling populer dan paling efektif adalah pengurangan waktu tidur (sleep deprivation), apalagi bila dibarengi dengan tidak makan (food deprivation). Dalam keadaan normal, otak kita mensintesiskan ”pil tidur alamiah” sepanjang waktu bangun kita. Sesuai dengan ritme biologis, kita tidur pada waktu malam. Karena deprivasi tidur, pil tidur alamiah itu berakumulasi dan bermetabolasi menjadi produk-produk beracun. Lalu timbullah mula-mula gangguan mood—pergantian antara euforia dan depresi. Menyusul gangguan mata yang menimbulkan halusinasi (melihat cahaya dan benda-benda bergerak), delusi, dan puncaknya disorganisasi pikiran (sederhananya, gangguan jiwa). Seperti pengurangan tidur, guru juga menciptakan pengalaman rohaniah dengan upacara, seperti latihan masuk kubur, gerakan kolektif yang berulang-ulang, atau penggunaan obat-obat kimiawi. Murid mengira mereka mengalami pengalaman gaib. Ahli neurologi menyebutnya kerusakan otak (brain damage).

    Karena pengalaman rohaniah yang mereka alami, mereka merasa dibawa ke alam gaib. Di sekitar kehidupan guru berkumpul berbagai misteri. Guru pemilik ilmu-ilmu yang sangat rahasia. Guru malah mengembangkan bahasa sendiri. Istilah-istilah agama diberi makna baru. Perjalanan bersama guru adalah perjalanan menyingkap tirai-tirai kegaiban. Murid tidak bisa menyingkap rahasia itu tanpa bimbingan guru. Seperti kata Dostoyevsky, dengan menggabungkan mukjizat, misteri, dan otoritas, bertekuklah jiwa-jiwa kritis ke kaki sang Pembawa Pencerahan.

    Helen sekarang sadar bahwa ia telah jatuh kepada perampok di jalan Tuhan. Hati-hati, dalam perjalanan menuju pencerahan jiwa, Anda akan disabot oleh apa yang disebut Jean Marie-Abgrall sebagai Soul-Snatchers, para pencuri jiwa. Helen masih berjuang menyembuhkan luka-luka jiwanya; sebenarnya kerusakan dalam otaknya. Aku menganjurkan dia untuk berobat ke psikiater. Ia menolaknya.

    Lama aku kehilangan Helen. Secara kebetulan, aku menemuinya dalam satu acara. Aku menanyakan mengapa ia tidak lagi mengontak aku. Ia menarik aku ke tempat sepi. Dengan muka yang penuh ketakutan, ia berbisik: gurunya sudah tahu bahwa ia telah melaporkan keadaannya kepadaku. Ia mendapat ancaman. Ia diperingatkan agar memutuskan semua hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya.

    Bersamaan dengan hilangnya Helen, Juliet Howell, peneliti sufisme urban, muncul lagi di hadapanku. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia mewawancaraiku perihal tasawuf di masyarakat kota. Waktu itu aku menyelenggarakan kelas-kelas tasawuf di daerah elite. Kali ini ia bertanya tentang pengalamanku membina tasawuf. Ia juga bertanya tentang yayasan kajian tasawuf yang aku kelola. Aku bilang aku sudah tidak lagi berurusan dengan tasawuf. Ia bertanya tentang muridku yang paling ”sufi”. Aku jawab, ”Ia sudah mencapai makrifat setelah belajar dikuburkan hidup-hidup.” Howell mendesak bagaimana caranya membedakan gerakan tasawuf yang benar dengan gerakan para perampok di jalan Tuhan. ”Gunakanlah ukuran UUD dan UUS,” jawabku, ”apabila Anda menemukan gerakan itu ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, Anda sudah disimpangkan dari jalan Tuhan. Ada dua juga yang membedakan saints dengan madmen: bila setelah mendapat pengalaman rohaniah, Anda merasa diri Anda rendah dan bergairah untuk menyebarkan kasih ke seluruh alam, Anda adalah orang suci. Bila Anda merasakan diri Anda lebih saleh daripada semua orang dan Anda hanya bergairah untuk mengasihi guru Anda, Anda adalah orang gila. Anda sudah masuk perangkap Soul-Snatchers. Gitu aja, kok repot!”

  • READ MORE - Para Perampok di Jalan Tuhan

    Penjajahan Bahasa

    Karena sedang merencanakan kuliah ke Eropa, sebulan terakhir ini saya intesifkan lagi belajar Bahasa Inggrisnya. Target minimalnya bisa mencapai score Toefl 550, supaya tembus persyaratan beasiswa. Maksimalnya yah mencapai score 600, supaya bisa langsung mendaftar dan dapat acceptance letter dari Universitas.

    Seperti juga waktu pertama kali belajar Toefl, saya pikir ini seperti penjajahan bahasa. Bayangkan saja, saya mesti belajar tata bahasa bangsa lain sampai pada tingkatan yang detail, sementara saya sendiri tidak begitu tahu tata bahasa ibu saya : Indonesia dan Sunda. Sementara itu saya haqqul yakin kalau orang Inggris, Amerika dan Australia itu pengetahuan bahasa Inggris nya tidak sedetail yang saya pelajari di Toefl. Jadi kita ini sedang melestarikan bahasa orang lain dan melupakan bahasa kita sendiri kan?

    Yang lebih menjengkelkan ketika saya tadi singgah ke toko buku. Cari buku buat bahan belajar anak saya yang masih 4 bulan. Banyak saya temukan buku untuk mencerdaskan balita dengan iming-iming dwi bahasa, bahasa Inggris - Indonesia. Katanya mendidik anak secara dini berbahasa Inggris.

    Buku-buku ini bagi saya tidak hanya melanjutkan penjajahan bangsa sampai pada tingkat anak balita, tetapi juga menceritakan keminderan terhadap bahasa bangsa sendiri saja. Terlebih ketika tidak satupun saya temukan buku ajar buat balita dalam dwi bahasa, Indonesia - Sunda atau Indonesia - Jawa atau Indonesia dah bahasa daerah lainnya. Apakah mereka berfikir bahasa Sunda, Jawa, Minang dll itu tidak bisa mencerdaskan anak-anak kita?

    Yang lebih menggemaskan adalah ketika saya sempat sms teman yang sedang bergelut di dunia penerbitan. Saya bertanya apakah ada buku ajar buat balita dengan dwi bahasa Indonesia-Sunda. Singkat jawabannya, tidak ada buku untuk itu

    Jakarta, 15 Oktober 2008
    READ MORE - Penjajahan Bahasa

    Friday, 19 September 2008

    KOMPENSASI KEPERAWANAN ANAK SD ITU HANYA RP 900 RIBU

    Saya baru saja kembali dari liputan untuk rubrik potret. Liputan ke daerah kumuh di Jakarta Utara. Karena berkaitan dengan runtutan cerita yang saya dapat, maka saya tidak dapat menyebutkan daerah yang dimaksud. 

    Saya tidak tahu mesti meresponnya seperti apa dan bagaimana. Bila kejahatan-kejahatan sebelumnya yang ditampilkan di koran selalu saya curigai ada unsur dramatisasi, maka cerita ini tidak ada unsur dramatisasi. Diperoleh langsung dari orang yang melakukan advokasi terhadap korban. 

    Teman saya tadi menceritakan kalau di kampungnyasempat terjadi geger. Tiga anak ingusan yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar memperkosa perempuan anak didiknya di TPA yang juga masih SD. Ketika hal ini mau di advokasi lebih lanjut dan akan di blow up oleh teman saya tadi, keluarga korban dan keluarga pelaku tidak mau. Katanya hal itu akan diselesaikan secara kekeluargaan. Kebetulan memang diantara keduanya ada pertalian keluarga. 

    yang lebih tragis lagi, penyelesaian secara kekeluargaan selesai dengan uang kompensasi Rp 900 ribu rupiah. Masa depan anak sekolah dasar dihargai sebesar 900 ribu?

    Sampai saat sekarang saya masih bingung bagaimana bersikap mendengar cerita ini.
    READ MORE - KOMPENSASI KEPERAWANAN ANAK SD ITU HANYA RP 900 RIBU

    Thursday, 11 September 2008

    Budaya Masjid Vs Budaya Pasar di Bulan Ramadhan

    ‘imal lidunyakan kaannaka ta’isyu abadan

    Wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan

    (Ali Ibn Abi Thalib)

    Konon ada dua budaya dalam kehidupan masyarakat. Pertama budaya masjid yang kedua budaya pasar. Bila yang pertama berkaitan dengan agama yang berarti mengajarkan normativitas dalam keseharian serta pengingatan akan kehidupan here after, maka yang kedua berbicara tentang aspek duniawi.

    Menurut Alm Kuntowidjoyo Dalam buku Budaya dan Masyarakat (1991), Budaya masjid adalah budaya yang menggambarkan budaya masyarakat yang bersih, jujur, dan jauh dari aspek hedonisme. Sedangkan budaya pasar merujuk budaya masyarakat yang penuh tipu daya dan selalu mementingkan keuntungan materi.

    Di kehidupan masyarakat, kedua budaya ini melahirkan orang dengan pola sikap dan pola perilaku yang berbeda. Bila budaya masjid melahirkan orang yang sering disebut alim, santun dan irrasional, maka budaya pasar melahirkan orang yang progresif, rasional dan siap melakukan apa saja untuk memenangkan sebuah kompetisi.

    Karena perbedaan type dan orientasi antara dua budaya ini, tidak jarang tokoh utama masing-masing budaya ini berada dalam posisi konfrontatif. Aktor budaya masjid, bagi aktor budaya pasar, dianggap jumud dan sok alim. Begitu juga sebaliknya,aktor budaya pasar bagi menurut aktor budaya masjid, adalah calon penghuni neraka karena sering menegasikan tuhan di kehidupan kesehariannya.

    Perkembangan selanjutnya adalah ketika budaya pasar dan budaya masjid ini saling berkompetisi. Di satu waktu dan satu tempat kadang budaya masjid sangat dominant, begitu juga sebaliknya. Dominasi bisa terjadi dalam bentuk sarkasme, berupa pelarangan yang dilakukan budaya masjid atau pelecehan oleh aktor budaya pasar.

    Tetapi yang sangat menarik adalah ketika terjadi sinergi antara budaya masjid dan budaya pasar. Aktor budaya pasar secara jenius memanfaatkan setiap moment budaya masjid untuk dijadikan kesempatan mencari keuntungan. Aktor budaya masjid meneriman

    Ramadhan menjadi momen bersama antara aktor budaya masjid dan budaya pasar. Bagi orang masjid, Ramadhan adalah sesuatu yang sangat sakral dan momen yang sangat tepat untuk menyebarkan pemahaman keagamaan secara massal dan menarik. Begitu juga bagi orang-orang pasar. Ramadhan menjadi tempat yang sangat tepat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

    Tetapi dalam prakteknya, meskipun seolah terjadi sinergitas, pada dasarnya yang terjadi di setiap Ramadhan adalah dominasi. Budaya pasar selalu menjadi penentu utama dari setiap hajatan yang dilakukan pada bulan Ramadhan.

    Hal ini setidaknya bisa dilihat dari banyaknya reduksi makna yang menjadi ajaran-ajaran budaya masjid. Karena kepentingan komersil, ceramah ramadhan mesti sering dipotong iklan. Supaya acaranya menarik, maka semuanya mesti didominasi oleh canda tawa. Akibatnya adalah, acara Ramadhan membawa tertawa tidak memberikan pencerahan.   

    Ketika pasar menjadi sangat dominant pada bulan Ramadhan ini, maka siap-siap saja agama, terkhusus Ramadhan, menjadi sangat tereduksi. Sebanya sederhana saja, karena semuanya bergerak demi uang. Dan ketika semua bergerak demi uang, maka ketika itu juga pada dasarnya budaya masjid sudah kalah.

    Menurut Sosiolog Georg Simmel, Uang dalam sistem capital menjelma menjadi nilai dari segala sesuatu. Dia tak membutuhkan nilai lain, apalagi agama atau moral. Secara sataris, sosiolog Jerman itu bahkan menyatakan, ketika uang telah menjadi nilai utama, maka dia telah menjadi tuhan yang mendevaluasi tuhan-tuhan lainnya.

    Khamami Zada (2006) berpendapat bahwa fenomena market oriented yang muncul dibalik program-program tayangan keagamaan seringkali tidak secara sadar ditangkap pemirsa (umat dan agamawan) sehingga yang terjadi adalah industrialisasi agama.

    Fenomena dakwah keagamaan dan industri hiburan dalam kenyataannya memarjinalkan agama dalam kutub komersialisasi. Dampak terbesar industrialisasi adalah kian maraknya budaya konsumtif (consumer culture) dalam kehidupan masyarakat.

    Apa yang digambarkan oleh Khamami Zada tersebut nampaknya semakin dibuktikan dengan kecenderungan besar, dimana pesan-pesan keagamaan oleh publik hanya dilihat sebagai simbol-simbol budaya, life style dalam budaya konsumtif.

    Lalu bagaimana keluar dari masalah ini?Apakah budaya masjid itu memang terlalu idealis untuk hidup di zaman yang begitu materialistis?ataukah memang tidak ada tempat bagi budaya pasar karena hanya melulu mengajarkan dunia semata seolah tidak ada kearifan di masing-masing fihak

    Masyarakat Indonesia pada dasarnya sejak dahulu sadar dengan kondisi ini. Pentingnya dua budaya ini diformulasikan masyarakat dalam bentuk tata arsitektural kota yang sangat menarik.

    Dimanapun kota di Indonesia, selalu menempatkan masjid dan pasar sebagai dua posisi yang tidak pernah lepas. Masjid dan pasar inilah yang kemudian menjadi pemantau bagi keratin sebagai pusat kekuasaan. Artinya ada kerjasama antara masjid dan pasar dalam menopang kehidupan masyarakat.  

    Beberapa abad sebelumnya Sahabat dan menantu nabi, Ali Ibn Abi Thalib, memberikan rumusan solusi yang sangat ringan dan cerdas. Menurut Ali persoalannya terletak ketika kita mampu memposisikan secara proporsional diantara dua budaya ini. “imal lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan wa’mal liakhiratuka kaannaka tamuutu ghaddan”

    Bekerjalah kamu bagi duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah kamu bagi akhirat kamu seolah-olah kamu akan mati besok.

    Masjid dan pasar bukan sesuatu yang mesti dipisahkan. Keduanya bisa saling sinergi dan mendatangkan keuntungan bagi masing-masing. Kecelakaan terjadi ketika terjadi dominasi dan arogansi diantara dua budaya ini.

    Hal inilah yang kemudian sudah ditunjukan oleh Dedy Mizwar dengan sinetron Ramadhannya “Para Pencari Tuhan” jilid II. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Metro TV ketika dengan secara konsisten menayangkan talkshow “Tafsir al Misbah” oleh Prof Dr Quraish Shihab.

    Pesan-pesan agama tersampaikan sebagaimana juga obsesi orang pasar untuk meraih pemirsa sebanyak-banyaknya bisa terfasilitasi. Dan yang terpenting adalah; barakah.

    Waallahu’alam bi shawab

    READ MORE - Budaya Masjid Vs Budaya Pasar di Bulan Ramadhan

    Thursday, 14 August 2008

    Cerita Gus Dur dan Megawati

    Ini sedikit cerita tentang mantan Presiden kita. Yang satu emang sudah konyol dari dulunya sehingga saya tidak melihatnya dalam perspektif psikologi kekuasaan sedangkan yang kedua saya melihatnya emang orang yang agak payah ketika berhadapan dengan kekusaan.

    Gus Dur itu adalah mantan presiden kita yang sangat doyan makan durian. Konon katanya dalam sebuah perjalanan di Tol Jabotabek rombongan Gus Dur melewati durian masak yang tercium oleh hidung Gus Dur yang cukup tajam. Karena saking sukanya kontan saja Gus Dur menyuruh supirnya memundurkan mobil dahulu untuk membeli durian tadi. Bayangkan saja, rombongan mobil presiden berjalan mundur di jalan tol hahahaha...

    Tapi kalo cerita ini menurut saya keterlaluan. Konon ketika Presiden Megawati hendak kembali ke Jakarta selepas kunjungan ke Kalimantan, didalam pesawat Megawati baru menyadari kalo makanan kesukaannya tertinggal. Karena Megawati ingin makanan kesukaannya itu kontan saja yang kerepotan adalah ajudannya. Selanjutnya adalah pilot dan co-pilot pesawat yang sudah stand by untuk take off mesti mencancel semuanya. Yang lebih parah adalah jadwal penerbangan pesawat di Bandara itu. Jadwal penerbangan mesti delay selama sejam.

    Bayangkan !... Ratusan orang mesti rela menunggu delay jadwal penerbangan selama sejam hanya karena makanan kesukaan Presiden kita tertinggal.
    READ MORE - Cerita Gus Dur dan Megawati

    Friday, 8 August 2008

    Konsisten dengan Tindakan Sederhana

    Think globally act locally!.. Kalau teman saya menulis di CV nya Think big, start small, move fast!.. Dibaca agak sedikit berbeda, mencoba konsisten dengan gagasan besar melalui tindakan-tindakan kecil dan sederhana. Ternyata meskipun tuntutan konsistennya hanya dalam bentuk tindakan kecil dan sederhana, ini bukanlah sesuatu yang sederhana dan mudah juga.

    Malam tadi kira-kira pukul 02.30 saya terbangun. Secara refleks tangan saya mengambil remote control dan menyalakan televisi. Lha?kok menyalakan tv dini hari sih?Apa yang dicari?Tidak ada film yang menarik pada dini hari juga tidak ada berita yang update dini hari. Kecuali memang sedang ada Piala Eropa, Piala Dunia atau Liga Champion. Tapi ini kan sedang tidak jadwalnya.

    Yang jelas menyalakan TV tanpa tujuan pastinya pemborosan energi. Padahal saya sering geram bila mendengar berita tentang pemborosan energi, menulis pemborosan energi yang dilakukan oleh birokrat dan baru-baru saja rumah facebook saya menjadi member sebuah group yang melawan Global Warming.

    Beberapa waktu lalu saya mendengar cerita seorang teman yang bekerja di LSM kesohor di Indonesia. Diantara yang diomongkannya adalah mengingatkan masyarakat tentang ancaman kebangkrutan Indonesia baik secara sosial, politik, ekonomi dan budaya. Untuk masalah ekonomi teman saya tadi condemn juga mencibir semua korupsi. Tetapi ternyata teman saya tadi kalo pulang sering naek kereta dari Gambir dan membayar tiket di gerbong. Lha?Kok?

    Itu baru saya dan temen saya aja yang ngomongin hal besar tapi tidak konsisten dalam bentuk tindakan kecil dan sederhana. Saya curiga, dan saya yakin benar, pastinya masih banyak orang lain yang tidak jauh berbeda dengan kelakuan saya

    Jadi betul menurut Quran, selain refleksi dibutuhkan juga koreksi. watawashaubil haq watawa shaubil shab. Selain ketahanan individu dibutuhkan juga ketahanan kelompok.
    READ MORE - Konsisten dengan Tindakan Sederhana

    Tuesday, 5 August 2008

    Orang Baik atau Orang Tertindas?

    Bila ingin melihat betapa baiknya orang Indonesia, coba aja naik KRL Ekspress Jakarta - Bogor, Jakarta - Depok, Jakarta - BSD atau Jakarta - Bekasi pada saat jam berangkat atau pulang jam kantor.

    Setelah membayar karcis yang cukup mahal (Rp 9.000 - Rp 13.000) penumpang KRL harus puas dengan gerbong kereta bekas dari Jepang dengan AC yang kadang-kadang tidak stabil. Masalah kapasitas gerbong?jangan tanya hal itu. Jangan pernah bertanya apalagi menghitung kelayakan kapasitas gerbong itu sebetulnya untuk berapa orang. Pokoknya KRL berhenti di beberapa statsiun yang sudah ditunjuk setelah itu silahkan penumpang yang sudah membeli tiket masuk, tidak perduli didalam sudah penuh atau belum.

    Kecepatan?yang dimaksud dengan ekspress bukannya kereta bergerak cepat, tetapi kereta hanya tidak berhenti di setiap statsiun seperti KRL ekonomi dan bisa jadi kecepatannya tidak jauh berbeda dengan KRL Ekonomi karena traffic nya yang padat. So bisa jadi waktu tempuh dengan KRL Ekspres menjadi sangat tidak ekspres.

    Setelah itu semua, lihatlah kebaikan orang Indonesia itu. Mereka tetap merelakan sebagian uangnya untuk membeli bangku kecil atau koran supaya bisa melepas lelah sejenak dalam kereta setelah seharian bekerja. Jadi ternyata kenyamanan belum kunjung didapat meskipun sudah bayar karcis cukup mahal.

    Begitu baiknya penumpang kereta di Indonesia. Tapi saya juga ragu, apakah ini karena baik atau memang karena kita sudah terbiasa dengan penindasan? Tidak tahu lah...
    READ MORE - Orang Baik atau Orang Tertindas?

    Monday, 4 August 2008

    Antara Gelora Bung Karno, Monas dan Menara Petronas

    Beberapa hari yang lalu saya jalan-jalan ke Gelora Bung Karno di Jakarta. Mengelilingi bangunan senayan dan juga masuk ke ruangan dalam, melihat dari jauh bagaimana lapangan bola yang selama ini hanya bisa saya lihat di layar TV saja. Dulu sempat merencanakan nonton bola langsung ke stadion ini dengan catatan Persib Bandung tampil sebagai finalis Ligina. Tapi ternyata Persib, setelah juara di Ligina I, tidak pernah lagi tampil sebagai finalis Ligina di stadion ini.

    Sebetulnya berkali-kali saya sering datang ke kompleks olahraga terbesar di Indonesia mengikuti pameran buku, pendidikan, komputer yang sering digelar di Jakarta Convention Centre nya. Mungkin karena belum ada kepentingan yang mendesak, maka Gelora Bung Karno hanya saya lihat dari jauh saja. Kali ini saya mendekati dan masuk ke bangunan Gelora Bung Karno karena sedang mengantar dan menunggu istri yang mengikuti testing pekerjaan di tempat ini.

    Jangan pernah melihat bangunan Gelora Bung Karno, sebagai stadion kebanggaan nasional dan terbesar di Indonesia, dan membandingkannya dengan Stadion yang dimiliki Malaysia di Bukit Djalil sana. Apalagi membandingkan dengan Allianz Arena di Muenchen Jerman. Selain salah dan proporsional, pandangan seperti ini tidak akan pernah menghadirkan efek ketakjuban kedalam diri. Kemegahan dan kehebatan Gelora Bung Karno tidak akan pernah hadir bila dilihat dengan cara seperti itu.

    Bayangkan lah sebuah negeri yang baru saja lepas dari penjajahan selama 3,5 abad. Penjajahan yang menghancurkan penduduk negeri nya baik secara phisik maupun psychis. Tidak hanya itu, penjajahan itu telah mengakibatkan penduduk negeri ini merasakan kemakmuran alam nya meskipun negeri ini dikenal memiliki alam yang sangat kaya.

    Dalam usia baru seumur jagung dengan kondisi alam dan masyarakat yang dirusak oleh kolonialisme penjajah inilah kemudian Stadion Gelora Bung Karno ini dibangun. Melalui stadion inilah kemudian citra Indonesia terbangun dihadapan negara lainnya. Pastinya bangunan ini tidak akan pernah berdiri tanpa adanya sebuah heroisme, visi dan semangat sebuah bangsa.

    Saya teringat ketika beberapa tahun yang lalu datang ke Kualalumpur. Karena menara kembar (Twin Tower) Petronas sudah menjadi kebanggaan bagi orang-orang Malaysia dan menjadi icon negeri mereka, teman-teman disana mengajak saya mengunjungi kesana. Sebelumnya teman-teman disana juga mengajak saya menikmati megahnya menara KL yang tingginya lebih pendek dibanding menara Petronas.

    Dalam lawatan berikutnya ke Malaysia saya sengaja datang ke menara petronas sendiri. Menampik kesediaan teman-teman di Malaysia untuk mengantar saya kesana. Selain karena saya sudah mengetahui route perjalanan dan Kualalumpur dan lebih mudah dan nyamannya moda transportasi di Kualalumpur dibanding Jakarta, saya juga sedang ingin sendiri memaknai apa yang saya lihat.

    Ditempat yang cukup jauh saya pandangi sekali lagi menara Petronas itu. Sebagaimana juga masyarakat Asia lainnya, saya juga merasakan keindahan dan kemegahan menara kembar ini. Bila malam lampu-lampu yang menyala disekelilingnya terlihat sangat indah. Bila siang arsitekturnya yang unik dan menjulang tinggi menjadi pemandangan sendiri.

    Tanpa sadar air mata saya jatuh dan akhirnya saya sesunggukan menangis. Saya tinggalkan menara Petronas dan masuk ke kereta "Putera" sambil menunduk menyembunyikan air mata saya dari penumpang Putera lainnya. Tidak banyak penumpang yang memperhatikan air mata saya karena mungkin mereka sendiri masih lelah dengan pekerjaannya.

    Saya menangis membayangkan petronas sebagai lambang tertinggalnya Indonesia dibanding Malaysia. Mestinya menurut saya Pertamina bisa membuat menara yang jauh lebih megah, besar dan indah daripada menara petronas. Tapi itu tidak terjadi dengan segala penyimpangan yang telah dilakukan oleh para penguasa di negeri ini. Ironisnya lagi menurut saya, SDM Indonesia jauh lebih handal dibanding Indonesia. Ukurannya sangat sederhana. Teman-teman Malaysia saya selalu menyatakan bahwasannya Indonesia tempat kumpulan orang-orang pintar dan sangat militant. Mereka selalu menyebut nama Habibie, Amien Rais, Ahmad Syafie Maarif, Adi Sasono, Alm Abdul Rahim Natsir, Alm Natsir, Kuntowidjoyo dll sebagai tokoh-tokoh yang selalu menjadi rujukan mereka. Dan mereka hanya menyebut nama Datuk Sri Anwar Ibrahim, sebagai tokoh yang menurut mereka layak menjadi rujukan.

    Saya juga membayangkan betapa modal Indonesia untuk maju jauh lebih besar dibanding teman-teman di Malaysia. Bila Malaysia menjadikan menara petronas sebagai icon kemajuan mereka, Indonesia jauh lebih dahulu memiliki monas yang dibangun pada masa-masa awal kebangkitannya. Tentunya memerlukan tenaga ekstra tersendiri, phisik dan non phisik, membangun bangunan yang begitu monumental seperti Monas.

    Apalagi bila ditelusuri lebih lanjut dengan melihat masjid Istiqlal, masjid terbesar se Asia Tenggara, Gelora Bung Karno, juga Hotel Indonesia. Semuanya dibangun ketika bangsa-bangsa di Asia baru saja lepas dari penjajahan.

    Dikemudian hari saya menyadari membandingkan monas dan menara petronas bukanlah perbandingan yang ideal. Tidak hanya merujuk kepada sejarah, secara angka, pembangunannya itu sendiri, tetapi juga merujuk kepada semangat yang terbangun di kedua bangunan monumental tersebut.

    Menara Petronas bagi saya adalah dokumentasi dari sebuah semangat kapitalisme sejati dari sebuah international coorporate perminyakan. Bangunan itu seolah memancarkan kerakusan sebuah perusahaan yang ingin melahap dunia ini sampai habis menunjukan bahwa dirinya sangat kuat dan berkuasa diatas dunia

    Uang dan kekuasaan. Itulah yang terpancar dari bangunan ini

    Sedangkan Monas adalah dokumentasi dari sebuah keinginan bapak bangsa untuk membangun sprit bangsanya mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan gagah. Monas seolah ingin mengatakan kepada dunia akan adanya sebuah negeri yang subur makmur yang sudah melepaskan diri dari penjajahan dengan gagah berani. Bangunan ini mengingatkan dunia untuk tidak lagi memandang rendah negeri yang baru saja melepaskan diri dari penjajahan.

    Komitmen, Heroisme dan semangat untuk maju. Itulah yang ingin dipancarkan oleh monumen ini.

    Oleh karena itu beberapa hari kemarin saya bilang ke anak saya yang masih berumur 1 bulan bila dia sudah bisa mengikuti saya ke Jakarta nanti, saya ingin mengajaknya berkeliling ke Monas. Tidak hanya melihat bangunan yang sudah menjadi icon Indonesia, tetapi juga merasakan komitmen, heroisme dan semangat untuk maju sebagai bagian yang mesti ada dalam diri anak saya
    READ MORE - Antara Gelora Bung Karno, Monas dan Menara Petronas