Friday, 7 August 2009

Memilih Karena Menolak

Konon kita ini tidak pernah benar-benar serius memilih seseorang. Kita memilih seseorang karena menolak seseorang, tidak jelas apa sebabnya, apakah karena memang tidak ada orang yang layak dipilih, kemarahan besar terhadap seseorang atau memang karena keputusasaan. Pada akhirnya yang terpilih bukan yang terbaik. Tetapi yang jelas seringkali terjadi kita memilih seseorang karena menolak seseorang. Coba saja lihat faktanya berikut ini.

Pasca Habibie, Gus Dur dipilih DPR menjadi Presiden karena DPR menolak Megawati. Dua tahun berikutnya keadaan berbalik, Megawati dipilih karena DPR menolak Gus Dur. Waktu terus berlanjut dan Gus Dur pun melakukan hal yang sama ; memilih Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum PKB karena menolak Muhaimin Iskandar.

Jauh di Amerika sana John McCain mesti susah payah menyusun strategi komunikasi walau dia satu partai, tetapi dia tidak punya kedekatan khusus dengan George Bush. Takut tidak dipilih karena masyarakat banyak yang benci terhadap Bush. Tadi pagi saya tanya sopir taksi yang saya naiki dari Gambir tentang pilihan presidennya. Dia bilang “saya pilih Lanjutkan saja pak”. Ketika saya tanya alasannya, dia jawab sederhana “Semuanya pembohong, saya pilih yang sudah jelas terasa saja”

Beberapa hari menjelang pilpres, yang ada dikepala saya untuk dipilih antara SBY dan JK. Ini bukan karena penolakan terhadap Megawati, tetapi memang alasan-alasan rasional saya menyatakan untuk tidak memilih Megawati. Mulai dari kapasitas pribadi dan juga kapasitas kelompok Megawati itu sendir. Mungkin kalau orang-orang seperti alm Sophan Sophian, Eros Djarot dkk masih ada disana, kapasitas kelompok mereka masih bisa saya acungi jempol. Masalahnya orang-orang seperti itu sudah minim, untuk tidak mengatakan tidak ada.

Sebagai orang yang terlibat untuk mensukseskan SBY, pastinya SBY menjadi prioritas. Bukan hanya karena tingkat pengetahuan yang relatif lebih, tetapi juga mungkin karena etika juga. Masak tim SBY tidak memilih SBY?

Tetapi tidak dapat dipungkiri, banyak hal menarik bila menyimak gagasan dan performance Jusuf Kalla. Minimalnya kita tertarik dengan spirit fighting dan juga iklan-iklannya yang jauh lebih menarik dibanding kandidat lain. Oleh karena itu kedudukan antara SBY dan JK menjadi berimbang, bahkan mungkin condong ke JK. Ibarat menonton Liga Champion antara AC Milan dan Barcelona, sulit untuk memihak salah satu karena kita suka keduanya sejak SMA dulu

Tetapi pada akhirnya cahaya terang untuk menentukan pilihan itu datang juga. Pemicunya adalah pertemuan antara kubu JK dan Mega yang difasilitasi Pak Din Syamsudin di PP Muhamadiyyah. Sampai sekarang saya belum mendapat penjelasan yang memadai kenapa ormas, dan ketuanya, sekaliber Muhammadiyyah, mesti terlibat langsung dalam urusan politik praktis dukung-mendukung seperti ini. Kenapa tempatnya mesti di Muhamadiyyah?

Meskipun memakain argumentasi amar ma’ruf nahi munkar, nuansa politik praktis dalam kasus ini sangat kental. Apalagi sebelumnya disinyalir Muhammadiyyah mengeluarkan maklumat buat warganya yang mengarah ke pasangan tertentu

Tetapi seperti yang saya bilang, ini hanya pemicu saja karena tampil terlalu vulgar dan dilakukan oleh ormas yang sangat terpandang, kuat dan terhormat. Seorang teman memberitahu kalau MUI dan ormas keislaman lainnya juga melakukan hal yang sama; terlibat politik praktis yang cukup jauh dalam bentuk aksi dukung mendukung. Hanya saja saya tidak melihat sejelas apa yang dilakukan Pak Din. Yang jelas-jelas saya lihat iklannya sih Forum Umat Islam yang mengatasnamakan puluhan ormas-ormas keislaman untuk mendukung salah satu capres dan itu diumumkan secara vulgar dalam bentuk iklan di media.

Sampai saat sekarang ini saya masih berpendapat bahwa organisasi keagamaan mestilah steril dari politik praktis. Mereka adalah penjaga moral bangsa ini. Saya membayangkan bagaimana kalau negeri ini ada dalam keadaan chaos, seperti kasus 98, dan tidak ada orang atau komunitas yang didengar masyarakat karena semuanya sudah terlibat politik praktis. Bila semua organisasi kemasyarakatan beserta tokohnya terlibat, siapa lagi yang akan menjadi panutan masyarakat? Jangankan dalam kondisi chaos, dalam kondisi normal saja organisasi kemasyarakatan, apalagi yang berbasis agama, mesti menjaga dirinya dari politik praktis karena komunitas mereka adalah masyarakat bukan elite politik.

Seorang teman pernah mengatakan kalau tokoh-tokoh, utamanya tokoh agama, memang mesti menyatakan keberpihakannya karena ini bentuk pengabdian terhadap bangsa ini. Netral berarti pengecut dan tidak punya sikap. Masalahnya bagi saya, apakah politik kemudian satu-satunya jalan untuk mengabdi terhadap bangsa ini?Lalu apakah pengabdian seorang tokoh masyarakat dan pemimpin ormas terhadap bangsa ini mesti dinyatakan dalam aksi dukung mendukung?Banyak hal lain yang mesti dibenahi di negeri ini, politik hanya bagian kecil dari kehidupan bangsa ini.

Lagi pula, apakah pilpres kemarin sudah begitu gawat sehingga agama mesti pasang badan?Ini bukan perlawanan melawan Belanda sehingga harus ada fatwa agama jihad sebagai basis perlawanannya. Ini hanya pertaruangan politik biasa antar kontestan yang berbeda pada tataran cara bukan komitmen. Mestinya agama pasang badan terhadap korupsi yang susah diberantas, penyebaran narkoba yang begitu massif dan kejahatan yang sudah tidak terkendali

Jujur saja, saya kemudian berdoa kalau langkah saya memilih, karena menolak keterlibatan komponen civil society dalam politik praktis, sama dilakukan oleh masyarakat lainnya. Saya bilang sama seorang teman; saya puas kalau kebanyakan orang melakukan ini juga. Biar jadi bahan pembelajaran dan pengingatan kalau suara orang-orang yang merasa tokoh itu sebenarnya sudah tidak dihitung masyarakat lagi. Masyarakat sudah tidak mendengar mereka.

Ke depan, selain menyadarkan mereka untuk tidak terlibat lebih jauh dalam urusan politik praktis, tetapi juga mengingatkan mereka untuk kembali ke habitat asalnya ; bergaul bersama masyarakat. Bukankah ketika suara mereka tidak di dengar masyarakat berarti mereka selama ini tidak mengenal masyarakat?yang ujung-ujungnya berarti selama ini mereka jarang berinteraksi dengan masyarakat.

Tetapi sebuah sms pesimis datang dari seorang teman aktivis salah satu ormas keagamaan “mudah-mudahan, biar tahu rasa mereka, mudah-mudahan seperti biasanya tidak pernah merasa malu hehehe…” Ini hanya ungkapan pesimis aja. Tetapi saya yakin kok, kalau pilpres nanti akan ada perubahan. Masing-masing akan berjalan sesuai peran dan posisinya
READ MORE - Memilih Karena Menolak

Perilaku Manusia

Jika tampak padanya pengharapan, ia dihinakan ketemakan
Jika bergolak padanya ketamakan, ia dirusak kerakusan
Jika dikuasai keputusasaan, ia dibunuh rasa kasihan
Jika terbakar emosi, amarahnya semakin meledak-ledak
Jika dilenakan kesenangan, ia lupa untuk menjaga
Jika mendapat ketakutan, ia disibukan oleh alasan
Jika mendapat keamanan, kelalaian mencurinya
Jika memperoleh harta, ia dikuasai kekuasaan
Jika ditimpa musibah, ia dikuasai kesedihan
Jika digigit kefakakira, ia disibukan oleh ujian
Jika ditimpa kelaparan, kelemahan ikut duduk bersamanya
Jika kenyang, perutnya teramat penuh
Jadi setiap kekurangan baginya berbahaya, dan setiap kelebihan merusaknya

Imam Ali Ibn Abi Thalib
READ MORE - Perilaku Manusia

Friday, 6 February 2009

Anarkisme Politik Kerumunan

Kompas,
Jumat, 6 Februari 2009

Siapa pun yang ada dalam kerumunan pasti berpikir, merasa, dan bertindak serupa.

Kekuatan emosional dan irasional menyeruak. Nafsu barbarian muncul. Keragaman individualitas ditenggelamkan homogenitas kerumunan.

Itulah gambaran Gustave Le Bon (1841-1931) tentang kerumunan. Agresif dan destruktif merupakan perilaku yang identik dengan eksistensi kerumunan. Tragisnya, kerumunan disamakan dengan kekuatan rakyat. Bahkan, kerumunan telah dipandang sebagai pelaksanaan demokrasi yang diwujudkan dalam gelombang demonstrasi. Sekian banyak orang berkumpul dan menciptakan kerumunan untuk mengekspresikan pendapat dan menuntut hak. Tanpa disadari, perilaku yang dinilai sebagai wujud demokrasi itu menjelma sebagai keberingasan mobokrasi.

Mobokrasi adalah konsep yang tidak asing lagi dalam perjalanan demokrasi kita. Sebagai contoh, pembakaran dan perusakan sejumlah kantor pemerintah, rumah dinas, dan kendaraan di Kabupaten Kaur, Bengkulu, pada 2005 terkait dengan kekalahan seorang kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Bahkan, berbagai demonstrasi yang mengerahkan aksi-aksi kekerasan merupakan fenomena mobokratis. Lebih ironis lagi, tindakan serba merusak itu dimaksudkan untuk mendapat liputan media massa!

Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan mob, yakni kerumunan yang secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi penuh destruksi. Ketika ada pihak yang dianggap membuat kesalahan dan tidak memenuhi kehendak dari kerumunan yang agresif itu, pihak yang dimaksud pun dikeroyok, dipukuli, atau dihajar beramai-ramai hingga ajal. Gejala itulah yang terjadi pada kematian Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat.

Mendatangkan kerusuhan

Memang tidak semua kerumunan menciptakan kerusakan dan kekacauan. Herbert Blumer (1900-1987), sebagaimana diuraikan Alex Thio (Sociology, 1989: 580) mengklasifikasikan empat tipe kerumunan: (1) kerumunan tidak tetap (casual crowd), yang keberadaannya amat singkat dan terorganisasi secara longgar. Tipe ini bersifat spontan, misalnya orang yang bersama-sama melihat gedung terbakar atau kecelakaan; (2) kerumunan konvensional (conventional crowd), yang terjadi secara terencana dan berperilaku teratur, misalnya penonton dalam teater atau pertandingan sepak bola; (3) kerumunan bertindak (acting crowd), yang keterlibatannya didasari pada permusuhan atau aktivitas destruktif, misalnya mob yang melakukan pembantaian; dan (4) kerumunan ekspresif (expressive crowd), yang muncul untuk melampiaskan emosi dan ketegangan, misalnya para penonton konser musik rock.

Namun, pada dasarnya, tiap kerumunan rentan mendatangkan kerusuhan. Hal ini bisa berlangsung karena tiap individu yang ada dalam kerumunan mudah kehilangan identitas diri. Ini yang disebut anonimitas. Dalam momen kerumunan, individu-individu tercerabut dari personalitasnya. Selain itu, kekerasan mudah merebak karena individu-individu cenderung meniru perilaku anggota kerumunan lainnya. Saat satu orang memukul, diikuti orang lain. Kerumunan cepat menularkan kekerasan.

Kerumunan juga tidak lepas dari tindakan permisif. Apa pun tindakan yang dianggap melanggar norma-norma dilampaui dan dimaafkan begitu saja. Sebab, kerumunan merupakan keadaan abnormal. Namun, abnormalitas itu dianggap normal dalam kerumunan karena individu-individu merasa tidak bertindak sendiri. Aksi-aksi kerumunan mengandalkan kehendak gerombolan sehingga tanggung jawab individu seolah bisa diserahkan total kepada kawanan yang banyak. Atas nama kekompakan, akhirnya semua jenis kekerasan dikerahkan. Apalagi saat rasa permusuhan dan kebencian terus dipompakan.>kern 251m<

Ketidakhadiran negara

Ketika kerumunan dominan dalam ranah politik, yang terjadi adalah anarkisme. Hanya saja, apa yang dimaksud dengan anarkisme dalam domain ini bukan corak pemikiran yang bertujuan untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk totaliterianisme kekuasaan. Anarkisme adalah suatu keadaan ketika tidak ada lagi otoritas yang mengatur dan mengendalikan. Anarkisme adalah situasi kekacauan yang ditandai dengan ketidakhadiran negara. Polisi yang seharusnya bertindak cepat dan responsif justru dikalahkan demonstran yang mewujudkan dorongan mobokrasi. Pada titik kulminasinya, negara dikalahkan daya rusak politik kerumunan.

Padahal, negara dibenarkan untuk menjalankan kekerasan. ”Setiap negara didasarkan pada kekerasan,” ungkap Leon Trotsky (1879-1940). Jika tidak ada lembaga sosial yang memakai kekerasan, konsep negara mengalami eliminasi, dan kondisi itulah yang memunculkan anarki (HH Gerth dan C Wright Mills, From Max Weber, 1958: 78). Karena itu, hanya negara yang diizinkan memonopoli kekerasan. Dalam menjalankan kekerasan, negara tidak boleh bertindak eksesif. Koridor hukum merupakan kekuatan yang bisa dirujuk polisi sebagai aparat negara.

Negara yang membiarkan aksi- aksi destruktif berarti membolehkan anarkisme politik kerumunan merayakan kemenangan. Pada saat itu otoritas negara dirampas politik kerumunan. Itulah yang dinamakan mobokrasi yang secara vulgar melakukan korupsi atas demokrasi. Akan terulangkah fenomena mobokrasi seperti ini? Jawabannya terletak pada ketegasan negara menjaga tatanan demokrasi agar tidak berulang kali disandera anarkisme politik kerumunan.

Triyono Lukmantoro Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip, Semarang






READ MORE - Anarkisme Politik Kerumunan

Sunday, 21 December 2008

Demi Kejar Tayang

Kompas

Minggu, 21 Desember 2008

Apa pun, program kejar tayang di televisi biasanya dibuat serba tergesa-gesa. Bagaimana kita bisa menilai estetika produk industri kebudayaan semacam ini?

Hari yang sibuk buat Mardhatillah, associate producer Bukan Empat Mata (sebelumnya bernama Empat Mata). Seusai menyelesaikan shooting rekaman Bukan Empat Mata (BEM), Selasa (16/12) petang, Tia, begitu dia disapa, langsung bertolak dari studio Trans7 di Mampang, Jakarta Selatan, menuju Kampus FISIP Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, untuk mengikuti ujian.

Seusai mengikuti ujian, malam itu juga Tia kembali ke Trans7 untuk memimpin shooting BEM yang ditayangkan secara langsung. ”Wah, capeknya minta ampun,” kata Tia, Kamis di Trans7.

Tanpa ada ujian pun, setiap hari Tia sudah supersibuk. Setiap Selasa dan Rabu, Tia harus memimpin masing-masing dua shooting BEM. Sekitar pukul 16.00 hingga 19.00, dia memimpin shooting rekaman (taping) untuk episode Jumat dan Senin. Sekitar pukul 21.00 hingga 23.00, dia memimpin shooting tayang langsung (live).

Apabila shooting episode rekaman mulai pukul 16.00, empat jam sebelumnya Tia dan kru sudah mempersiapkan segalanya. Setelah shooting itu selesai, dia harus segera mempersiapkan BEM shooting berikutnya untuk episode tayang langsung.

Hari Kamis dia dan kru hanya satu kali shooting BEM untuk episode tayang langsung. Di luar itu, Tia harus siap memimpin shooting untuk episode khusus seperti Lebaran.

Jika tidak ada shooting, Tia dan 10 kru intinya harus mengurus tetek bengek persiapan produksi, seperti meriset tamu yang akan diundang, menyusun anggaran, menentukan tema acara, membuat jadwal kerja, menyusun daftar kebutuhan shooting; pascaproduksi, hingga menghadiri rapat yang membahas pergerakan rating BEM.

Saking sibuknya, Tia mengaku sering kali baru bisa pulang ke rumah sekitar pukul 02.00. ”Di rumah saya hanya numpang tidur, setelah itu kembali lagi ke kantor. Untuk melahirkan ide-ide untuk BEM, kadang tidak sempat,” katanya.

Industri televisi, terutama yang memproduksi program kejar tayang, memang menuntut kerja amat keras. Orang-orang yang terlibat dalam pembuatan sinetron kejar tayang mungkin bekerja lebih keras dibandingkan dengan kru BEM. Mereka sering kali shooting hampir 24 jam tanpa henti.

Mari kita tengok lokasi shooting Cinta Indah produksi Multivision Plus atau Upik Abu dan Laura produksi SinemArt beberapa bulan lalu. Para kru ”bergelimpangan” di kursi, tertidur karena capek seusai shooting. Lembar-lembar naskah skenario berserakan begitu saja.

Manoj Punjabi, pemilik rumah produksi MD Entertainment yang memproduksi sinetron kejar tayang seperti Cinta Fitri (SCTV), mengatakan, kerja semacam itu wajar-wajar saja. Apalagi para kru dan bintang telah dibayar mahal.

Dia pun menuntut timnya untuk bekerja 18 jam sehari. ”Pokoknya, untuk shooting satu hari harus bisa (menghasilkan) satu episode agar bisa kejar tayang,” katanya, Jumat.

Dengan cara kerja seperti itu, sinetron Cintra Fitri produksi MD Entertainment bisa dibuat hingga ratusan episode. Cinta Fitri 1 dibuat 200 episode, Cinta Fitri 2 168 episode, dan Cinta Fitri 3 sudah berjalan 30 episode dari rencana 150 episode.

Selain Cintra Fitri 3, ada tiga sinetron kejar tayang lainnya di SCTV, yakni Koq Gitu Sich, Melati Untuk Marvel, dan Cucu Menantu. Praktis setiap hari penonton dicekoki tayangan yang hampir semua digarap di tengah waktu yang serba mepet.

Bagaimana para kru bisa menghasilkan ide yang bernas di tengah tuntutan dan tekanan kerja yang dahsyat dan bersifat rutin? Penulis skenario Cassandra Massardi mengaku sudah biasa dengan tekanan kerja seperti itu. Namun, dia kadang tidak bisa lagi berpikir karena harus menulis skenario terus dalam 24 jam.

”Ya mau tidak mau harus dipaksa mikir karena naskah skenario sudah ditunggu,” katanya beberapa waktu lalu.

Di dunia sinetron sudah lazim skenario dibuat dengan terburu-buru beberapa jam sebelum shooting dimulai. Bahkan, kadang skenario harus diubah di tengah-tengah shooting lantaran ada pemain yang sakit atau tidak datang ke lokasi. Akibatnya, alur cerita sinetron menjadi tidak karu-karuan.

Tia mengatakan, kendala terbesar yang dihadapinya adalah rutinitas kerja. ”Karena semuanya sudah rutin, kadang kita juga kehabisan ide,” katanya.

Mungkin itulah sebabnya mengapa acara Empat Mata dan BEM dari dulu begitu-begitu saja. Guyonan Tukul Arwana tidak banyak berubah selama 2,5 tahun membawakan acara tersebut. Kalaupun ada perubahan, sebatas pada tata panggung.

Genjot terus

Manoj mengatakan, sepengetahuannya, sistem kejar tayang hanya ada di Indonesia. ”Di belahan dunia mana pun, mana ada film serial kejar tayang,” ujarnya.

Di Amerika Serikat, seperti Kompas pernah saksikan, shooting serial televisi dilakukan sekaligus untuk satu musim atau satu putaran. Setelah proses produksi rampung semua, baru serial itu ditayangkan di televisi.

Pembuat film serial di sana pun membatasi sebuah film tidak lebih dari 50, bahkan 20, episode per putaran sehingga mutunya bisa terjaga. Tidak seperti di Indonesia, sinetron bisa diulur-ulur hingga 200 episode per putaran karena ratingnya dianggap bagus meski ceritanya jadi melebar ke mana-mana.

Meski menggunakan sistem kejar tayang, Manoj mengatakan, tidak berarti mutu sinetron kita jelek. Mengapa? Karena aspek cerita tetap menjadi perhatian utama.

Pengamat budaya AS, Laksana, mengatakan, sulit menilai estetika sebuah produk kejar tayang. ”Produk semacam itu tidak lahir dari konsep produksi yang matang. Semua bisa diubah-ubah seenaknya. Yang dipersiapkan secara matang saja hasilnya bisa jelek kok,” katanya.

Kalaupun ada satu-dua yang bagus, lanjutnya, itu pasti kebetulan belaka. Setelah itu, pembuatnya tidak akan bisa mengulang. Mengapa? Karena produksi program tersebut, selanjutnya, akan digenjot dan diperas habisan-habisan demi sistem kejar tayang.

”Pembuatnya sampai tidak punya waktu untuk berpikir, apalagi menemukan ide-ide baru,” ujarnya.

READ MORE - Demi Kejar Tayang

Monday, 3 November 2008

Efek Bradley, Bandwagon, Ayers, atau Osama?

Kompas, 3 November 2008

EFFENDI GAZALI

Teori atau metode komunikasi politik mana yang paling memberi pengaruh dan kejutan menjelang 4 November di Amerika Serikat? Efek Bradley versus Bandwagon, atau iklan 30 menit Obama versus video Khalidi atau video kiriman Osama bin Laden (lagi)?

Sekitar dua pekan lalu, marak dibicarakan Efek Bradley. Tom Bradley, mantan Wali Kota Los Angeles, tahun 1982 maju sebagai calon gubernur California. Dalam berbagai jajak pendapat, kandidat dari Partai Demokrat berkulit hitam ini unggul signifikan.

Namun, fakta menunjukkan hal yang lain. Ia kalah lebih dari 50.000 suara pada kandidat dari Partai Republik berkulit putih George Deukmejian.

Tentu saja pemilihan awal New Hampshire antara Hillary Clinton dan Barack Obama kembali menggairahkan para pengagum Efek Bradley. Saat jajak pendapat mengunggulkan Obama tiga belas poin di depan Clinton, faktanya ia kalah tiga poin!

Penganut teori ini berasumsi, sebenarnya sebagian pemilih kulit putih masih rasis, tetapi saat menjadi responden mereka mengatakan sesuatu yang terhormat. Di kubu lain penentang efek ini balik bertanya: bagaimana dengan South Carolina, ketika jajak pendapat menyatakan Obama akan menang 15 poin, ternyata malah terbukti menang 29 poin?

Efek Bandwagon

Selain Efek Bradley, kini peneliti komunikasi politik mulai mewaspadai Efek Bandwagon. Teori ini menyatakan sekelompok pemilih yang masih ragu pada menit-menit terakhir akan memilih kandidat yang diprediksi bakal menang.

Popkin (penulis buku The Reasoning Voter: Communication and Persuasion in Presidential Campaigns) memberi gambaran unik. Seorang pemilih semula tidak ingin memilih Obama karena berkulit hitam! Namun, ia lalu mendengar McCain bakal kalah. Akhirnya ia memilih Obama untuk mengatakan kepada cucu-cucunya bahwa dia dulu ikut (membuat sejarah) memilih Obama!”

Mutz, pakar komunikasi politik Universitas Pennsylvania, menjelaskan, ada sejumlah pertimbangan sebelum seseorang terkena Efek Bandwagon. Utamanya seseorang mencari tahu mengapa popularitas kandidat tiba-tiba menanjak, atau yang lain tiba-tiba anjlok? Isu mutakhir apa saja yang sedang tidak diketahuinya?

Celakanya, informasi yang mereka cari umumnya lebih banyak disediakan oleh media yang sedang mengangkat tokoh yang sedang naik popularitasnya. Dengan demikian, Efek Bandwagon jelas lebih menguntungkan Obama.

Begitu juga di Indonesia, efek ini bisa lebih terasa bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang naik lagi popularitasnya, atau Prabowo yang tiba-tiba melejit, bahkan Sultan Hamengku Buwono X yang sedang ramai dibicarakan; dibandingkan dengan Megawati yang sedang turun popularitasnya atau Jusuf Kalla yang selalu digambarkan rendah dalam jajak pendapat.

Video Ayers

Selain pertarungan Efek Bradley versus Efek Bandwagon, sebagian mantan teman-teman kuliah saya yang kini bekerja sebagai anggota tim sukses atau relawan Obama sedang menunggu apa yang mereka sebut ”Trik (Akhir) Partai Republik”. Mereka khawatir akan ada satu atau dua kejutan yang bisa menghabiskan keunggulan Obama.

Jika itu terjadi, besar kemungkinan arahnya pada keamanan nasional. Di tengah ketidakmampuan McCain-Palin menantang tawaran-tawaran paket ekonomi dan kesejahteraan versi Obama, dijual kembali kekhawatiran rakyat akan serangan terhadap Amerika. Dalam hal itu Obama tidak pernah teruji.

McCain-Palin menggertak agar Los Angeles Times mengizinkan rakyat Amerika menonton video pesta perpisahan Profesor Rashid Khalidi di Universitas Chicago tahun 2003. Khalidi dianggap sebagai juru bicara Yasser Arafat dan PLO.

Dalam acara itu terdapat pidato-pidato dan ungkapan keras terhadap Israel! McCain menantang untuk melihat apakah dalam acara itu Obama tidak sekadar hadir, tetapi juga mengecam Israel atau memberikan standing ovation ketika para pengkritik Israel sedang bicara berapi-api.

Lebih hebat lagi, dalam acara itu hadir nama yang selama ini selalu dikaitkan sebagai ”teman terorisnya” Obama, yaitu William Ayers dan istrinya.

McCain terus menggerutu! Menurut dia, itulah bukti ketidakadilan media. Kalau saja ada video, dia sedang duduk bersama salah seorang anak muda pengagum Nazi, video itu pasti sudah disiarkan di mana-mana!

Video Osama

Salah satu video yang juga sedang ditunggu-tunggu adalah kiriman Osama bin Laden, yang sampai saat ini belum pernah terbukti berhasil ditaklukkan tentara Amerika.

Kali ini ia mungkin mengatakan, ”Saya ingin mengucapkan selamat kepada Obama. Jelas orang seperti Obama lebih pantas dipilih sebagai presiden karena ia terang-terangan mau duduk bersama Ahmadinejad atau tokoh-tokoh pejuang Amerika Latin, tanpa prekondisi!”

Meski video itu ditutup dengan kata-kata ”McCain pergilah ke neraka”, tetapi sebagai sebuah strategi, justru ia akan menguatkan McCain dan positioning-nya pada saat-saat terakhir.

Singkat kata, detik-detik mendekati Selasa 4 November masih terasa amat panjang di Chicago markas kubu Obama yang berangin kencang ini; ia bisa saja menyajikan kejutan sebelum sebuah sejarah terukir pada sore harinya! Sesuatu yang pasti amat menantang dipelajari menjelang Pemilu 2009!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI; Pimpinan Finalpoint Political Consulting; Menulis dari Chicago, AS

READ MORE - Efek Bradley, Bandwagon, Ayers, atau Osama?

Wednesday, 29 October 2008

Ideologi Bahasa Indonesia

Kompas
Rabu, 29 Oktober 2008


Setiap penggunaan bahasa bersifat ideologis. Bahkan, bahasa adalah ideologi. Itulah pandangan para linguis kritis, seperti Volosinov, Bakhtin, Foucault, Fairclough, Wodak, Kress, Hodge, dan Van Dijk.

Dalam hal ini, ideologi adalah gagasan atau keyakinan yang commonsensical (sesuai akal sehat) dan tampak normal. Gagasan atau keyakinan itu telah menjadi bawah sadar masyarakat. Maka, jika masyarakat tidak menyadari ideologi (dalam) bahasa yang dipakainya, itu membuktikan ideologi sedang efektif bekerja.

Bahasa Indonesia pun bersifat ideologis. Ideologi itu mengenai penentuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) dan bahasa negara (UUD 1945 Pasal 36). Saat para tokoh pemuda mengikrarkan butir ketiga Sumpah Pemuda, mereka digerakkan ideologi kebangsaan yang demokratis dan egaliter. Maka, pilihan jatuh pada bahasa Indonesia bukan bahasa Jawa atau Sunda, yang penutur aslinya lebih banyak. Bahasa Melayu—bahan dasar bahasa Indonesia— hanya berpenutur asli sekitar 4,5 persen populasi. Namun, meski belum jelas benar sosoknya, bahasa Indonesia diyakini lebih demokratis dan egaliter sebab tidak mengenal speech level (tingkat tutur).

Dalam pandangan sosiolinguistik, penentuan bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan dan bahasa negara didasari ideologi vernacularization (vernakularisasi, pribumisasi). Menurut Cobarrubias (Ethical Issues in Status Planning, 1983), vernakularisasi adalah penentuan sebuah indigenous language (bahasa pribumi) menjadi bahasa resmi. Segi-segi sosiologis-politis-kultural pasti dipertimbangkan, termasuk kehendak memartabatkan jati diri.

Demikianlah, bahasa Indonesia mengada karena ideologi kebangsaan demokratis-egaliter dan pemartabatan jati diri. Bahkan, bahasa Indonesia pada gilirannya adalah ideologi tentang nasionalisme, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Tak ayal dalam literatur-literatur utama sosiolinguistik, bahasa Indonesia menjadi contoh klasik vernakularisasi, selain Tok Pisin (Papua Niugini), Yahudi (Israel), Tagalog (Filipina), dan Quechua (Peru).

Jika bahasa Indonesia dan situasi kebahasaan mutakhir dicermati, masih adakah jejak ideologi itu? Apa tantangan bagi ideologi bahasa Indonesia? Apa kaitannya dengan Kongres IX Bahasa Indonesia, 28 Oktober-1 November 2008?

Beragam ideologi bahasa

Tiga ideologi selain vernakularisasi, yaitu linguistic assimilation, linguistic pluralism, dan internationalism. Linguistic assimilation menempatkan bahasa terdominan sebagai bahasa resmi. Semua warga—pribumi atau pendatang—wajib mempelajari dan menggunakan bahasa itu. Contohnya bahasa Perancis di Perancis, bahasa Inggris di Inggris dan Amerika Serikat serta wilayah koloninya, serta bahasa Jerman di Jerman. Ideologi ini diterapkan dengan berbagai bentuk, termasuk pemaksaan, seperti kebijakan Hellenization di Yunani dan Russification di Uni Soviet masa lampau.

Linguistic pluralism memberikan kesempatan sama kepada bahasa-bahasa yang ada. Kesempatan itu dapat berbasis wilayah atau ikatan warga. Paham ini diberlakukan antara lain di Belgia, Kanada, Singapura, Afrika Selatan, dan Swiss.

Adapun internationalism (internasionalisme) justru mengangkat non-indigenous language (bahasa nonpribumi). Karena bahasa nonpribumi telah digunakan dalam komunikasi luas, lalu dijadikan bahasa resmi bidang tertentu. Ideologi ini, misalnya, berwujud penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi pendidikan dan perdagangan di Singapura, India, Filipina, dan Papua Niugini.

Tantangan internasionalisme

Bahasa Indonesia masih relatif muda. Namanya baru mulai disebut saat Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926. Setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia mengalami promosi dan kodifikasi besar-besaran. Dalam usia 80 (atau 82) tahun, secara korpus bahasa Indonesia makin sempurna. Berbagai kamus dan pedoman tata bahasa, ejaan, dan peristilahan kian lengkap. Jumlah penuturnya makin meningkat. Bahasa Indonesia telah melampaui masa lampaunya sebagai bahasa ”kecil” dan kini menjadi bahasa ”besar”. Namun, bagaimana ideologinya? Bahasa Indonesia masih menjadi ideologi kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan?

Sebagaimana teritori mana pun, Indonesia adalah arena perang ideologi, termasuk ideologi bahasa. Dalam arena itu ideologi bahasa Indonesia harus bertarung menegakkan eksistensinya. Benar pernyataan St Sunardi (Kompas, 27/10/2008) dimensi nasionalisme menjadi lebih rumit daripada sekadar kesamaan sejarah, suku, bangsa, atau budaya. Menyangkut ideologi bahasa Indonesia, kerumitan itu berwujud hadirnya ideologi internasionalisme yang menyatu dengan globalisasi. Padahal, internasionalisme serba bertentangan dengan vernakularisasi.

Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai ideologi berpotensi terpinggirkan, terutama sebagai ideologi kebangsaan dan jati diri.

Kongres IX Bahasa Indonesia

Pada 28 Oktober—1 November 2008 digelar Kongres IX Bahasa Indonesia, bertema ”Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa”.

Tampak, tema itu digerakkan ideologi bahasa Indonesia, yakni kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Upaya penyelenggara kongres, Pusat Bahasa, patut diapresiasi. Bukan hanya karena setia memelihara ideologi bahasa Indonesia, tetapi juga membuka diri atas situasi terkini. Secara tersirat, kata ”kompetitif” menyadari hadirnya ideologi internasionalisme yang tidak harus dihadapi frontal.

Apalagi kaidah-kaidah yang amat kaku tidak ”membakukan”, tetapi ”membekukan” bahasa Indonesia. Sikap normatif berlebihan menjadi kendala bagi pengembangan kreativitas. Martabat bahasa Indonesia pun terlecehkan. ”Bangsa Indonesia soedah sadar akan persatoeannja, boekan sadja dalam artian politik, akan tetapi dalam artian keboedajaan jang seloeas-loeasnja”. Itulah tanggapan surat kabar Kebangoenan pimpinan Sanoesi Pane (22/6/1938) atas rencana Kongres I Bahasa Indonesia di Solo, 25-28 Juni 1938.

Semoga Kongres IX Bahasa Indonesia juga melahirkan tanggapan senada.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

READ MORE - Ideologi Bahasa Indonesia

Friday, 24 October 2008

Kyai menikahi anak umur 12 tahun

Seorang pengusaha kaya di Semarang Jawa Tengah, Pujiono Cahyo Widioanto, menikahi Lutfiana Alfa bocah umur 12 tahun. Katanya Pujiono itu seorang Kyai. Tapi menurut MUI, Pujiono itu bukan Kyai. Puji tidak pernah masuk pesantren, ujar anggota MUI. MUI Jateng pun memvonis itu sebagai pernikahan yang haram.

Saya sendiri bingung untuk menyebutnya sebagai seorang kyai. Apa kriterianya sehingga media menyebutnya sebagai seorang kyai. Apakah karena dia sudah naik haji lalu pakai surban, jubah putih dan kemana-mana membawa tasbih?atau karena dia sudah zakat sebanyak 1,3 Miliar?Tapi kalau melihat apa yang dia lakukan, menurut saya dia bukanlah seorang Kyai.

Kembali kepada pernikahan yang dilakukan oleh Puji. Ketika membaca berita ini di internet, langsung saja saya posting ke beberapa teman via YM. Ada yang sinis, miris, tertawa dan ada yang tanpa ba bi bu langsung mengatakan ini halal, syah menurut hukum Islam. Karena semua prosedurnya sudah terpenuhi. Nah lho?

Jujur saja, ketika saya membaca berita itu, saya cukup miris bercampur geli ketika membaca argumen yang disampaikan Pak "Kyai". Tetapi saya bertambah miris ketika teman tadi langsung mengatakan bahwasannya ini adalah halal dan syah.

Kemirisan pertama, kenapa sebuah fenomena mesti ditempatkan begitu sempat dalam koridor halal dan haram. Kemirisan kedua, kenapa begitu mudahnya menetapkan sesuatu itu halal dan haram karena melihat kepada prosedurnya?

Saya pikir dalam meneropong sesuatu dalam perspektif Fiqh urusannya tidak bisa dilihat secara hitam putih dalam kalimat halal atau haram. Cara pandang seperti ini selain menunjukan kesempitan cara pandang, juga menunjukan kenaifan. Bila hendak di elaborasi lebih lanjut, bukankah hukum Islam itu berhenti di halal dan haram saja?bagaimana dengan mubah, makruh dan sunnah?

Saya tidak ingin mengatakan orang-orang seperti ini sebagai bodoh dan tidak tahu hukum agama, tapi lebih suka mengatakannya sebagai naif. Karena kadang-kadang hal seperti ini sering datang dari seseorang yang berlabelkan sarjana agama. Saya melihat ini sebagai sebuah kebiasaan kita yang selalu berpikir hitam putih, tidak mempunyai alternatif meskipun hal itu sudah disediakan.

Lalu berkaitan dengan penetapan hukum halal, ini berkaitan dengan kemirisan saya yang kedua, apakah memang benar pernikahan ini halal karena sudah melewati prosedur yang sudah ditetapkan oleh Fiqh?

Kalau pertanyaan ini disampaikan kepada para pengkaji ilmu agama, saya pikir akan menjadi kajian yang sangat panjang. Banyak hal dan perspektif yang perlu di tinjau dan menjadi bahan pertimbangan. Bila menggunakan hadits, maka harus ditinjau bagaimana asbabul wurud hadits tersebut. Bila melandaskan ayat al quran, maka harus dilihat asbabun nuzul. Bila merujuk kepada sirrah nabawiyah, maka harus dicek kembali aspek sosiologis dan psychologis dari sirah tersebut.

Tetapi saya tidak ingin membicarakan hal itu. Pasalnya sederhana saja, saya tidak terlalu expert untuk membicarakan hal sedalam itu. Bila saya menolak pernikahan "Kyai" Puji dan mempertanyakan penetapan hukum halal dari teman tadi, itu karena banyak hal yang tidak terpenuhi, diantaranya metodologi pengambilan hukumnya, dari penjelasan yang diberikan.

Saya hanya ingat kepada ayat yang berbunyi kullu mimma fil ardhi halalan thoyiban. Makanlah apa yang ada di bumi itu dalam keadaan halal dan baik. Jadi yang mesti kita makan itu ternyata tidak hanya cukup halal, tetapi juga mesti baik. Penjelasan sederhana dari guru saya, daging ayam itu baik, tapi kalau daging itu sudah dua hari dan tidak di hangatkan, maka menjdi tidak baik. lebih baik saya tidak memakannya. Kira-kira begitu.

Jadi kira-kira pertanyaan saya adalah, bila apa yang dilakukan pak "Kyai" Puji itu, katakanlah di beri hukum halal, apakah hal itu layak untuk dilakukan?Bagian terakhir ini menjadi sangat penting karena selanjutnya hal ini akan berkaitan dengan hak anak, pendidikan anak, psikologi anak, psikologi orang menikah, psikologi orang hamil dsb.

Tapi sebelum membahas itu pernikahan yang baik atau bukan, secara pribadi saya melihat itu pernikahan yang haram. Masalahnya sederhana saja ; motif sang "kyai" dan mudharat yang akan ditimbulkan. Kalau tidak percaya coba saja lihat profil sang "kyai" tersebut dan baca tentang psikologi pertumbuhan anak. Perkawinan seperti itu hanya akan mendatangkan mudharat. Kasihan terhadap bocah kecil itu.
READ MORE - Kyai menikahi anak umur 12 tahun

Wednesday, 15 October 2008

Para Perampok di Jalan Tuhan

Majalah Tempo, 6 - 12 Oktober 2008

Djalaluddin Rahmat

  • Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia
    Sects and Errors are synonymous. If you are a peripatetic and I am a Platonist, then we are both wrong, for you combat Plato only because his illusions offend you, and I dislike Aristotle only because it seems to me that he doesn’t know what he’s talking about.

    Voltaire, Philosophical Dictionary

    "Aku tidak bisa melepaskan diri dari bayangan guruku. Ia masuk dalam mimpi-mimpiku. Pada suatu malam aku pernah terbangun. Aku duduk dalam lingkaran. Di situ ada guruku, Nabi Muhammad, Tuhan, dan Yesus. Guruku menyebutku Hafshah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Aku pernah melihat Nabi Muhammad datang kepadaku; memanggilku dengan mesra. Pendeknya, kemudian terjadilah pergaulan suami-istri antara Hafshah dan Nabi Muhammad. Beberapa saat setelah itu, aku baru sadar bahwa Hafshah itu aku dan Nabi Muhammad itu adalah guruku itu,” Helen, bukan nama sebenarnya, mengadukan nasibnya kepadaku.

    Helen sarjana dan profesional. Ia cerdas dan kaya. Ketika ia mulai tertarik pada hal-hal spiritual, kawannya membawanya ke pengajian tasawuf. Ia diperkenalkan kepada seorang ustad. Bukan ustad terkenal. Tampaknya ustad itu tidak mengisi pengajian umum. Ia memusatkan pengajarannya pada komunitas khusus dengan tema khusus. Di seluruh alam semesta, hanya dia yang mempunyai pengetahuan khusus, ilmu makrifat. Ia mau berbagi ilmu makrifat itu hanya kepada manusia-manusia pilihan yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengamalkan ritus-ritus tertentu—berzikir, berpuasa, dan bersemadi—Helen berhasil melihat Tuhan. Berkali-kali sesudah itu, ia mengalami ”trans”. Ia bukan hanya berjumpa dengan Tuhan. Ia juga dapat berkencan dengan para nabi.

    Makin ”dalam” pengalaman rohaniahnya, makin bergantung dia kepada sang ustad. Helen yang cerdas kehilangan daya kritisnya ketika ia mendengar kalimat-kalimat gurunya. Ia berikan apa pun yang dimintanya, mulai waktu, uang, kendaraan, rumah, sampai kehormatannya. Ia sudah menjadi sujet di hadapan juru hipnotis. Semua dilakukannya di bawah sadar, sampai ia disentakkan oleh salah satu kuliah psikologi. Sebuah buku dengan judul Saints and Madmen menyadarkan dia bahwa gurunya dan juga dia bukan orang suci, tapi orang gila. Ia bukan mengalami pengalaman rohaniah, tapi gangguan mental. Sayangnya, kesadaran itu muncul setelah ia kehilangan banyak.

    Tak terhitung banyak orang seperti Helen. Manusia modern yang jenuh dengan materialisme gersang. Ia merindukan pengalaman rohaniah. Ada yang kosong dalam jiwanya. Kekosongan itu tidak bisa diisi dengan seks, hiburan, kerja, bahkan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat. Ia ingin getting connected dengan Yang Ilahi. Ia sudah kecapaian dengan logika dan angka. Ia ingin meninggalkan dunia yang dingin dan kusam menuju alam yang hangat dan cemerlang. Ia ingin mendapat—sebut saja—pencerahan rohaniah. Ia tidak mendapatkannya dalam institusi-institusi agama.

    Dalam kerinduan spiritual itu, muncullah guru. Ia menawarkan pengalaman rohaniah yang ”instan”. Kalau kamu sudah kecapaian dengan logika dan angka, masuklah bersama guru ke dalam dunia rasa dan percaya. Bunuh rasionalitas dan tumbuhkan spiritualitas (seakan-akan keduanya bertentangan). Dengan memanipulasi ajaran-ajaran esoterik dalam setiap agama, guru menegaskan—sambil mengutip Rumi—”di negeri cinta, akal digantung”.

    Kalau akal sudah digantung, terbukalah peluang bagi guru untuk memanipulasi pikiran para pengikutnya. Aku menemukan bahwa teknik-teknik menggantung akal yang dilakukan para guru itu sepenuhnya melaksanakan nasihat Dostoyevsky dalam The Brother of Karamazov: ”Ada tiga kekuatan, dan hanya tiga, yang dapat menaklukkan dan melumpuhkan semangat para pemberontak ini. Yang tiga itu ialah mukjizat, misteri, dan otoritas.” Tentu saja hampir tidak ada di antara para guru itu yang membaca Dostoyevsky.

    Mukjizat sebenarnya adalah kumpulan dari halusinasi, ilusi, dan delusi. Guru menciptakannya dengan ”merusak” otak pengikutnya melalui ritual yang aneh-aneh. Salah satu teknik yang paling populer dan paling efektif adalah pengurangan waktu tidur (sleep deprivation), apalagi bila dibarengi dengan tidak makan (food deprivation). Dalam keadaan normal, otak kita mensintesiskan ”pil tidur alamiah” sepanjang waktu bangun kita. Sesuai dengan ritme biologis, kita tidur pada waktu malam. Karena deprivasi tidur, pil tidur alamiah itu berakumulasi dan bermetabolasi menjadi produk-produk beracun. Lalu timbullah mula-mula gangguan mood—pergantian antara euforia dan depresi. Menyusul gangguan mata yang menimbulkan halusinasi (melihat cahaya dan benda-benda bergerak), delusi, dan puncaknya disorganisasi pikiran (sederhananya, gangguan jiwa). Seperti pengurangan tidur, guru juga menciptakan pengalaman rohaniah dengan upacara, seperti latihan masuk kubur, gerakan kolektif yang berulang-ulang, atau penggunaan obat-obat kimiawi. Murid mengira mereka mengalami pengalaman gaib. Ahli neurologi menyebutnya kerusakan otak (brain damage).

    Karena pengalaman rohaniah yang mereka alami, mereka merasa dibawa ke alam gaib. Di sekitar kehidupan guru berkumpul berbagai misteri. Guru pemilik ilmu-ilmu yang sangat rahasia. Guru malah mengembangkan bahasa sendiri. Istilah-istilah agama diberi makna baru. Perjalanan bersama guru adalah perjalanan menyingkap tirai-tirai kegaiban. Murid tidak bisa menyingkap rahasia itu tanpa bimbingan guru. Seperti kata Dostoyevsky, dengan menggabungkan mukjizat, misteri, dan otoritas, bertekuklah jiwa-jiwa kritis ke kaki sang Pembawa Pencerahan.

    Helen sekarang sadar bahwa ia telah jatuh kepada perampok di jalan Tuhan. Hati-hati, dalam perjalanan menuju pencerahan jiwa, Anda akan disabot oleh apa yang disebut Jean Marie-Abgrall sebagai Soul-Snatchers, para pencuri jiwa. Helen masih berjuang menyembuhkan luka-luka jiwanya; sebenarnya kerusakan dalam otaknya. Aku menganjurkan dia untuk berobat ke psikiater. Ia menolaknya.

    Lama aku kehilangan Helen. Secara kebetulan, aku menemuinya dalam satu acara. Aku menanyakan mengapa ia tidak lagi mengontak aku. Ia menarik aku ke tempat sepi. Dengan muka yang penuh ketakutan, ia berbisik: gurunya sudah tahu bahwa ia telah melaporkan keadaannya kepadaku. Ia mendapat ancaman. Ia diperingatkan agar memutuskan semua hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya.

    Bersamaan dengan hilangnya Helen, Juliet Howell, peneliti sufisme urban, muncul lagi di hadapanku. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia mewawancaraiku perihal tasawuf di masyarakat kota. Waktu itu aku menyelenggarakan kelas-kelas tasawuf di daerah elite. Kali ini ia bertanya tentang pengalamanku membina tasawuf. Ia juga bertanya tentang yayasan kajian tasawuf yang aku kelola. Aku bilang aku sudah tidak lagi berurusan dengan tasawuf. Ia bertanya tentang muridku yang paling ”sufi”. Aku jawab, ”Ia sudah mencapai makrifat setelah belajar dikuburkan hidup-hidup.” Howell mendesak bagaimana caranya membedakan gerakan tasawuf yang benar dengan gerakan para perampok di jalan Tuhan. ”Gunakanlah ukuran UUD dan UUS,” jawabku, ”apabila Anda menemukan gerakan itu ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, Anda sudah disimpangkan dari jalan Tuhan. Ada dua juga yang membedakan saints dengan madmen: bila setelah mendapat pengalaman rohaniah, Anda merasa diri Anda rendah dan bergairah untuk menyebarkan kasih ke seluruh alam, Anda adalah orang suci. Bila Anda merasakan diri Anda lebih saleh daripada semua orang dan Anda hanya bergairah untuk mengasihi guru Anda, Anda adalah orang gila. Anda sudah masuk perangkap Soul-Snatchers. Gitu aja, kok repot!”

  • READ MORE - Para Perampok di Jalan Tuhan

    Penjajahan Bahasa

    Karena sedang merencanakan kuliah ke Eropa, sebulan terakhir ini saya intesifkan lagi belajar Bahasa Inggrisnya. Target minimalnya bisa mencapai score Toefl 550, supaya tembus persyaratan beasiswa. Maksimalnya yah mencapai score 600, supaya bisa langsung mendaftar dan dapat acceptance letter dari Universitas.

    Seperti juga waktu pertama kali belajar Toefl, saya pikir ini seperti penjajahan bahasa. Bayangkan saja, saya mesti belajar tata bahasa bangsa lain sampai pada tingkatan yang detail, sementara saya sendiri tidak begitu tahu tata bahasa ibu saya : Indonesia dan Sunda. Sementara itu saya haqqul yakin kalau orang Inggris, Amerika dan Australia itu pengetahuan bahasa Inggris nya tidak sedetail yang saya pelajari di Toefl. Jadi kita ini sedang melestarikan bahasa orang lain dan melupakan bahasa kita sendiri kan?

    Yang lebih menjengkelkan ketika saya tadi singgah ke toko buku. Cari buku buat bahan belajar anak saya yang masih 4 bulan. Banyak saya temukan buku untuk mencerdaskan balita dengan iming-iming dwi bahasa, bahasa Inggris - Indonesia. Katanya mendidik anak secara dini berbahasa Inggris.

    Buku-buku ini bagi saya tidak hanya melanjutkan penjajahan bangsa sampai pada tingkat anak balita, tetapi juga menceritakan keminderan terhadap bahasa bangsa sendiri saja. Terlebih ketika tidak satupun saya temukan buku ajar buat balita dalam dwi bahasa, Indonesia - Sunda atau Indonesia - Jawa atau Indonesia dah bahasa daerah lainnya. Apakah mereka berfikir bahasa Sunda, Jawa, Minang dll itu tidak bisa mencerdaskan anak-anak kita?

    Yang lebih menggemaskan adalah ketika saya sempat sms teman yang sedang bergelut di dunia penerbitan. Saya bertanya apakah ada buku ajar buat balita dengan dwi bahasa Indonesia-Sunda. Singkat jawabannya, tidak ada buku untuk itu

    Jakarta, 15 Oktober 2008
    READ MORE - Penjajahan Bahasa