Tuesday 7 August 2007

Komunikasi Antar Budaya 3

Berikut tulisan ketiga. Membahas tentang struktur sosial dan nilai masyarakat


3. Struktur Sosial dan Nilai Masyarakat Korea dan Indonesia

Korea dalam sepanjang sejarahnya sangat penting artinya dari sudut strategi. Hal tersebut dikarenakan semenanjung Korea itu terletak di tengah tiga negara besar yaitu Jepang, Cina, dan Rusia. Selain itu, sampai akhir masa abad ke-19 semenanjung Korea sudah lama menjadi jembatan peng­hubung antara kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi dari daratan Cina dengan kepulauan Jepang. Letak geopolitik kerajaan Korea sebagai sebuah semenanjung yang berfungsi sebagai jembatan peng­hubung itu telah memberikan keuntungan dan kerugian. Di satu sisi kerajaan Korea dapat dengan mudah menyerap seni budaya dari negara tetangga, tetapi sebaliknya senantiasa menjadi sasaran dari negara-negara tetangga yang agresif

Salah satu yang berhasil diserap Korea adalah ajaran konfusianisme. Ajaran konfusianisme yang berasal dari Cina ini disampaikan ke Jepang melalui semenanjung Korea. Namun, anehnya justru ajaran konfusianisme ini tidak berkembang di Cina, namun sangat berkembang di Korea dan Jepang. Ajaran konfusianisme ini diajarkan oleh seorang bijak dari Cina, yang bernama Kong Zui. Beliau mengajarkan sistem etika moral yang ideal dengan membangun hubungan dalam keluarga dan negara dalam kesatuan yang harmonis. Kong Zui yang diperkirakan hidup pada abad 6 Sebelum Ma­sehi mengungkapkan hubungan tersebut pada dasarnya adalah sebuah sistem subordinasi dari hubungan:

1. Ayah dan anak (orang tua dan anak)

2. Yang tua dan yang muda

3. Suami dan istri

4. Pertemanan

5. Penguasa dan Masyarakat

Ajaran konfusianisme sangat menitikberatkan kesetiaan kepada raja dan kerajaan (negara), moral, dan pembaktian kepada orang tua. Di samping itu menekankan pada perbuatan yang sepatutnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara bermasyarakat dan cara mendidik. Bahkan, untuk tata cara bermasyarakat yang sangat tinggi. Masyarakat (bangsa) Cina memberi gelar masyarakat Korea dengan sebutan the country of eastern decorum atau orang ramah dari timur. Hal tersebut berkat ajaran konfusianisme yang merasuk kuat dalam tata nilai yang ada dalam masyarakat Korea.

Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya adalah Indonesia, khususnya suku Jawa. Masyarakat Jawa sangat terkenal dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh sopan santun. Meskipun ada sebagian yang berasal dari Jawa Timur yang dipandang “kurang memenuhi syarat“ sebagai orang Jawa, namun suku Jawa tetap merupakan suku yang terkenal dengan keramahannya karena biasanya yang dipandang orang Jawa adalah orang Jawa yang bertempat tinggal di bagian te­ngah Jawa (Jawa Te­ngah - Surakarta) dan Jogjakarta. Ada begitu banyak kesamaan dalam tata nilai masya­ra­kat, di antaranya selalu menempatkan orang lain sesuai dengan usianya, kedudukan sosial/strata sosialnya, atau dengan kata lain pola hubungan yang berlaku lebih cende­rung vertikal daripada horizontal. Di samping itu, masyarakat konfusianis Korea dan masyarakat Jawa sangat mementingkan kekeluargaan. Walaupun dalam keadaaan tidak mampu, mereka tidak dapat melupakan rasa bakti me­re­ka terhadap orang tua. Baik di saat orang tua hidup maupun ketika sudah meninggal. Begitu dekatnya hubungan ke­kerabatan sampai ada peribahasa Jawa yang menyatakan mangan ora mangan ngumpul yang berarti susah senang ditanggung bersama. Yang dipentingkan di sini adalah rasa kebersa­maan dalam menghadapi segala persoalan hidup.

Namun demikian, ada kesamaan nilai-nilai yang sekarang dipandang tidak meng­­hargai harkat perempuan, yaitu hubungan keluarga pada masyarakat konfusianis Korea lebih berarti daripada hu­bungan suami istri. Dapat dikatakan bahwa suami lebih mendengar perkataan ibunya daripada istri­nya sendiri. Bahkan ada peribahasa Korea yang khusus menyatakan hal tersebut adalah darah lebih kental daripada air. Jadi, untuk masyarakat Konfusianis Korea, istri masih dianggap sebagai orang lain. Begitupun masyarakat Jawa menganggap istri hanya sebagai kanca wingking atau teman bela­kang, sedangkan perbedaan nilai-nilai di antara masyarakat Konfusianis Korea dan ma­sya­ra­kat Jawa, yaitu:

1. Hubungan kekerabatan hanya dihitung dari garis ayah. Hal ini tidak terdapat dalam ma­syarakat Jawa, karena hubungan kekerabatan masyarakat Jawa dihitung dari pihak maternal dan pa­ternal, atau dengan kata lain bersifat bilateral descend. Sedangkan hubungan kekerabatan masyarakat Korea bersifat paternal, dan begitu kuatnya prinsip konfusianisme ini sampai tercermin dalam “prefiks” bahasa Korea.

2. Pernikahan/perkawinan diperbolehkan hanya bila di luar klan darahnya. Masyarakat Jawa tidak mengenal klan seperti Korea. Namun pada masyarakat Jawa kuno, perkawinan justru diharapkan terjadi di antara kerabat jauh mereka. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan “tulang” yang tercerai berai agar utuh kembali.

3. Pernikahan diadakan sebagai perpanjangan dari keluarga yang ada. Prinsip ini biasanya me­rupakan salah satu tujuan dari pernikahan selain membentuk keluarga baru. Namun, pada masyarakat konfusianis Korea lama atau kuno secara te­gas berprinsip bahwa kehadiran suatu pernikahan hanya untuk satu tujuan po­kok, yaitu mempersembahkan anak lelaki sebagai penerus keluarga. Bahkan hal tersebut dijadikan dosa utama dalam ajaran konfusius, bila tidak melahirkan anak lelaki bagi suami dan keluarga suami. Pada masyarakat Jawa tidak ada ketentuan tentang hal ini karena masyarakat Jawa tidak mengenal marga atau klan seperti masyarakat kon­fusius Korea, namun memang sangat dihargai bila “si sulung” merupakan anak laki-laki, yang nantinya diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat keluar­ga.

4. Perceraian tidak hanya “dilakukan” oleh suami/isteri. Perceraian dapat disebabkan bebe­rapa macam, namun yang berbeda bagi masyarakat Jawa adalah perce­raian dapat “dilakukan” oleh selain suami/isteri. Yang dimaksudkan di sini adalah ini­siatif perceraian dapat diberikan oleh ayah suami, bahkan kakek suami pada jaman Korea lama. Hal tersebut jarang terjadi pada ma­syarakat Jawa, itupun karena pihak mertua laki-laki merupakan pihak “yang sok berkuasa” .

5. Adanya upaya adopsi bila tidak mempunyai penerus klan. Bila mendamba­kan seorang anak laki-laki untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya yang terjadi pada masyarakat Jawa adalah “mengambil isteri baru”. Dengan adanya pernikahan baru tersebut diharapkan “isteri muda” dapat dipersembahkan “sang pene­rus keluar­ga”. Namun, berbeda dengan masyarakat Konfusius Ko­rea yang melakukan upa­ya adopsi untuk mencari penerus keluarga. Namun, adopsi yang dilaku­kan pun berbeda, hanya dilakukan kepada saudara laki-laki yang terdekat yang mempunyai anak laki-laki pada zaman Korea lama pula.

No comments:

Post a Comment