Tuesday 7 August 2007

Komunikasi Antar Budaya 5

Tulisan terakhir. Membahas perilaku Nonverbal Indonesia dan Korea diakhiri dengan Daftar Pustaka.

Semoga mendatangkan manfaat


5. Perilaku Nonverbal Indonesia dan Korea

5.1 Bentuk Ekspresi

Metode hubungan sosial orang Indonesia dan Korea di mana orang berpura-pura menyukai sesuatu walaupun jelek dan berpura-pura tidak menyukai sesuatu wa­laupun bagus, tentunya mempunyai implikasi yang berbeda dengan metode orang Ame­rika yang membedakan dan menganalisa semua hal di muka umum. Orang Indonesia cenderung bergerak dari hal-hal yang khusus dan kecil ke hal-hal yang umum dan lebih besar. Mereka mulai dari masalah-masalah pribadi dan lokal dan berkembang ke masalah-masalah yang menyangkut negara dan bangsa. Namun orang Korea cen­de­rung melakukan sebaliknya. Mereka merasa lebih enak untuk memulai dari bagian yang umum atau besar dan kemudian menyempit ke fakta-fakta yang khusus. Orang Korea menulis alamat mulai dari nama negara, propinsi, kabupaten, kota, nama jalan, dan akhirnya nomor rumah dan nama orang. Namun, di Indonesia, mulai dari nama orang, nomor rumah, kota, dan akhirnya baru nama negara. Dalam hal nama pun, orang Korea meletakkan nama keluarganya lebih dulu dan baru diikuti namanya sendiri, sedangkan di Indonesia sebaliknya.

Adapun baik orang Indonesia maupun orang Korea menjawab “ya”, ini tidak selalu berarti mengiyakan, tetapi hanya berarti “saya mengerti keadaanmu, silakan lanjutkan ...”, tidak berarti persetujuan atau niat untuk menuruti si pembicara. Jika seseorang menerima jawaban ‘ya’ dari anggota kedua masyarakat sebagai tanda persetujuan, sering timbul kesalahpahaman, dan tampak bahwa orang itu belum cukup mengerti pikiran lawan bicara. Ini sama halnya sewaktu seseorang mengatakan “Anda tidak perlu melakukan ini” atau “Silahkan terima hadiah ini” ketika ada orang lain yang mem­bawakan hadiah atau benda berharga lainnya. Jika dia menerima begitu saja ha­diah itu, dia dianggap tidak sopan.

Selain itu, kedua msyarakat memiliki persamaan tentang cara berpikir yang lebih cenderung ke emosional dibandingkan rasional. Orang Indonesia dan Korea memecahkan masalah berdasarkan emosi. Ketika orang minta tolong pada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa orang yang dimintai tolong harus memecahkan persoalan tersebut walaupun tanpa memperhitungkan akal sehat. Maksudnya, walaupun orang yang minta tolong mengetahui bahwa hal itu tidak sah atau bertentangan dengan aturan masyarakat, dia mengharapkan masalah atau kesulitan itu bisa dipecahkan orang yang dimintai tolong dengan menggunakan “alfa”-nya. Dalam hal ini, orang berorientasi rasional mungkin menolak dengan mengatakan hal itu tidak sah atau mustahil, tetapi dalam masyarakat Indonesia dan Korea, seseorang mungkin berpikir bahwa satu perkecualian kecil tidak akan menjadi masalah, dan biasanya orang mengharapkan kesulitan itu akan dipecahkan dengan cara atau metode “alfa”-nya.

Orang Barat mencari keindahan yang ditemukan dalam diri manusia, sedangkan alam hanya merupakan latar belakang bagi umat manusia. Namun sebaliknya de­ngan orang Indonesia dan Korea. Sebagai contoh, dalam lukisan Renaissance sumber dari sebagian seni Barat, alam adalah latar bela­kang yang kabur bagi manusia di masa mudanya. Orang Barat memanusiakan alam, dan orang Korea atau Indonesia meng­alamkan manusia. Hampir semua sampul majalah Time bergambar manusia, sedangkan sebagian besar sampul majalah Korea bergambar alam tanpa manusia di latar belakangnya.

Dari segi hubungan kekerabatan, terdapat konsep persamaan di antara orang Indonesia dan Korea. Hubungan lebih cenderung vertikal daripada horisontal. Tiap orang relatif lebih tinggi atau lebih rendah. Dalam keluarga pun semua dalam hubu­ng­an vertikal: kakak laki-laki terhadap adik laki-laki, kakak perempuan terhadap adik pe­rem­puan. Bahkan, anak kembar pun tidak sederajat, yang lahir lebih dulu adalah ka­kaknya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Di dalam kedua masyarakat tiap orang dianggap sebagai individu yang memiliki seluruh hubung­an ma­nusia mirip dengan hubungan keluarga. Hal itu dapat dicontohkan dengan memanggil orang yang lebih tua kakek, nenek, kakak, paman, atau bibi, dan mereka memanggil orang yang lebih muda adik.

5.2 Bentuk Perilaku Nonverbal

Perilaku nonverbal yang terdapat antara masyarakat Korea dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan yang dapat dirinci sebagai berikut.

Orang Indonesia maupun orang Korea menganggap kontak mata sebagai tantang­an dan tidak boleh dilakukan kepada orang yang dihormati atau lebih tua.

Di Indonesia, acungan jempol berarti ‘bagus’ atau ‘oke’ dan mengacungkan jempol ke arah bawah berarti ‘jelek’ atau ‘merendahkan’, sedangkan di Korea acungan jem­pol berarti ‘yang terbaik’, ‘nomor satu’ atau ‘bos’.

Orang Korea menghitung dengan melipat jarinya dari ibu jari berurutan ke arah kelingking de­ngan satu tangan, sedang orang Indonesia dengan cara membuka tangan dari ibu jari berurutan ke arah kelingking dengan dua tangan.

Terdapat konotasi seksual antara Indonesia dan Korea dalam menggunakan jari dan tangan. Di Indonesia, tabu untuk menunjuk dengan jari tengah. Di Korea, meletakkan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah pada tangan yang sama atau menggosokkan telapak tangan yang terbuka di atas kepalan tangan yang lain berarti hubungan seksual.

Di Korea, membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk berarti ‘uang’, sedang di Indonesia, ini berarti ‘beres’. Adapun melambaikan tangan dengan telapak meng­hadap keluar dan gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’.

Di Indonesia untuk menunjukkan sesuatu dengan sopan (menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua) menggunakan ibu jari, sedangkan di Korea menunjuk sesuatu dilakukan dengan jari telunjuk.

Di Indonesia, meletakkan jari telunjuk miring menempel di jidat menyatakan ‘gila’, sedangkan di Korea hal itu dinyatakan dengan membuat lingkaran berkali-kali de­ngan jari telunjuk di jidat.

Orang Korea menunjuk pada dirinya sendiri, ia akan menunjuk dadanya dengan jari jempol, sedangkan orang Indonesia untuk menunjuk pada dirinya sendiri menepuk atau menunjuk pada dadanya.

Untuk menyatakan tidak punya uang, orang Korea menyatukan jempol dan telunjuk kemudian digerakkan, sedangkan bagi orang Indonesia hal tersebut dianggap sebagai pernyataan bahwa orang yang melakukan hal tersebut sedang menyepelekan sesuatu, atau menganggap sesuatu itu mudah sekali.

Bagi orang Indonesia untuk memberitahu bahwa ia tidak punya uang, cukup de­ngan menggabungkan jempolnya dengan telunjuk dan kemudian digerak-gerakkan.

Melambaikan tangan dengan telapak menghadap ke luar dengan gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’ di Indonesia, sedang di Korea itu berarti mengundang orang untuk mendekat.

Berbeda dengan Amerika, baik orang Korea maupun Indonesia menggunakan telapak tangannya untuk menulis.

Orang Indonesia menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua dengan sedikit membungkukkan punggung ketika berjalan melewati orang yang lebih tua, sedangkan di Korea tidak terdapat hal seperti itu.

Di Indonesia menggesek-gesek ibu jari telunjuk berarti ‘uang’, sedangkan di Korea ‘uang’ ditunjukkan dengan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk.

Sebagai bentuk salam, umumnya orang Indonesia menggunakan jabat tangan dan cium pipi, sedangkan di Korea membungkukkan badan dan jabat tangan. Dalam hal jabat tangan terdapat perbedaan pula antara Indonesia dan Korea. Di Indonesia umumnya yang muda mengajak jabat tangan, sedangkan di Korea yang muda menunggu ajakan jabat tangan dari yang tua.

6. Penutup

Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan atau menging­kari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka belajar membaca bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi. Telah dibahas bahwa kedua negara mempunyai cara pikir dan adat kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara kedua negara itu mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang lain aneh dan lebih rendah. Namun, ti­dak akan ada budaya standar, juga tidak akan ada ras standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal yang mendasar dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang mengungkapkan kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat salah, dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi berusaha memahami satu sama lain, karena keba­nyakan masalah ini timbul dari perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang budaya lain, bukan karena unsur kesengajaan. Untuk memecahkan kesalahpahaman ini, orang harus mengenal adat kebiasaan negara yang dimaksud.


DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri, 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di Indonesia,. Jakarta: Depar­temen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural Communication Selected Readings. Maine: Intercultural Press, Inc.

Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Books Doubleday

Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. Garden City, N.Y.: Anchor Press

Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences International Differences in Work-Related Values. Abridged Edition. Newbury Park: Sage Publications

Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarge Dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context, Philadelphia: University of Pennsylvania Press

Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural Communication A Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company

Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani. 1998. Communication Between Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company

Soegeng R. dkk, 1990. Tata Kelakuan Di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Daerah Jawa Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

No comments:

Post a Comment