Sunday 19 June 2011

Dari Padjadjaran University

Karena ini berkaitan dengan Partai Demokrat, kejadiannya mungkin kira-kira 1 bulan sebelum Kongres Partai Demokrat di Kota Baru Parahyangan Bandung. Ketika sedang asyik-asyik berselancar di dunia maya, seorang teman nelepon minta saya secepatnya mengirim CV. Katanya diminta sama salah satu orang dekat SBY. Karena gak ada kejelasan untuk apa, saya sempat bingung dan nolak untuk ngirim.

Tapi hidup di google age waktu berjalan sangat cepat. Ketika terlintas kata “apa salahnya”, dan “iseng aja” dan tidak ingin mengecewakan teman, dalam hitungan detik CV yang ada di laptop sudah terkirim ke teman tadi. Seminggu kemudian teman saya tadi bawa kabar, ada undangan buat saya ke pertemuan terbatas di Cikeas rumah SBY. Eit menarik juga nih, ada gerakan politik apalagi sampai-sampai orang kayak saya diundang ke Cikeas. Singkat kata, masih berlandaskan ide “apa salahnya” dan “iseng aja”, saya bersepakat untuk pergi dengan teman-teman memenuhi undangan itu

Hari H saya sampai di tempat shahibul bait. Dari jalan menuju gerbang rumah SBY saya sadar seberapa kerenya saya dibanding tamu lain. Deretan mobil sekelas Alphard, BMW type SUV, mobil dinas mentri terlihat antri menuju rumah SBY. Kalau mobil yang lain hanya berisi 2-3 penumpang, maka mobil yang kami tumpangi berisi full semua kursi terisi. Kalau yang lain berhenti di depan gerbang rumah dan menurunkan penumpang, kami mesti berhenti jauh di lapangan parkir dan berjalan kembali menuju rumah pengundang. Saya bilang sama teman-teman kalau Avanza yang kita naik itu Alphard juga… Alphard Cina

Masuk gerbang rumah saya lihat seluruh tamu sudah datang. Nama saya tercantum jelas ada dalam daftar undangan lengkap dengan name tag dan no hp. Akhirnya saya ketemu dengan Menpora yang meminta CV kami itu. Dengan kumis khas nya itu dia sambut kami dengan ramah. Lalu Pak Andi melambaikan tangan ke Ibas dan memperkenalkan kami kepada dia. Karena tidak ingin berlama-lama basa-basi gak jelas, saya beri kesempatan tamu yang kelihatannya ingin berkenalan dengan Ibas.

Singkat kata acara pun dimulai. Didampingi istri dan diiringi para pengawalnya, SBY keluar dari rumah, mengucap salam dan menebar senyum pada kami semua. Seketika semua para punggawa pun sudah bersigap mengambil posisi masing-masing. Choel Mallarangeng terlihat paling sibuk mondar-mandir berkomunikasi dengan Presiden dan tim teknis.

Anas Urbaningrum, waktu itu masih ketua fraksi PD, saya lihat dipanggil SBY supaya duduk disampingnya bersamaan dengan Ibu Ani dan Sekjend Partai waktu itu; Amir Syamsudin. Tidak terlihat ketua umum partai masa itu; Hadi Utomo. Sementara itu Andi Mallarangeng tidak terlihat di jajaran kursi itu. Tetapi kemudian saya sadar kalau Andi Mallarangeng mendapat tempat lebih strategis dibanding Anas yang hanya duduk mendampingi SBY; mempresentasikan visi dan misi Partai Demokrat pada yang hadir. Seolah SBY ingin mengatakan pada publik kalau Andi lah yang mengerti betul apa dan bagaimana PD dan SBY

Ternyata ini adalah acara open house Partai Demokrat. SBY mengumpulkan banyak kelompok masyarakat yang dia anggap bisa direkrut untuk membangun partai yang sudah didirikannya. Kalau saya hitung di pertemuan ini ada kira-kira 100 orang. Bila mau diklasifikasikan lebih detail, kira-kira ciri utama orang yang hadir pada kesempatan kali ini adalah yang berilmu, berduit dan berposisi

Golongan yang berilmu misalnya terlihat dari beberapa intelektual yang datang seperti DR Komarudin Hidayat Rektor UIN, DR Ikhsan Modjo pakar ekonomi dan Ulil Abshar. Golongan orang berduit misalnya bisa dilihat dari beberapa pengusaha yang datang. Yang jelas terlihat adalah Ibu Hartati Murdaya yang sebelumnya disebut-sebut sebagai kasir Partai. Sementara itu golongan orang berposisi terlihat dari beberapa orang yang mempunyai posisi seperti staff khusus mentri, coorporate secretary sebuah media bisnis group dan beberapa anak muda yang berprofesi jadi wirausaha. Irisan antar ketiganya mungkin para aktivis. Kelompok orang yang belum memiliki uang, posisi dan dikenal sebagai intelektual tapi punya potensi bisa meraih tiga posisi itu sekaligus. Dikemudian hari saya lihat ada nama-nama diatas yang ikut serta ajakan bergabung, ada juga yang tidak ikut.

Saya pikir memang mestinya partai modern mesti seperti ini. Terdiri dari orang intelektual, orang berduit dan orang berposisi. Bagaimanapun gerakan sebuah partai akan menjadi lebih efektif bila berdasarkan pemikiran yang bernas dari seorang intelektual, disokong kekuatan dana dan ditopang pemegang kekuasaan. Dalam hitungan saya kalau ketiga kelompok ini bisa direkrut, maka kemungkinan partai ini menjadi besar dan terus besar.

Tetapi mengingat masa itu, yang menjadi perhatian saya sebetulnya bukan deretan orang-orang yang datang, tetapi pada sesi perkenalan. Ketika awal pertama kali para undangan diminta SBY untuk memperkenalkan diri kepada yang lainnya. Awalnya saya pikir ini wajar dan biasa saja bagi saya untuk memperkenalkan diri. Tetapi ketika melihat kepada deretan orang-orang yang memperkenalkan diri, saya jadi keder juga.

Dan yang membuat saya lebih keder adalah ketika mendengarkan perkenalan diri dari anak-anak muda seusia saya. Identitas mereka ternyata selalu berputar antara anak seorang konglomerat dan anak yang sudah mencapai pendidikan tinggi di luar negeri. Di suatu waktu ada anak yang memperkenalkan diri seperti Markus Ali, Presiden Maspion Group, memperkenalkan produk Maspion di televisi. Kami pun tergelak mendengarnya. Satu anak muda berkata sambil terbata-bata “Maaf bila bahasa Indonesia saya tidak lancar karena saya sudah lama tinggal di Amerika”.

Selanjutnya yang lain selain memperkenalkan orang tuanya yang konglomerat, tidak lupa memperkenalkan status pendidikan lulusan universitas tenar di luar negeri. Ada yang dari Chicago University, Australia National University, Stanford University, Manchester University, Ohio University, Barkeley University dan macam-macam university lainnya. Bahkan ada lulusan Universitas elite di Eropa utara yang jarang didengar di Indonesia; Upssala University.

Bagaimana tidak minder, sementara kita masih memimpikan untuk bisa kuliah di salah satu universitas diatas, mereka malah sudah menjadi alumninya. Jangankan untuk menjadi alumni universitas-universitas itu, untuk daftar saja kita masih harus berurusan dengan toefl. Bahkan untuk duitnya kita masih harus berjibaku mencari beasiswa.

Tetapi pada akhirnya kita berpikir, ngapain mesti minder. Toh setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Kita yakin lah kalau Tuhan itu tahu yang terbaik buat kita jadi kita tidak mesti minder dengan mereka. Bila mereka sampai di universitas-universitas itu mereka pasti karena kemudahan dan status orang tua mereka. kalau saya berhasil ke kuliah di tempat mereka usaha saya bisa dinilai jauh lebih romantis dan berbekas.

Tetapi rasa minder berbeda dengan rasa ingin dihormati. Tetap saja kita ingin menjadi orang yang diperhitungkan. Mempertahankan dan menjaga diri tidak berkaitan dengan rasa minder. Itu adalah usaha kita menghargai diri kita dan mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepada kita. Maka otak saya pun terus berputar mencari cara supaya saya tidak dianggap remeh olah para lulusan university-university itu.

Kalau ingin mensejajarkan diri dengan mereka tentunya sangatlah mudah. Perkenalkan saja kalau kita juga lulusan Sorbonne University. Toh mereka tidak akan pernah mengecek kembali dan kita juga kita tidak akan berinteraksi lagi dengan mereka. Lagipula hanya beberapa orang saja disana yang saya kenal. Tapi berbohong seperti itu selalu bukan pilihan cerdas. Itu hanya menunjukan kita minder dan tidak percaya diri saja. Alih-alih menunjukan harga diri kita, kita justru sedang menjatuhkan harga diri kita secara substansial.

Tiba-tiba terbesit sebuah ide di kepala dalam cara memperkenalkan diri kepada mereka. saya lihat setiap anak muda seumuran saya disana memperkenalkan diri sebagai lulusan xxx university. Dan dijajaran sebelum saya ada sekitar 20 orang anak muda yang berarti minimalnya ada 20 orang lagi yang akan mengatakan lulusan xxx university. Pasti orang-orang itu sudah eneg dengan kata-kata university

Singkat kata tiba giliran saya untuk memperkenalkan diri. Saya perkenalkan nama saya seperti yang lain. Ketika masuk bab perkenalan pendidikan, saya bilang kalau saya lulusan “Padjadjaran University”. Haqul yakin kalau yang hadir disana manggut-manggut seperti mereka mendengarkan anak muda sebelumnya. Mereka sepertinya sudah menganggap kalau saya juga sama dengan yang lainnya. Universitas saya bukan di Jatinangor Sumedang sana, tetapi juga satu negara dengan Upsalla University, Stanford University atau University-University lainnya. karena memiliki ujung kata yang sama; “University”

5 comments:

  1. perkenalkan.. kalau saya dari zetinenjers university:)

    ReplyDelete
  2. hahaha... waduh, kamu belajar nya di Eropa utara sana yah hihihi

    ReplyDelete
  3. Cara pandang saya melihat mereka yang anda ceritakan itu sama dengan cara pandang saya melihat para "expatriate" yang bekerja di sini,sok jago, sok hebat, padahal mereka dikirim ke negeri ini karena mereka yang paling "bodoh" di antara kolega-kolega mereka di negara asalnya. Mahasiswa2 Indonesia yang pintar2 dan jago2,biasanya sudah direkrut di negara dimana mereka kuliah.Jarang ada yg mau pulang ke sini kecuali untuk berlebaran atau natalan. Mereka yg datang ke cikeas itu hanyalah calon-calon putra mahkota dari orang-orang(entah mereka pejabat atau pengusaha) yang telah membuat banyak ketololan di negara ini. Satu ketololan menelurkan ketololan yang lain. Semoga anda memahami maksud saya, tetapi kalau tidak mengerti, saya anjurkan anda membaca tulisan yg ditulis Ikrar Nusa bakti di koran Seputar Indonesia, edisi 28 Juni hari ini,pada halaman depan, judulnya "Betapa Kocaknya Pemerintah." Menurut saya judulnya lebih tepat "Betapa Tololnya Pemerintah," tapi rupanya Ikrar masih punya etika dalam memberi judul. Puji Tuhan anda alumnus Pajajaran, sebuah universitas yang sempat membuat anda minder karena ngga pakai kata university di belakang kata Pajajaran. Sebab kalau anda lulusan Oxford University, namun anda pulang ke negri ini, menurut saya anda tidak termasuk golongan mahasiswa yang pintar di sana, tidak berbeda dengan badut-badut yang barusan anda ceritakan. Semoga badut-badut itu tidak melanjutkan ketololan yang dibuat oleh pejabat di orde reformasi ini, apalagi anda,semoga tidak terjebak di dalamnya.

    ReplyDelete
  4. Terimakasih atas commentnya... salam dan sukses selalu

    ReplyDelete
  5. iya mas Delianur,, salam sukses juga...

    ReplyDelete