Monday 27 June 2011

Small is Beutiful


Suatu hari istri saya bilang “Pah, kalau nanti kita dapat rizki banyak, kita buat masakan enak yang banyak lalu kita bagi-bagi sama tetangga”. Meskipun saya mengiyakan, tetapi sebetulnya saya tidak sepakat dengan pernyataan itu. Ada yang salah dari pernyataan itu. Tetapi urung saya katakan. Karena selain tidak ingin mematahkan semangat sebuah itikad baik, juga karena saya seketika itu juga menyadari kalau saya sudah lama melakukan kekeliruan yang sama.

Esok hari nya saya lihat istri saya sibuk memasak pisang aroma dalam jumlah banyak. Setelah itu dia membagikan hasil masakannya itu pada para tetangga. Begitu kembali ke rumah, tanpa ditanya lebih dahulu istri menjelaskan “ngapain kita mesti tunggu rizki yang banyak, yang ada aja sekarang dipake”. Tersenyum saya mendengarnya, ternyata istri saya selain cepat menyadari kekeliruannya, juga cepat memperbaiki.

Sorenya ketika belanja di Supermarket sama anak istri, saya masukan gula dan kopi dalam keranjang belanjaan. Aneh karena bukan peminum kopi, istri nanya “Mau ngopi?Sejak kapan ngopi?” Sambil malu-malu saya jawab “nggak, malu kita ngomongin Indonesia sejahtera Indonesia Bahagia, tapi sama Satpam depan kompleks aja gak pernah ngasih kopi”

Sebetulnya sebelum kejadian diatas, saya sudah diingatkan tentang pentingnya bertindak sederhana. Dalam sebuah seminar, seorang rektor yang menjadi pembicara menyentil audience, kebanyakan para aktivis, yang baru saja bertanya dan berstatement tentang Indonesia yang aman, sejahtera, adil dan bebas korupsi. Dia mengingatkan supaya mereka tidak menjadikan forum seminar sebagai arena katarsis saja.

Lama baru saya bisa memahami maksud ucapan itu. Beberapa kali saya temukan seorang aktivis yang membicarakan Indonesia yang berkeadilan dan masyarakat yang beradab, padahal mereka pelaku KDRT atau telah meninggalkan anak istri selama berbulan-bulan. Seminar, atau forum apapun, seolah menjadi saluran katarsis menunjukan superioritas diri dari keadaan diri yang sebetulnya tidak berdaya
Saya ungkapkan dua kejadian diatas untuk menegaskan bahwa seringkali kita terjebak pada hal-hal yang besar dan melupakan hal-hal kecil mendasar. Lebih dari itu seringkali juga kita mengangankan hal yang besar tetapi tidak mau memulai dari hal yang sangat kecil dan sederhana. Membicarakan Indonesia yang mesti aman, tetapi lupa sama satpam di kompleks. Mengurai tentang keberadaban, keadilan, dan kesejahteraan pada saat bersamaan melupakan anak istri.

Saya tidak mengerti kenapa seolah terjebak pada hal seperti ini. Secara tidak sadar kita seolah masih “hidup di masa lalu” ketika dengan antusias membahas hal-hal besar dan bombastis. Ataukah memang sedang menjadi bagian sekelompok masyarakat yang sedang fiksasi massal?Padahal sebetulnya kalau kita mau melihat lebih detail dan jernih, usaha-usaha besar itu berawal dari usaha kecil dan sangat sederhana.
Alm K.H Ahmad Dahlan misalnya. Insiatifnya dengan gerakan Muhammadiyyah dilanjutkan para penerusnya dengan membangun ribuan lembaga pendidikan, kesehatan dan sosial.

Mulai dar Play Group sampai dengan Universitas sudah didirikan Muhammadiyyah. Rumah sakit dari yang berbintang sampai tidak berbintang,juga banyak berlogokan Muhammadiyyah. Panti asuhan yatim piatu pun tidak sedikit yang bergambar cap Muhammadiyah. Tidak hanya institusi, ribuan kader sudah dicetak dan berkontribusi signifikan terhadap negeri ini.

Tetapi kita sering tidak sadar, bahwa gerakan besar dan massif itu pada dasaranya diawali oleh usaha dan ide sederhana. Usaha Alm tidaklah dimulai dengan menjadikan Islam Indonesia sebagai kiblat, tetapi hanya meluruskan arah kiblat sebuah masjid di Jogja. Almarhum juga tidak herois menyuruh murid-muridnya mengamalkan seluruh isi Quran, tetapi almarhum hanya ingin muridnya mengamalkan surat Al-Maun saja. Satu surat diantara 114 surat yang ada di Quran, 7 (tujuh) ayat quran diantara 6.666 ayat quran.

Ketika Islam mengglobal; menaklukan kedigdayaan Romawi dan Persia, memasuki Afrika melalui Mesir, menerobos Eropa dengan pimpinan Thariq Bin Ziyad, orang lupa bahwa dasar gerakan besar itu bukanlah sebuah perintah besar Nabi supaya Islam menggemgam dunia. Semuanya berawal dari perkataan sederhana nabi kalau kedatangan beliau ke permukaan bumi hanyalah liutamimma makarimal akhlak, untuk menyempurnakan akhlak manusia, bukan menaklukan dunia.

Bila masih tidak percaya, coba kita lihat apa yang telah dilakukan orang-orang masa kini. Situs amazon.com, situs terpercaya dunia untuk jual beli buku, tidak dibangun melalui kucuran dana besar dan ruang kerja di lembah Sillicon Valley yang keren dan beken. Semua dimulai dari sebuah garasi rumah dengan komputer seadanya. Mark Zuckerberg tidak bermaksud menjadikan facebook sebagai penyambung seisi penduduk, tetapi dia hanya ingin memfasilitasi interaksi komunikasi antar mahasiswa Harvard. Bahkan menurut film The Social Network facebook adalah saluran sakit hati Zuckerberg karena diputus pacar

Maret 2005 Philip Moris mengeluarkan dana Rp 45,066 Triliyun untuk membeli saham HM Sampoerna dan RP 18,58 Trilyun untuk pembelian 44,5% saham yang dimiliki keluarga Sampoerna. Bisa diperkirakan kira-kira berapa total asset yang dimiliki keluarga Sampoerna yang bisnisnya tidak hanya rokok tetapi juga, telekomunikasi, waralaba alfamart, industri IT, bisnis gaya hidup, kehutanan, juga properti. Tapi tahukah orang, kalau kerajaan bisnis sebesar itu dimulai Liem Seeng Tee dari menabung uang hasil penjualan arang dengan sepeda.

Tahun 1859 terjadi Pig War, tentara Amerika dan Inggris berhadap-hadapan hanya gara-gara tertembaknya seekor babi. Padahal sebelumnya mereka bersitegang memperebutkan pulau Sanjuan dan tidak terjadi apa-apa. Bahkan pakar ekonomi,ilmu yang mengajarkan cara mengambil keuntungan sebesar-besarnya, EF Schumacher mengatakan “Small Is Beutiful”. Jadi semuanya berasal dari hal yang sederhana dan kecil. Tetapi kemudian tidak berarti memiliki peran apa-apa.

Mungkin karena kita senang dengan hal yang besar, meremehkan hal yang kecil, semuanya menjadi lepas dan absurd. Coba saja perhatikan; bagaimana mungkin ada orang berteriak heroik menegakan syariat dan negara Islam tetapi dan pada saat bersamaan meneror dan membunuh banyak orang. Ketika Australia menyetop ekspor sapi ke Indonesia karena pemotongan sapi di Indonesia tidak layak, kita masih berat hati moratorium pengiriman TKW meskipun sudah banyak nyawa jadi korban. Dulu di Perancis mentri pendidikannya diturunkan karena ada atap yang roboh di sebuah universitas. Disini bukan atap yang roboh, tetapi sekolah yang roboh.

Provokasi Marx yang mengatakan supaya “merubah dunia” dan untuk tidak menjadi absurd memang tidak ada salahnya. Tetapi yang diabaikan orang adalah absurditas Marx sendiri yang mengatakan bahanya eksploitasi kelas bawah sementara pada saat yang bersamaan di rumahnya memelihara banyak budak belian.

Sambil tidak melupakan lontaran Marx tentang merubah dunia, ada baiknya kita membaca tulisan di batu nisan Westminster Abbey, arsitek istana kerajaan Inggris. “Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Lalu seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk mengubah negeriku. Namun tampaknya hasrat itupun tiada hasilnya… “

Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. Tetapi celakanya mereka pun tidak mau berubah. Dan, kini sementara aku terbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari: ‘Andai saja yang pertama-tama kuubah adalah diriku sendiri, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku, kemudian siapa tahu aku bahkan bisa mengubah dunia’ ”

Jauh sebelumnya, sufi Bayazid al Busthami menceritakan tentang dirinya. “Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa; ‘Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!’. Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku, keluarga, dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas.’

Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Daoku satu-satunya sekarang adalah; “Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri. Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku!”

Jakarta, 23 Juni 2011

1 comment: