Saturday 11 June 2011

Play Group, Galileo dan Shalat Lima Waktu

Anak sudah waktunya ke Play Group. Katanya sebelum masuk Play Group anak saya mesti di observasi dulu. Saya tidak faham apa yang dimaksud sekolah dengan observasi terhadap anak. Apakah mau melihat segala hal berkaitan dengan fisiknya atau apa. Tetapi karena anak saya sedang sakit, jadi jadwal observasi yang diberikan pun tidak bisa langsung diikuti.

Tapi akhirnya saya dapat informasi tentang observasi yang dimaksud. Sore itu istri saya menceritakan kembali tentang pengalaman seorang Ibu yang anaknya di observasi. Katanya observasi hanya berlangsung sekitar 15 menit. Si anak diberi sebuah mainan dan dibiarkan asik dengan permainan itu. Ketika si anak sedang asik dengan permainan itu, observer menyodorkan permainan lain. Sebelum istri menyelesaikan ceritanya, saya langsung menebak kalau ini berkaitan dengan uji ke fokusan dan konsistensi dan istri membenarkan itu. Karena si anak memainkan mainan baru yang disodorkan, di akhir sesi observer memberi tahu tentang kemampuan fokus anak yang lemah.

Senang mendengar test seperti ini. Semula saya berpikir kalau anak saya akan diobservasi kemampuan kognisinya seperti kemampuan mengenal huruf, angka, warna atau berbagai macam bentuk. Tetapi ketika yang diuji tentang ke fokusan, konsentrasi atau konsistensi maka ini bagi saya menjadi sesuatu yang sangat menarik dan perlu.

Sepertinya memang sudah saatnya identifikasi atas potensi peserta didik itu bukan semata aspek knowledge. Ada aspek sikap atau mentalitas yang mesti diperhatikan dalam konteks tumbuh kembang seorang anak. Saya tidak tahu apakah istilah saya ini benar atau tidak. Kalau merujuk kepada spanduk-spanduk atau buku-buku yang mewacanakan tentang pendidikan karakter, saya pikir mungkin ini yang dimaksud dengan pendidikan karakter bagi anak.

Pada satu kesempatan, seorang pejabat tinggi yang istrinya giat mengkampanyekan tentang pendidikan karakter, di mimbar menguraikan tentang problem yang dihadapi Indonesia. Pendidikan karakter dalam pandangan beliau adalah solusi supaya problem itu tidak muncul di kemudian hari.

Menurutnya dulu orang berpikir kejahatan terjadi karena orang tidak berpendidikan. Sekarang ini ketika knowledge sudah dikonsumsi banyak masyarakat, ternyata kejahatan tetap saja terjadi. Kejahatan kerah putih, white collar, seperti korupsi terjadi sangat masif. Orang yang korupsi ternyata rata-rata berpendidikan dan korupsi tidak bisa dilakukan kalau orang tidak berpendidikan.

Kemudian orang berpikir kalau kejahatan korupsi terjadi karena orang tidak mendapatkan pendapatan layak sehingga kepintarannya dipakai untuk berbuat jahat. Pendapat ini kemudian terbantahkan. Banyak eksekutif bank yang berada di top managemen, dengan segudang reward, selain gaji rutin yang didapatkan, tetap saja melakukan korupsi.

Orang merubah lagi pendapatnya kalau tindak kejahatan terjadi karena orang tidak mengenal ajaran agama. Orang yang mengetahui ajaran agama pasti tidak akan melakukan korupsi karena tahu korupsi itu dosa. Pendapat ini lagi-lagi terbantahkan ketika pelaku korupsi adalah justru orang-orang yang sangat dekat dengan aktivitas agama dan rajin berkhotbah moral kehidupan kepada lingkungannya.

Bahwasannya pengetahuan,yang mewujud dalam bentuk orang pintar, adalah sesuatu yang sangat penting itu adalah hal yang tidak dapat dibantah. Tetapi ternyata itu tidak menjadi satu-satu nya variable bagi setiap orang untuk menjalani hidup dengan benar. Ada variable lain yang hilang dari perhatian, itulah karakter atau sikap.

Karena karakter mencurinya tidak dihilangkan, maka pengetahuan yang dimilikinya digunakan untuk mencuri. Karena karakter malasnya tidak dihilangkan, maka potensi kecerdasannya pun menjadi sangat tidak optimal.

Makanya ketika mengetahui bahwa anak saya akan diuji karakternya, saya gembira. Karena kemudian permasalahan fokus dan konsistensi inilah yang sering menjadi titik lemah kita. Lihat saja misalnya berita-berita tentang banyaknya kasus yang hilang tertimpa kasus lain. Coba saja perhatikan, bagaimana nasib korban Lapindo yang hingga kini tidak mendapatkan hak nya secara layak. Isyu nya habis dilindas isyu-isyu lain. Mungkin sebentar lagi isu Nazarudin dan Nunung akan hilang juga karena ada isyu lain yang lebih menarik.

Jadi kembali ke masalah karakter tadi, jadi saya pikir sudah saatnya hal-hal yang bersifat afektif ini menjadi bahan perhatian kembali dalam pendidikan kita. Hal ini bukannya tanpa preseden dan tanpa pengetahuan.

Kalau kita lihat perjalanan orang-orang hebat, yang sering kita sebut dengan orang-rang pintar, pengakuan jujur dan otentik dari mereka selalu menyatakan kalau pengetahuan itu aspek kesekian dari faktor kesuksesan mereka, meskipun mereka berkiprah di bidang ilmu pengetahuan. Thomas Alva Edison misalnya. Setelah menunjukan pada publik penemuan bola lampunya, Edison ditanya wartawan tentang keberhasilannya itu. Edison menjawab, kalau keberhasilan itu 1% pengetahuan dan 99% kerja keras. Edison menemukan bola lampu setelah gagal dalam 1000 kali lebih percobaan. Mengandalkan kejeniusan untuk menemukan bola lampu bagi Edison adalah suatu hal yang tidak mungkin.

Atau mungkin kita bisa beralih kepada Galileo Galilei. Semua sepakat bila Galileo adalah bapak fisikawan modern. Dari Galileo lah kemudian muncul seorang Isaac Newton dan terakhir lahirlah seorang Albert Einstein dengan teori relativitasnya yang menjadi rujukan terkini. Tetapi kalau kita mau melihat kembali perjalanan panjang Galileo, maka kekuatan Galileo sesungguhnya bukan hanya pada kecemerlangan berpikirnya.

Melalui teori heliosentrisnya, bahwa bumi mengelilingi matahari bukan sebaliknya seperti diungkap Aristoteles, Galileo memang bisa menunjukan kesalahan teori Aristoteles tentang tata surya. Tetapi konon menurut riwayat, Galileo kelabakan ketika diminta membuktikan kalau pendapatnya lah yang benar bukan pendapat Aristoteles.

Kesuksesan Galileo adalah ketika dia dengan konsisten, kerja keras dan shabar mempertahankan pendapatnya yang dia yakini benar. Dan hal ini tidak dia lakukan dalam hitungan satu atau dua hari, tetapi berjalan selama masa hidup nya sampai dia meninggal. Sampai ketika Galileo divonis bersalah oleh pengadilan gereja karena menentang ajaran gereja dan dihukum penjara hukuman rumah seumur hidup, dia tetap mempertahankan pendapatnya. Galileo kemudian menulis pendapatnya dalam sebuah buku dan diselundupkan oleh pengikutnya ke Belanda untuk diterbitkan. Buku Galileo terbit setelah dia meninggal. Bagaimana kalau Galileo tidak konsisten dan tabah mempertahankan pendapatnya?Saya yakin tidak akan ada Isaac Newton atau Albert Einstein dan ilmu fisika tidak akan berkembang seperti sekarang

Begitu juga kalau kita melihat tentang Wright bersaudara yang menemukan pesawat terbang bermesin. Wright bersaudara bukanlah lulusan universitas, tetapi dua bersaudara yang tekun mencari cara supaya bisa terbang. Dalam ceritanya juga dikisahkan bagaimana mereka menahan diri untuk tidak terprovokasi untuk populer dan menjawab desakan untuk segera para penerbang lain untuk menunjukan penemuan mereka berdua. Wright bersaudara hanya mau menerbangkan pesawat bermesin penemuan mereka setelah mereka yakin kalau semua detail nya sudah selesai.

Waktu awal-awal kuliah di Fikom Unpad, dosen-dosen saya mengajarkan pengetahuan dasar merubah orang melalui komunikasi. Katanya, perubahan manusia itu terjadi pada tiga level yaitu, level kognisi, afeksi dan psikomotorik. Perubahan kognisi adalah ketika pesan dari komunikasi yang kita berikan hanya menambah atau merubah pengetahuan. Perubahan akan menjadi nilai tambah bila dari perubahan dari aspek pengetahun bergerak menjadi perubahan sikap, yaitu adanya hasrat atau sikap atas pesan dari komunikasi yang disampaikan. Tetapi menurut teori komunikasi, perubahan sejati adalah ketika terjadi perubahan perilaku. Bila kita melihat runtutannya maka perubahan perilaku adalah perpaduan antara perubahan pengetahan dan sikap

Seperti sebuah pabrik mobil yang mempromosikan produknya. Target perubahan pertama yang dia lakukan adalah perubahan kognisi. Orang harus mengetahui bahwa pabrik mereka memproduksi sebuah mobil. Tetapi kemudian perubahan itu hanya awal saja, mereka masih membutuhkan perubahan sikap berupa pendapat yang ada pada setiap orang bahwa karena produk mereka bagus, maka mereka harus memiliki produk itu bagaimanapun caranya. Apakah dengan kredit mobil atau dengan meminjam uang dari motor. Muara akhirnya adalah perubahan perilaku ketika orang membeli mobil yang ditawarkan oleh si pabrik. Jadi bagi dunia sendiri, perubahan kognisi itu hanya awal saja dan tidak akan pernah bermakna apa-apa bila tidak ada perubahan pada aspek sikap

Jadi sepertinya tema-tema tentang sikap tanggung jawab, kerja keras, shabar, keuletan, fokus, konsistensi harus menghiasi kehidupan pendidikan kita. Banyak orang berpendapat kalau tema-tema ini dimasukan kurikulum pendidikan, maka muatan pelajaran bagi anak didik bertambah banyak dan panjang. Karena seperti yang kita ketahui, disamping pendidikan karakter, para pengusaha juga menuntut adanya pendidikan enterpreneurship. Karena menurut para pengusaha kemajuan ekonomi suatu negeri minimalnya mesti ditopang sekitar 5% enterpreneur dan Indonesia mencapai itu. Aktivis anti korupsi juga sudah banyak menuntut tentang pendidikan anti korupsi. Karena sebuah negara tidak akan mungkin maju kalau korupsi nya masih merajalela

Tetapi itu kalau kita berpikir cara lama dari mendidik maka akan berpikir seperti itu. Anak SD, , SMP dan SMA pasti mesti ditambah lagi jam dan mata pelajarannya. Begitu juga dengan mahasiswa,pasti ada pembengkakan jumlah SKS yang mesti ditempuh. Hidup anak dihabiskan di sekolah dan tidak ada waktu lagi untuk keluarga dan lingkungan rumahnya

Namun sebetulnya kalau kita melihat kejadian keseharian kita, orang tua – orang tua kita atau kearifan lokal sudah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana menanamkan nilai karakter itu.
Dulu di kampus teman-teman dengan kreatif mengadakan kompetisi permainan tradisional. Awalnya beberapa teman menganggap itu hanya kegiatan hura-hura saja. Tetapi setelah berjalan, saya lihat banyak hal yang menjadi muatan pendidikan karakter dari permainan tradisional. Dari permainan tradisional itu saya melihat banyak hal pelajaran kebersamaan, solidaritas sosial, tanggung jawab pribadi, kegigihan, keuletan.

Sayangnya orang sekarang menganggap permainan-permainan seperti damdas, congklak, engkle, bermain gala, sepakbola itu kalah modern dengan Game Online atau Play Station. Orang lebih suka main bola di Play Station ketimbang main bola di lapangan bola.

Atau mungkin kita bisa kembali kepada ajaran agama saja sebagai toolsnya. Misalkan saja untuk melatih konsistensi, kita latih saja anak-anak itu untuk selalu melaksanakan shalat 5 waktu tanpa pernah meninggalkannya. Bila si anak sudah terbiasa melaksanakan shalat 5 (lima) waktu, dosis nya lalu kita naikan lagi dengan shalat 5 (lima) waktu tepat pada waktu nya. Bila fase ini sudah beres juga, dosis nya mungkin bisa kita naikan lagi; shalat lima waktu, tepat waktu dilanjutkan dengan membaca Quran.

Menyimpang sedikit, kalau sudah ngomongin ritual agama begini, saya jadi ingat Dan Brown. Penulis novel The Davinci Code. Novel nya tidak hanya laris manis diterjemahkan ke berbagai bahasa, tetapi juga menggegerkan.

Nah menurut Dan Brown waktu menulis yang baik itu adalah setelah tengah malam sebelum fajar. Jadi kalau pake ukuran jam, kira-kira jam 02.30 an lah. Karena pada jam-jam ini menurut Dan Brown pikiran kita lagi rileks dan sering muncul banyak inspirasi. Lha, kalau saya lihat, ini kan waktu tepat setelah shalat malam seperti yang diajarkan nabi. Jadi kalau kita misalnya ikut petunjuk nabi untuk shalat malam, berarti kita terbiasa untuk merilekskan pikiran dan mengundang banyak inspirasi ke kepala kita. Bukankah rileksnya pikiran dan banyaknya inspirasi dibutuhkan setiap orang bukan hanya penulis seperti Dan Brown.

Ah, kalau sudah begini saya jadi malu. Meminta jalan ini dan jalan itu sama Tuhan padahal jalannya sudah di kasih tahu. Meminta dikarunia sifat konsisten dan fokus, padahal instrumennya sudah tersedia. Memohon supaya diberikan hidayah (inspirasi) padahal petunjuknya sudah ada. Jadi mending kita berhenti saja nulisnya, malu kita 

Sukabumi, 11 Juni 2011

No comments:

Post a Comment