Monday 20 June 2011

Metodologi dan Epistemologi Dalam Ruang Komunikasi Konvergensi

Determinisme teknologi komunikasi dan informasi terhadap perubahan persepsi, sikap dan perilaku masyarakat, terhadap ruang, waktu, dan batas wilayah, telah menuntut pemikiran-pemikiran kreatif dalam perspektif Ilmu Komunikasi. Tradisi linier dan interaktif sendiri tidak mampu menjelaskan fenomena perubahan yang sedang terjadi pada masyarakat saat ini. Realitas komunikasi dengan intervensi media yang semakin konvergen, tidak dapat dijelaskan hanya sekadar transmisi, pertukaran informasi interaktif dan pola-pola komunikasi yang stagnan.

Sifat komunikasi dengan multi arah (person to person, person to many, and many to many) menjadi amat rumit dalam skala dimensi waktu, ruang dan batas wilayah. Merupakan salah satu ciri dari hypercommunication era teknologi komunikasi saat ini. Dalam satu event komunikasi orang bisa membangun level komunikasi antar pribadi, kelompok, bahkan komunikasi massa.

Kerumitan terletak pada prediksi asal muasal, proses yang terjadi, serta akibat yang ditimbulkan dari proses komunikasi yang berlangsung. Aspek-aspek dari ciri-ciri komunikasi pada setiap level hadir bersamaan. Misalnya, kedekatan, keterbukaan, umpan balik langsung yang merupakan bagian dari ciri komunikasi langsung dan antar pribadi, hadir bersamaan dengan karakteristik komunikasi massa yang memiliki unsur keserempakan, kesegeraan dan keterlibatan lembaga dari seorang komunikator.

Sekarang amati kasus manusia seperti seorang polisi yang tiba-tiba berubah menjadi selebritis terkenal. Tanpa reputasi dan track record prestasi yang dibangun oleh orang yang bersangkutan, berubah manjadi pembicaraan publik secara terbuka. Tidak hanya menyangkut dirinya tetapi sudah masuk dalam ruang publik bahkan ruang kelembagaan yang di luar batas-batas rasionalitas. Pembentukan citra dari orang yang sebelumnya bukan siapa-siapa menjadi memiliki apa-apa karena publik membicarakan itu dan media memanfaatkan peristiwa dari efek resonansi atas media konvergen semacam Youtube.com. Dan akhirnya melambungkan popularitas yang bersangkutan. Media konvensional memanfaatkannya sebagi sebuah isu murahan yang banyak disukai semua orang.

Demikian halnya dengan fenomena jejaring sosial yang memiliki kemampuan melebihi batas-batas komunikasi sosial. Jika keserempakan sebelumnya hanya miliki komunikasi massa, media jejaring sosial merubah struktur dan tatanan komunikasi dengan memadukan kemampuan kedua konteks komunikasi tersebut. Komunikasi menjadi ajang memainkan panggung pribadi dengan berbagai konsep dan pengelolaan. Media bisa berubah menjadi panggung depan atau panggung belakang yang menampilkan berbagai karakter secara berlainan dari karakter yang sesungguhnya. Bahkan orang bisa menjadi berupaya mengkonstruksi karakternya secara pragmatis demi hubungan dan reputasi secara berbeda.

Sebuah isue yang belum tentu ada benarnya secara faktual dan empirik, akan menjadi sangat objektif jika mendapatkan dukungan dan pembenaran dari seluruh member jejaring sosial dan dan seolah dukungan itu menjadi sebuah pembenaran. Tengok saja bagaimana orang memanfaatkan twitter untuk diretwitt atau diikuti oleh follower yang lain. Lama kelamaan membentuk sebuah opini akumulatif mengenai suatu isue yang entah berasal dari siapa dan dari mana. Komunikasi dengan fenomena seperti ini, sangat evasip, kumulatif, centang perenang, bergeser dari subyektif menjadi objektif, dan sarkastis.

Evasi komunikasi seringkali muncul karena komunikasi sifatnya dangkal, dan membicarakan sesuatu secara spontaneus. Akibatnya, pembicaraan menghilangkan hal yang pokok dan dukungan fakta yang memadai. Bahkan orang cenderung melengkapi kekurangan informasinya dengan interpretasi pribadi, padahal isu itu dilemparkan kepada publik. Akibatnya, makin lama spektrum pembicaraan tidak lagi pada hal yang pokok tapi berubah dengan membawa dimensi-dimensi lain secara kumulatif untuk menginterpretasikan sebuah wacana publik di ruang maya. Tengok saja beberapa kasus yang telah terjadi di berbagai bentuk ruang-ruang komunikasi seperti messenger group dan jejaring sosial. Ketika pemerintah melempar rencana untuk membuat regulasi atas pengaturan Blackberry, umpatan, opini dan hinaan pada menteri komunikasi, bukan lagi dasar fakta tetapi opini yang telah menyerang pribadi dari seorang menteri.

Sifat komunikasi dalam dunia maya yang interaktif, direct, dan feedback segera, telah membuat lompatan-lompatan opini dan pembahasan isu sangat dinamis. Saat ini orang membahas sesuatu tetapi di saat berikutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama berubah membahas topik yang lain. Lompatan-lompatan itu terkadang membuat sebuah isu tidak pernah selesai, atau mau diapakan dengan isue sebelumnya. Komunikasi melalui media konvergen semakin mendekati wacana dan konteks obrolan keseharian, tetapi melalui media. Namun, seringkali tidak disadari bahwa akibat dari wacana yang keluar dari koridor komunikasi langsung.

Memahami perilaku komunikasi yang begitu dinamis, membutuhkan satu upaya pemahaman dengan pendekatan yang berbeda. Terutama untuk merekonstruksi pendekatan memadai. Pendekatan-pendekatan komunikasi yang sebelumnya didominasi pengaruh, berubah menjadi komunikasi yang hyperinteractive. Konsep-konsep yang menjelaskan fenomena komunikasi yang massif, satu arah, dan hanya memperhatikan komponen-komponen komunikasi semata, sangat tidak mampu menjelaskan hakekat komunikasi yang sebenarnya.

Misalnya, dimensi ruang dalam kehidupan komunikasi telah berubah dari ruang fisik menjadi ruang imajiner berbentuk layar. Sebelumnya, layar komunikasi sebagai jendela hanya berlaku dalam komunikasi massa melalui televisi. Sekarang, hampir seluruh level komunikasi membutuhkan layar sebagai jendela komunikasi, one to many, many to one dan many to many. Bahkan layar memungkinkan lompatan-lompatan isu dan situasi komunikasi.

Disamping itu, kerja komunikasi bergeser dari otak ke mulut sebagai jembatan produksi simbol (bahasa), menjadi otak pada papan keypad sebagai alat produksi bahasa secara interaktif. Kemampuan melatih mulut untuk mengeluarkan bunyi bahasa sebagai simbol, tereduksi menjadi kemampuan papan ketik memproduksi kata-kata secara visual dan tertulis. Bahkan aspek ini pula yang menyebabkan sebuah percakapan informal, membutuhkan tatanan aturan yang baru.

Individu, tidak lagi dapat semena-mena memproduksi wacana jika tidak ingin menimbulkan efek komunikasi yang sebelumnya tidak ada dalam komunikasi verbal dan face to face. Lebih jauh lagi, tradisi komunikasi ujaran dibawa ke dalam kebiasaan komunikasi tertulis dengan dampak yang lebih luas dan atmosfir komunikasi yang berbeda.

Komunikasi layar juga memiliki sifat serba ada, serba cepat, dan minim mobilitas. Hal ini akan melatih kerja komunikasi pada individu secara aktif dengan menghilangkan relasi sosial atau jejaring sosial konvensional. Struktur komunikasi, menjadi amat dipengaruhi oleh kerja aktif menghadapi realitas yang jauh, bahkan menjauhakan dari sebuah kedekatan fisik.

Selanjutnya produksi kode kode secara artistik, representasi visual dan estetik, pengganti komunikasi ujaran yang mengandalkan auditif, ekspresif (bahsa tubuh) dan etis. Sejauh itu diproduksi dan disepakati dengan memenuhi ketiga aspek tersebut, maka orang menyepakati sebagai sebuah hal yang bisa diterima.

Melihat pada berbagai perubahan yang ada, menuntut berbagai perubahan cara pandang, cara mengungkap relitas, dan memecahkan masalah komunikasi menjadi amat kontekstual dan rumit. Tentu dalam hal ini adalah, pergeseran pada metodologi pendekatan yang berasal dari perspektif yang digunakan, serta inventarisasi atas dimensi-dimensi riset sebagai epistemologi komunikasi.

Intinya, komunikasi sosial menjadi berubah. Seperti yang dikemukakan dalam hasil risetnya terhadap anak-anak muda di United Kingdom dalam www.childnet.com, 2011, bahwa:

“… technology has not only mediated communication in countless ways, but … the very ways we communicate – and even the ways we talk and think about communication – are changing as a result.”

Social networking services are changing the ways in which people use and engage with the Internet and with each other. Young people, particularly, are quick to use the new technology in ways that increasingly blur the boundaries between online and offline activities.

Social networking services are also developing rapidly as technology changes with new mobile dimensions and features. Children and young people within the UK, who have grown up taking the Internet and mobile technologies for granted, make up a significant segment of the “beta generation” – the first to exploit the positive opportunities and benefits of new and emerging services, but also the first to have to negotiate appropriate behaviours within the new communities, and to have to identify and manage risk.

Atwar Bajari
Dosen Fikom Unpad

http://atwarbajari.wordpress.com/2011/06/12/meta-research-dan-komunikasi-konvergensi/

No comments:

Post a Comment