Wednesday 15 June 2011

Reframing


Suatu kali ada orang yang tiba-tiba saja ngajak berantem. Kaget juga, tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba ngajak berantem. Yang lebih menjengkelkan ketika saya tanya sebab ngajak berantem adalah karena saya tidak menjawab sapaannya. Waktu itu pingin teriak di telinga dia “Lo budek yah kagak denger jawaban gua?Mau berantem?ayo, lo pikir gua takut sama lo yah?”.

Mungkin waktu itu emosi lagi stabil, saya jadi urung menjawab seperti itu. Masalahnya kalau orang kayak saya yang udah jadi bapak berantem gara-gara urusan seperti ini, apa kata anak saya nanti. Bagaimana kalau ditiru, atau jadi alasan dia ngelakuin hal serupa?Masak kita sudah capek-capek nyekolahin dan ngajarin banyak hal, semua gagal karena perilaku kita sendiri. Yah, mengingat orang yang kita cintai itu ternyata cara paling ampuh menghindarkan diri berbuat konyol. Bahkan juga bisa sebaliknya, mengingat orang yang kita cintai bisa mendorong kita berprestasi. Konon Louis Pasteur berhasil menaklukan bakteri karena dia mengingat empat orang anaknya yang meninggal karena demam typus yang masa itu belum ada obatnya.

Kebetulan waktu itu ada yang melerai, jadi adu mulutnya tidak berlanjut. Tapi tetap saja saya perlu mengatakan dengan kata tegas kepada dia kalau saya sudah menjawab, gak peduli apakah dia akan tetap terus marah dengan jawaban saya atau tidak. Sebelum saya pulang kembali ke rumah, saya cari lagi orang tadi. Saya ajak dia salaman lalu saya menegaskan kembali kalau sapaannya sudah saya jawab. Sengaja saya salam tangannya, kali aja yang dimaksud dia gak jawab itu karena saya tidak menyalami dia. Kali aja dia pingin penghormatan lebih. Saya pikir dia lagi emosi mau tetep ngotot ngajak berantem, tapi ternyata gak juga

Di perjalanan pulang, walau dia sudah saya beri salam, jengkel dan sakit hati tetep aja dongkol gak hilang-hilang. Siapa yang tidak jengkel dan merasa terhina sih, diajak berantem tanpa alasan jelas dan kita mesti ngalah. Apalagi kalau mau itung-itungan, kalau tantangan itu saya layani saya yakin bisa meng KO orang itu. Secara fisik dia tidak berbeda jauh dengan saya, tapi keunggulan saya, meskipun badan saya kecil, tapi masih adalah sekitar futsal setiap minggu mah sedangkan saya gak pernah denger dia punya jadwal olahraga. Jadi fisik saya lebih bugar lah. Apalagi kalau dilihat secara psikologis. Coba saja tanya semua ahli bela diri. Lawan yang emosinya sedang tidak stabil adalah lawan yang paling gampang dikalahkan. Koordinasi gerak tubuh nya pasti tidak terkontrol.

Pulang rumah saya ceritakan kejadian tadi sama istri. Kaget dan campur sedih istri saya mendengar itu. Ketika saya menjawab pertanyaan dia tentang reaksi saya yang mengalah, istri saya apresiatif. Dia mengingatkan kalau saya lebih baik menghabiskan diri untuk membenahi banyak hal supaya kualitas kehidupan saya di depan jauh lebih baik. Jadi dibuktikan saja dengan kualitas kehidupan kita nanti kata istri saya.

Saya jadi ingat cerita Kang Jalal ketika dia curhat kepada anak istrinya di rumah karena merasa dibuat sakit hati sama orang. Anak terkecil Kang Jalal mengingatkan bapaknya kalau hidup bahagia adalah dendam terbaik. Lumayan terobati dengan saran ini, tetapi namanya dongkol tentu gak bisa hilang begitu saja. Pingin juga balik lagi ke tempat tadi dan menjawab tantangan orang yang ngajak berantem tadi.

Sampai beberapa hari rasa jengkel belum bisa hilang. Tempat dimana dia ngajak berantem pun menjadi tempat yang tidak menyenangkan. Beberapa kali saya berniat kesana untuk mengunjungi seseorang, tapi saya gagalkan. Bukan hanya dongkol bukan main, tapi saya gak bisa menjamin kalau saya tidak menjawab tantangan kalau orang tadi ngajak berantem lagi. Rasanya kita nyesel juga gak jawab tantangan berantem nya dulu. Kenapa dulu mesti banyak berpikir-pikir ini itu, padahal orang ngajak berantem langsung aja lawan. Itu kan orang yang tidak menghargai apalagi menyayangi kita (rasanya juga terlalu jauh untuk sampai pada tema sayang menyayangi). Mestinya waktu itu saya langsung berntindak taktis tidak berpikir ini itu.

Tidak tahu berapa kali, sikap dan tindakan saya sering tidak taktis, terlalu banyak pertimbangan berpikir ini dan itu. pernah satu kali ketika saya sedang berjalan, saya sadar ada yang aneh dibelakang saya. Ketika saya berbalik ada copet sedang gerayangin tas belakang saya. Mulut sudah menggertak memarahi dan sudah bersiap mau teriak ngajak orang ngeroyok. Kaki sudah siap diayunkan. Tapi waktu melihat tubuhnya yang kurus kerempeng, kotor saya jadi berpikir ulang. Kasihan juga kalau dia dikeroyok, jangan-jangan dia mau nyopet karena gak punya uang aja. Jadi saya urungkan saja nendang, dan cuma menggertaknya memastikan dia supaya lari pergi. Ah, bersifat taktis ternyata sebuah kecerdasan sendiri. Menyesal juga kenapa saya menjadi peragu seperti ini, tapi masih ada kesempatan berubah lah. Untung aja saya sementara belum jadi pemimpin negara, jadi efek ragunya cuma buat diri sendiri.

Tetapi suatu siang, ketika kepala saya mengingat lagi kejadian itu, reaksi kimia di otak saya tiba-tiba menyodorkan terapi reframing dalam melihat kejadian itu. Reframing berarti mengubah sudut pandang. Suatu kejadian pasti tidak akan berubah, tapi kita masih bisa merubah cara pandang kita dalam melihat kejadian itu. Seperti seorang photographer yang tidak bisa memindahkan posisi Gunung untuk mendapatkan angle berbeda, tetapi dia bisa memindahkan posisi kamera sehingga angle jepretan Gunung bisa berubah.

Kalau ingat kejadian itu saya pikir saya yang diuntungkan. Bukankah yang terjadi adalah orang yang sedang mengumbar emosi berhadapan dengan orang yang sedang menahan amarah. Anggap saja ada orang yang terus berlatih mengumbar emosi berhadapan dengan orang yang berlatih menahan amarah. Bukankah menahan amarah itu lebih baik daripada mengumbar amarah?

Lagian umur kita sudah bukan anak muda lagi. Standar hidup kita mesti jadi berubah dari yang semula berstandar “keberanian” menjadi berstandar “kepatutan”. Coba saja bayangkan, ada orang yang sudah bukan pelajar atau mahasiswa lagi, tetapi memakai standar pelajar dan mahasiswa dalam menghadapi persoalan. Waktu terus bergerak maju tetapi cara menghadapi masalah masih seperti dulu tidak bergerak maju. Bukankah itu konyol?Kira-kira begitulah sodoran kimiawi di otak saya untuk melihat masalah ini. Setidaknya, saya memiliki perubahan cara dalam menghadapi hidup lah.

Yah lumayan lah, cara berpikir ini bisa menentramkan hati menghilangkan jengkel. Lebih baik fokus urusan diri sendiri. Banyak mimpi belum dicapai, banyak obsesi yang belum terealisir.

Sukabumi 12 Juni 2011

No comments:

Post a Comment