Thursday 30 June 2011

Bertransaksi dengan Anak

Mengikuti dan menemani anak yang masih kecil dari sakit sampai sembuh, itu ibarat kita naik roller coster yang berputar 3600 (bukan 1800). Kita berhasil membalikan keadaan secara dramatis, tetapi dalam beberapa hal kita sebetulnya masih berada di tempat yang sama.

Bayangkan saja, ketika anak sakit kita harus mengurangi jatah tidur malam. Begitu anak sembuh semula kita pikir jam tidur kita akan berjalan seperti biasanya, ternyata tidak. Anak yang semula loyo karena sakit, sekarang jadi bersemangat. Alih-alih tidur waktu masuk jam tidur, anak malah menunjuk buku-bukunya sambil terus mengatakan “Papa Cerita, Papa Cerita”. Setelah semua buku dibacakan, saya pikir saya bisa istirahat, ternyata masih keliru juga. Saya masih harus menemaninya nonton beberapa VCD Learning animation koleksinya. Kalau sudah begini, kita sudah tidak lagi pending waktu tidur tapi cancel waktu tidur.

Pagi hari sambil berseloroh saya katakan pada istri, anak kita itu kalau lagi sakit membuat kita iba tetapi kalau dia sudah sembuh dia membuat kita jengkel. Sambil memandangi anak kita yang masih tidur kita pun tersenyum dan menggeleng-geleng sambil berkata “dasar”.

Hari berikutnya ketika bertemu saudara dan ngobrol panjang, saya ceritakan kembali pengalaman diatas. Mendengar itu dia tersenyum membenarkan sambil menceritakan pengalaman serupa. Lalu keluarlah pernyataannya mengomentari pengalaman saya. Mengutip perkataan orang tua, menurutnya kita akan tahu bagaimana jasa orang tua terhadap kita setelah kita juga mempunyai anak. Saya tersenyum mengiyakan dengan penyangkalan yang tidak terungkap.

Investatif Eksploitatif

Tidak ada yang salah dengan pernyataan saudara saya tadi karena begitulah keadaannya. Kita akan merasakan perjuangan orang tua terhadap kita setelah kita mempunyai anak. Hanya saja dari pernyataan ini implisit terungkap adanya superioritas dalam relasi anak dan orang tua. Relasi ini, selain tidak saya temukan kebenarannya secara utuh, sering menjadi pemicu relasi yang tidak baik di kemudian hari. Terlebih bila asumsi-asumsi ini ditanamkan pada pasangan muda yang baru punya anak seperti saya ini.

Melalui pernyataan ini kita seolah ingin mengatakan pada anak kita; “Hai anakku, ingatlah waktu kamu kecil dulu. Akulah yang telah menjaga, melindungi, memelihara dan memberimu makan. Ingatlah masa-masa itu” Atau dalam ungkapan lain yang lebih esktrem kita juga seolah ingin mengatakan “Hai anak ku, waktu kamu kecil kamu tidak berdaya dan kamu hidup dalam lindungan dan naungan kami”

Sekali lagi hal diatas tidak salah karena faktanya memang seperti itu. Tetapi bila ini dipelihara dan ditanam dalam diri kita, secara tidak sadar kita sudah memelihara superioritas diri. Hal ini, sadar tidak sadar, akan memicu kesadaran berikutnya bahwa di kemudian hari kita merasa berhak untuk “memperoleh reward” dari jasa yang sudah kita berikan. Dari sini saya pikir kemudian lahir istilah bahwa anak adalah investasi orang tua dalam makna adanya potensi eksploitatif di masa depan.

Dalam wujud yang sangat ekstrem dan menyeramkan, logika investatif eksploitatif antara orang tua dan anak ini saya temukan dalam novel nya Somaly Mom yang diangkat dari pengalaman nyata: The Road of Lost Innoccence. Somaly adalah perempuan aktivis pemberantasan perdagangan dan prostitusi anak perempuan di Kamboja. Sudah puluhan ribu anak yang dia selamatkan dari jebakan prostitusi.

Somaly sendiri bukanlah seorang aktivis mahasiswa atau cendikiawan. Somaly adalah korban prostitusi anak yang dijual orang tuanya pada seorang mucikari ketika dia berumur 11 tahun. Menurut Somaly yang terjadi pada dirinya belum seberapa, karena dikemudian hari dia menemukan anak perempuan yang baru selesai haid lalu dijual orang tuanya ke tempat prostitusi.

Dari sekian faktor yang menyebabkan maraknya prostitusi anak di Kamboja, selain ekonomi dan pendidikan, menurut Somaly adalah adanya frame orang tua yang menganggap berjasa kepada anaknya. Mereka merasa sudah berkorban segala hal untuk anaknya, dan sekarang ketika mereka sedang dalam himpitan ekonomi sementara anak mereka sudah memiliki potensi ekonomi, maka anak mereka mesti mengembalikan apa yang telah orang tua mereka berikan kepada mereka.

Dalam wujud ekstrem lain, alur seperti ini saya temukan dalam sebuah tulisan di media tentang maraknya anak jalanan. Tumbuhnya anak jalanan, menurut tulisan di media tersebut, salah satu diantaranya karena disuruh orang tuanya mereka. Adapun orang tuanya merasa berhak untuk menyuruh anak mereka mencari uang di jalan karena merasa berjasa telah menghidupi mereka sejak dalam kandungan

Dalam bentuk yang sangat sublim, modern, atau mungkin lebih humanis, logika investatif eksploitatif saya temukan beberapa tahun lalu ketika masih mahasiswa. Seorang teman mengeluh tentang kedatangan neneknya. Aneh, karena bagi saya kedatangan seorang nenek itu hal yang menyenangkan. Tetapi ternyata bagi dia kedatangan nenek ke rumah adalah sebuah isyarat kalau si nenek punya kebutuhan dan ibunya sebagai anak mesti memenuhi kebutuhan itu. Padahal menurut dia Ibunya itu seorang janda yang mesti menghidupi anak-anaknya yang sedang kuliah. Ironisnya kemudian si nenek menurut dia merasa tidak perlu tahu dengan kesulitan yang dihadapi oleh Ibu nya karena dia juga dulu seperti itu ketika membesarkan Ibu nya.

Logika Timbal Balik

Saya sendiri tidak tahu bagaimana memposisikan relasi orang tua dan anak umumnya, serta saya dengan anak saya khususnya, dalam konteks ketika kita dalam posisi sering memberikan dan berbuat sesuatu buat anak kita. Saya tidak munafik untuk mengatakan bila dikemudian hari saya akan membutuhkan anak saya. Saya yakin, dikemudian hari bila saya sedang berada dalam kesulitan maka saya ingin ditolong anak saya. Bila saya tidak mampu untuk mengungkapkan permintaan ditolong karena gengsi, saya yakin harapan untuk ditolong itu pasti tetap ada dan akan terungka.

Sampai tadi pagi, sebetulnya kejadian ini sudah berkali-kali, ketika memandikan anak saya temukan jawabannya. Karena anak menyebut nama saya, maka memandikan anak pun jadi tugas saya bukan Ibunya atau pengasuhnya. Senang juga memandikan anak di pagi hari. Setelah semua disiapkan, baju di buka,si anak masih berlari-lari sambil ketawa seolah ingin mempermainkan saya. Saya kejar sambil menunjukan saya bersusah payah. Ketika mandi pun banyak bertingkah yang membuat kita senyum dan ketawa. Selesai mandi, allih-alih capek, justru yang ada rasa riang. Ada psikologi positif yang menjalar di tubuh begitu selesai memandikan anak.

Kata psikolog, ini yang dinamakan energi positif atau psikologi positif. Kondisi psikologis ini menurut para pakar psikologi sangat penting bagi kehidupan kita. Tidak hanya membahagiankan suasana hati, tetapi psikologi positif sangat membantu menyelesaikan kerja-kerja keseharian. Lebih dari itu, psikologi positif membantu kita dalam menghadapi segala kepenatan dan problem yang kita hadapi sehari-hari.

Pagi itu saya pikir, rasanya bukan sekali ini saja anak saya memancing keluarnya energi positif dari diri saya, tetapi sudah bekali-kali. Misalnya ketika terjadi silang pendapat antara saya dan istri. Mulanya di depan anak kami pura-pura tersenyum seolah tidak ada masalah. Tetapi mulai dari senyum pura-pura sampai senyum sesungguhnya muncul karena melihat tingkah anak. Ketika itulah kemudian psikolgi positif kembali menaungi diri kita. Dipengaruhi suasana positif yang dibangun anak, kita bisa kembali mengurai permasalahan yang ada dengan lebih jernih dan membuahkan hasil positif.

Jadi kalau saya berpikir reward dari “jasa’ yang telah saya berikan pada anak, ternyata kita tidak perlu menunggu reward itu datang menunggu kita tua tidak berdaya. Reward itu sudah datang saat ini juga dan bahkan lebih besar dari apa yang telah kita perbuat. Bayangkan saja, anak saya hanya tertawa, senyum dan berlari-lari ketika akan saya mandikan. Tapi efeknya dia berhasil membangun energi positif dalam diri saya dan itu sangat membantu. Dan hal ini tidak terjadi satu dua kali tapi berkali-kali dalam bentuk yang berbeda-beda.

Jadi sepertinya kita ini tidak usah berpikir jasa atau mengharap reward dalam relasi dengan anak. Saya ingat beberapa waktu silam ucapan Aa Gym. Menurutnhya relasi kita itu seperti ucapan salam. Orang yang mengucapkan salam ketika bertemu atau bertamu, pasti akan dibalas waalaikumsalam. Tidak akan ada ucapan waalaikumsalam tanpa didahului ucapan salam terlebih dahulu. Kalau ada orang yang mengucapkan waalaikumsalam kepada kita tanpa kita mengucapakan salam terlebih dahulu, maka yakinlah kalau itu bukan doa, tetapi sindiran.

Jangankan Aa Gym seorang religius, Karl Marx yang tidak percaya Tuhan dan Agama saja menganggap sejarah hidup manusia sebagai sejarah pertentangan kelas. Artinya kehidupan manusia itu adalah kehidupan antara aksi dan reaksi. Setiap aksi pasti ada reaksi. Jadi tidak usah berpikir balasan, karena balasan itu pasti akan selalu datang. Mengikuti rumus dasar statistik kehidupan, menurut pakar statistik kurva kehidupan ini berjalan normal. Yang devian itu pasti ada, tetapi sangat sedikit dan jarang.

Jadi hidup ini adalah masalah balas membalas, jangan khwatir kebaikan tidak akan berbalas kebaikan. Masalah orang berperilaku air susu dibalas air tuba, bukannya orang seperti itu tidak ada, tetapi kuantitasnya sedikit karena itu menyimpang. Dan kalau kita berhadapan dengan orang seperti itu, maka kemungkinannya hal itu terjadi karena dua hal. Pertama karena kita terbiasa melakukan hal seperti itu. Kedua kita sedang sial berhadapan dengan orang seperti. Anggap saja kita sedang buang sial, kifarat atas dosa-dosa yang sudah kita lakukan sebelumnya

Saya tidak tahu apakah benar bentuk relasi anak orang tua yang benar itu seperti ini. Tetapi saya berkeyakinan, dan berdoa, bila relasinya seperti ini; di kemudian hari mungkin anak saya tidak membantu ketika saya dalam kesulitan, tetapi dia pasti akan menghindarkan diri saya dari kesulitan.

Sukabumi, 26 Juni 2011

No comments:

Post a Comment