Seluruh Isi Blog ini sudah dipindahkan ke www.tongkrongan.com dan selanjutnya updating ada di situs yang baru ini. Salam dan sukses untuk semua
Tuesday, 24 May 2011
Bahasa Di Rumah Kaca
Pada akhirnya kita faham kenapa penggagas Sumpah Pemuda mesti repot-repot menempatkan bahasa sebagai salah satu poin deklarasi. Meski hidup di tengah minimnya akses informasi, mereka secara cerdas dan jeli melihat bahasa sebagai instrumen penting hidup bernegara.
Perjalanan sejarah mengukuhkan gagasan Sumpah Pemuda. Demi memobilisir dan membangkitkan antusiasme masa yang baru saja terpuruk oleh kolonialisme, Soekarno memenuhi pidatonya dengan bahasa heroik dan bombastis. Sampai sekarang ungkapan Ganyang Malaysia, Jas Merah, Nawaksara, revolusi sudah menjadi memori nasional yang kerap dikumandangkan kembali.
Begitu juga dengan rezim Soeharto. Dalam sejarah rezim pasca kemerdekaan, mungkin Soeharto lah yang paling massif dan sistematis memperlakukan bahasa sebagai bagian mengelola kekuasaan. Para pejabat rajin mengumbar jargon; stabilitas nasional, pembangunan, keamanan, untuk membungkam daya kritis publik. Tidak cukup disitu, lembaga bahasa pun didirikan untuk mendistorsi hakikat bahasa. Bahasa diposisikan kering dan disasosiatif sehingga pusat bahasa lebih sibuk mengurus awalan dan akhiran ketimbang mendorong publik berekspresi dengan bahasa lisan maupun tulisan
Politik bahasa Soeharto pun berbuah manis bagi pengelolaan negara. Hanya dengan menyebut OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), Ekstrem Kanan/Kiri, maka daya kritis publik bisa diredam. Aktor-aktor nya bisa dipenjara tanpa pengadilan, diculik dan disiksa. Soeharto sukses menjadikan bahasa dalam ranah yang sangat netral pada satu sisi, dan memonopoli makna bahasa untuk kepentingan rezim pada sisi lain
Selanjutnya mungkin saat inilah kita menikmati kebebasan berbahasa. Bila sebelumnya bahasa dimonopoli negara, maka sekarang setiap orang bebas berbahasa sesuai dengan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Bahasa adalah sesuatu yang sangat asosiatif dan multi interpretasi, tidak seperti rezim orde baru yang memposisikan bahasa menjadi disasosiatif dan mono interpretasi.
Bahasa hasil monopoli hanya melahirkan indoktrinasi, instruksi, dan komando. Maka tidak aneh bila kosakata yang muncul adalah penataran, temu wicara atau arahan. Sebaliknya, reformasi telah menempatkan bahasa sebagai instrumen asosiatif dan multi interpretasi. Sehingga banyak muncul desakan publik untuk melaksanakan berbagai forum klarifikasi atau kesepakatan bersama. Dialog publik, debat publik, pertemuan bersama, menjadi kosa kata baru di langit berbahasa negara kita.
Berbahasa di Rumah Kaca
Reformasi berhasil membuka katup penghalang sosial bagi setiap orang untuk berbahasa. Pasca reformasi tidak ada lagi larangan, sensor atau budaya telepon. Melarang adalah sesuatu yang dilarang. Keberhasilan gerakan reformasi ini kemudian bersinergi dengan kesuksesan revolusi komunikasi dan informasi yang berhasil mengangkat katup tekhnis penghalang distribusi informasi dan berimbas pada pemaknaan
Jika masa awalnya internet hanya menjadi saluran sharing dan distribusi informasi, selanjutnya internet telah memungkinkan lokalisasi dan kanalisasi informasi sedemikian rupa. Situs-situs jejaring sosial, blog berhasil mengagregasi bahasa yang muncul dan menjadi pemicu terjadinya gerakan sosial masyarakat.
Perkembangan ini tidak hanya membuat masyarakat lebih bebas berbahasa, tetapi juga menempatkan semua aktor bahasa seolah ada dalam rumah kaca. Tidak hanya bahasa dimonitor, prilaku pemakai bahasa pun menjadi penilaian publik. Dana milyaran rupiah untuk menutupi palesiran Gayus, hilang tidak berbekas hanya oleh beberapa paragraph surat pembaca. Alinda bisa mengungkap ketidakadilan Jaksa hanya dengan curhat
Oleh karena itu Agamawan boleh berbahasa kalau pemerintah pembohong. Pemerintah juga boleh berbahasa kalau agamawan itu gagak hitam. Seperti juga MUI bisa berbahasa kalau tragedi Cikeusik adalah “bentrokan” bukan ‘penyerangan” seperti diungkap banyak kalangan. Tetapi mereka jangan sampai absen mengingat kalau kebebasan mereka berbahasa diiring posisi mereka dalam rumah kaca. Publik dengan sangat telanjang bisa melihat dan menguji bahasa mereka.
Kita mesti belajar dari kejadian di Mesir dan Stadion Gelora Bung Karno. Pro Mubarak boleh muncul baik dengan kuda, unta bahkan pesawat sekalipun. Tetapi publik tetap bisa menilai kalau bahasa mereka adalah pesanan bukan otentik ekspresi diri. Begitu juga Nurdin Khalid dengan PSSI nya. Spanduk dukungan terhadap Nurdin bisa dibuat dari sutra termahal dan dipasang di setiap pojok Stadion. Tapi semuanya tidak bermakna kala koor se isi stadion menyebut Nurdin untuk turun, karena itulah bahasa yang otentik
Kehidupan di rumah kaca mensyaratkan bahasa tanpa manipulasi. Semua kebaikan dan keburukan terlihat jelas dan menjadi penilaian dasar publik akan siapa yang telah berbahasa jujur dan siapa yang penuh manipulatif. Kesadaran inilah yang absen dari pelaku bahasa kita. Pemerintah, Agamawan, Jamaah Ahmadiyah, MUI tidak akan pernah hancur karena terror senjata dan tsunami. Tapi mereka akan luluh lantak oleh bahasa mereka dan kaumnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment