Monday, 23 May 2011

Perubahan DPR dengan Gedung Baru?




Dimuat di Koran Pikiran Rakyat Tanggal 24/1/2011 Hal 23.
Suplemen Teropong (Analisa Sosial Politik)

Perubahan DPR dengan Gedung Baru?

Untuk kesekian kalinya DPR mengejutkan publik. Bukan karena anggotanya tertangkap tangan menerima suap, manuver politik apalagi prestasi kinerjanya. Tetapi karena keputusan Ketua DPR untuk meneruskan rencana pembangunan gedung baru DPR yang bernilai lebih dari 1 Trilyun. Publik pun riuh membicarakan hal ini terlebih karena isu ini sudah bergulir sebelumnya dan sudah mendapat reaksi negatif dari publik.

Dibumbui kegagapan anggota BURT memberikan penjelasan publik alasan pembangunan gedung baru, masyarakat makin riuh mengetahui bahwa di gedung baru itu akan dibangun kolam renang yang bisa dinikmati oleh para penghuni gedung. Meskipun DPR berdalih bahwa itu adalah bak penampungan air untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran, tetapi bahasa yang sudah dimunculkan ke publik adalah kolam renang bukan bak penampungan air.

Ketua DPR yang merangkap sebagai Ketua BURT tetap ngotot meneruskan rencana pembangunan gedung tersebut. Selain untuk menggantikan gedung DPR lama yang katanya sudah tidak layak dan membahayakan, gedung baru DPR merupakan bagian dari grand design usaha memperbaiki dan meningkatkan kinerja anggota dewan yang menjadi sorotan publik.

Yang menjadi pertanyaan publik selanjutnya kemudian tidak hanya tentang besarnya biaya yang dipakai untuk membangun gedung, tetapi sampai sejauh manakah rencana ini memang bisa mengubahh wajah DPR menjadi institusi yang efektif dan efisien menjalankan pungsi dan perannya. Apakah setelah pembangunan gedung DPR ini selesai, anggota dewan kemudian tidak akan korupsi lagi, melahirkan banyak produk undang-undang dan selalu menghadiri setiap agenda rapat?

Back to Classic

Mari kita kembali mengingat masa kecil kita. Ada masa ketika ingin bisa mengendari sepeda ataupun ingin mahir berenang. Dua pengalaman ini tentunya bukan pengalaman mahal yang hanya dialami kalangan elite saja, sekelas anggota dewan masa kecilnya pastinya mengalami ini.

Ketika anak-anak ingin bisa memainkan sepedai, langkah umum yang banyak dilakukan oleh orang tua adalah menyediakan sepeda buat mereka. Bila orang tua mampu, sepeda bisa dibeli, bila orang tuanya tidak mampu mereka meminjam atau menyewa sepeda. Tetapi apakah ketika sepeda tersedia anak-anak itu bisa langsung mengendarai sepeda?Tentunya tidak.

Tahap pertama adalah anak-anak itu mesti mencoba mengendarai sepeda dan yang paling utama adalah anak-anak itu mau dan berani untuk belajar bersepeda. Disinilah kemudian yang sering menjadi biang kegagalan anak-anak tidak bisa bersepeda. Menumbuhkan kemauan dan keberanian pada anak-anak untuk bersepeda. Kalau ini tidak terjadi, maka adanya sepeda tidak akan berpengaruh terhadap kemampuan mengendarai sepeda.

Bagi orang tua yang benar-benar ingin melihat anaknya bisa bersepeda mereka pasti melakukan dialog dengan anaknya. Mereka akan membujuk anaknya untuk mencoba berani belajar bersepeda dengan mengatakan kalau bersepeda itu adalah sebuah kesenangan. Orang tua biasanya menyuruh anak-anaknya membayangkan mereka bisa bermain bersama-sama dengan anak-anak lainnya, mengingatkan anak-anaknya kalau mereka tidak bisa bersepeda maka mereka tidak bisa bermain dan tidak punya teman. Atau mungkin orang tua akan mengingatkan anaknya kemungkinan dikemudian hari dia dikejar anjing, dia bisa melarikan diri dengan cepat karena bisa bersepeda.

Orang tua yang faham dan benar-benar ingin melihat anaknya bersepeda, mereka tidak cukup untuk menyediakan sepeda untuk anaknya, tetapi juga memberikan pemahaman kepada anaknya tentang bersepeda. Tidak cukup menyediakan peralatan, tetapi juga merubah persepsi sang anak tentang apa dan bagaimana bersepeda.

Begitu juga ketika orang tua ingin anak-anaknya bisa berenang. Mengajak ke kolam renang, sungai atau membuatkan kolam renang di rumah hanyalah langkah awal yang konvensional mengajarkan anak bisa berenang. Dibutuhkan sebuah pemahaman dari sang anak tentang manfaat bisa berenang dan bahaya nya tidak bisa berenang. Untuk menstimuli anaknya berenang, ada orang tua yang memberikan gambaran bila si anak mengalami kecelakaan laut tetapi tidak bisa berenang. Kalau anak tidak bisa kemampuan renang, maka anak tadi diingatkan akan tenggelam seperti kapal karam dan mati.

Begitu juga dengan orang dewasa. Adanya kendaraan tidak cukup membuat orang bisa mengendarai kendaraan. Para pegawai membutuhkan perubahan persepsi kalau mengendarai sepeda motor kerja lebih efisien dan ekonomis sehingga pendapatan bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain. Berapapun banyaknya jumlah mobil yanga ada di garasi seseorang, selama dia merasa nyaman, aman dan tidak bermasalah dengan keuangan, maka dia akan terus mengandalkan supir pribadi bukan dirinya untuk mengendarai mobil.

Saran dari Lembah Alto

Adalah sekelompok peneliti yang berkumpul di lembah Palo Alto dan mensistematiskan pengalaman-pengalaman diatas. Menurut Rhenald pada tahun 1950 beberapa peneliti bertemu di lembah Palo Alto, California. Mereka terdiri atas para ahli manajemen, psikologi dan para terapis yang melakukan apa yang merka sebut sebagai “Mental Research” Mereka sangat berkepentingan terhadap perubahan yang tengah melanda dunia dan merasa risau terhadap sikap yang ditunjukan oleh orang-orang yang katanya setuju terhadap perubahan tetapi gagal meresponnya. Karena bekerja di lembah Alto, tim ini dikenal dengan sekutu The Palo Alto School (Kasali, 2007; 212)

Pada tahun 1975, setelah berkumpul 25 tahun, tim ini akhirnya berhasil merumuskan apa yang mereka sebut dengan the law of change. The Palo Alto School menyatakan menemukan bahwa ada dua jenis perubahan yang harus dilakukan setiap orang. Bila hanya satu perubahan saja yang dilakukan, maka perubahan itu belum tentu akan berhasil. Keduanya itu adalah perubahan realita dan perubahan persepsi. Bila dirumuskan dalam sebuah kalimat sederhana, kira-kira ajaran The Palo Alto School adalah; “If you want to change, you have to change twice. You not only need to change the reality of your situation, you also need to change the perception of this reality”

Perubahan realita itu terjadi didalam sistem yang sama, berulang-ulang, berkelanjutan, supaya tetap sama hasilnya. Perubahan realita hanya memodifiksi komponen/bagian-bagian dan tetap patuh pada aturan baku yang berlaku (follow the rules). Retroactive feedback dan menjaga keseimbangan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam perubahan realita.

Adapun perubahan persepsi adalah perubahan yang keluar dari sistem lama, menemui sesuatu yang baru, tidak meneruskan hal yang sama dan memiliki kejutan-kejutan. Dalam perubahan realita orang merombak cara berpikir atau melihat, asumsi-asumsi, hipotesa-hipotesa dan pandangan-pandangannya. Perutaran lama sudah tidak bisa dipakai dan harus diganti secara menyeluruh. Orang yang melakukan perubahan persepsi mesti berani untuk melawan arus, “break the rule/order”. Ketimbangan mengagungkan keseimbangan, balance, perubahan persepsi menimbulkan chaos dan kejutan-kejutan.

Dalam dunia manajemen menurut Rhenald, kebanyakan orang lebih banyak melakukan perubahann realita. Misallnya saja perbaikan gedung, menambah produk baru di pasar, membangun merek, melakukan pelatihan-pelatihan, menerapkan layanan prima, komputerisasi, balance score card dan lain sejenisnya. Tetapi sangat minim yang melakukan perubahan persepsi.

Orang terus bersikukuh melakukan perubahan realita tetapi alpa melakukan perubahan persepsi. Seperti orang dewasa yang ingin berhenti merokok hanya dengan cara menghapus anggaran merokok dan membeli permen saja (perubahan realita). Tetapi dia masih mengatakan “sekali-kali merokok tidak apa lah”. Tidak ada perubahan persepsi dalam dirinya. Atau orang dewasa yang ingin menurunkan berat badan cukup hanya dengan mengambil kegiatan olahraga (fitness) dan diat makanan saja (perubahan realita). Tetapi dia tidak mau merubah persepsi bahwa kelebihan berat badan tidak hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga mengancam kehidupan. Orang bisa mati karena serangan jantung atau stroke karena kolesterol (perubahan persepsi)

Seperti orang yang selalu datang terlambat ke kantor, maka kita tidak bisa mengubahnya dengan hanya menuntutnya untuk datang tepat waktu (perubahan realita) tanpa mengindahkan perubahan dalam persepsi bahwasannya telat masuk kantor itu akan merugikan diri sendiri dan semua orang (perubahan persepsi)

Perubahan DPR dengan Gedung Baru?

Disinilah kemudian kita lihat bolong besar dari alasan pembangunan gedung baru DPR yang dikaitkan dengan perbaikan kinerja anggota dewan. Ide ini hanya mengindahkan satu perubahan (perubahan realita) tetapi tidak mensyiratkan adanya perubahan cara berpikir (perubahan persepsi). Ironisnya kemudian kita lebih banyak melihat anggota dewan yang lebih mengedapankan perubahan realita ketimbang perubahan persepsi. Sehingga tidak aneh kalau kemudian yang muncul ke publik adalah tentang tuntutan kenaikan gaji, tunjangan, perbaikan rumah dinas dll.

Saat ini publik belum mendengar adanya usaha anggota dewan yang ingin melakukan perubahan lalu melakukan perubahan persepsi. Hal ini misalnya bisa diwujudkan dengan dibuatnya regulasi khusus buat anggota dewan yang melanggar hukum dengan timbalan hukum yang lebih berat. Yang terjadi justru sebaliknya, anggota dewan yang melakukan tindak pidana korupsi lebih banyak dilindungi oleh partainya ketimbang didorong untuk diganjar hukuman yang lebih berat dari biasanya.

Bila pola perubahan yang digagas DPR seperti ini, maka sebetulnya dengan sangat mudah kita akan melihat pola-pola perubahan lanjutannya. Bila sekarang yang dituntut adalah adanya gedung baru dengan fasilitas kolam renang di lantai atas, besoknya pasti akan muncul tuntutan adanya kolam renang di lantai bawah atau tengah karena semua anggota dewan sangat membutuhkannya. Ujung-ujungnya semua lantai pun dituntut mempunyai kolam renang

Gagasan pembangunan gedung DPR baru benar pada satu sisi, mesti dilanjutkan dengan kebenaran pada sisi lain berupa perubahan cara pikir dan persepsi. Bila hal ini tidak dilakukan maka yang terjadi tidak hanya kerugian bagi masyarakat, tetapi kerugian bagi semua fihak. Kerugiannya tidak hanya sekedar adanya anggaran yang dihambur-hamburkan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap legislatif. Bila sudah seperti ini, maka bangunan sistem politik yang sidang kita tata pun terancam mendapat penolakan dari publik. Ujung-ujungnya, maka perilaku anggota dewan tidak hanya merugikan mereka, tetapi juga merugikan tatanan kehidupan bernegara di negeri ini.

No comments:

Post a Comment