Monday, 23 May 2011

The Road of Lost Innocence




The Road of Lost Innocence ditulis Somaly Mam. Sebuah memoar yang menceritakan praktek prostitusi dan perdagangan anak di Kamboja dalam perspektif seorang korban yang dikemudian hari menjadi pembela para korban perdangan seks anak itu. Sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia judul yang sama oleh penerbit Hikmah Mizan.

Saya mendapatkan buku ini tidak sengaja ketika main ke tempat teman. Suntuk tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Ketika melihat ada buku seperti novel tergelatak di kasur, langsung saya sambar. Terhenti ketika aliran listrik padam, dan akhirnya bisa diselesaikan malam itu juga.

Somaly Mam bukan seorang sastrawan atau penyair. Sehingga tidak akan ditemukan susunan dan pilihan kata yang akan memukau. Somaly juga bukan seorang filosof, ilmuwan dan aktivis yang kenyang melahap teori-teori sosial. Sehingga kita tidak akan pernah menemukan kutipan-kutipan mendalam atau teoritisasi atas pengalamannya dalam sebuah analisa yang rumit seperti analisa gender, budaya patriarkhi, politik ekonomi dan lain sebagainya.

Somaly Mam adalah korban perdagangan seks anak dan orang yang berjuang membela anak-anak korban perdagangan seks di Kamboja. Somaly baru kenal huruf Kamboja ketika berumur 9 tahun dan belajar huruf latin, untuk mempelajari bahasa Perancis, pada umur belasan. Itupun terpaksa karena bertemu dengan seorang pekerja kemanusiaan dari Perancis, Pieere, yang dikemudian hari menjadi suaminya. Karena posisi inilah kemudian kita bisa melihat kelebihan dari buku ini. Somaly mengurai sebuah pengelaman dengan detail dan otentik tanpa bumbu-bumbi untuk menciptakan efek dramatis. Somaly hanya bertujuan untuk menyuarakan suara hati para korban dan mengingatkan dunia akan sebuah kejadian yang sangat barbar yang terjadi di era yang katanya sedang menuju puncak peradaban manusia

Coba saja bagaimana kita bisa membayangkan di zaman digital ada anak perempuan berumur 5-6 tahun yang diantar oleh Ibu dan Bapaknya ke rumah bordil untuk membayar hutang-hutang mereka. Karena harga keperawanan tinggi dan pengetahuan yang beredar mengajarkan bahwa menikmati keperawanan bisa memanjangkan umur dan mencerahkan kulit, maka setelah anak umur 5-6 tahun itu diperkosa dan hilang keperawanannya, para mucikari menjahit vagina anak tadi tanpa anastesi untuk kemudian dijual kepada lelaki lain. Dan itu tidak terjadi pada 1-2 orang anak, tetapi pada ribuan anak di Kamboja. Somaly sendiri dengan organisasi yang dia bangun, sudah menyelamatkan sekitar 4000 anak korban prostitusi.

Sebagaimana mengukuhkan ajaran-ajaran kehidupan yang sudah diterima masyarakat, pengalaman Somaly juga menjungkirbalikan pemahaman yang sudah mapan di tengah masyarakat. Sebagaimana sesuatu itu mungkin saja terjadi, sesuatu juga sangat mungkin tidak terjadi. Coba saja simak beberapa hal berikut ini.

Banyak orang mengatakan; sebagaimana harimau tidak akan pernah memakan anaknya sendiri, maka orang tua itu tidak akan pernah juga memakan anaknya sendiri. Tetapi faktanya menunjukan bila berapa banyak orang tua yang membunuh bayi yang baru terlahir.

Dalam kasus perdagangan seks di Kamboja Somaly menceritakan bagaimana seorang anak perempuan berumur 5 tahun diantar Ibu nya ke rumah bordil. Ketika si anak dengan polos meminta memeluk dan meminta perlindungan terhadap Ibunya, sang Ibu menampar, memarahi si anak dan menyuruhnya mengikuti si mucikari. Setelah itu si Ibu dengan tenang meninggalkan si anak dengan uang 15$ di tangan.

Selanjutnya dirangkailah sebuah “perjanjian” antara si orang tua dan si mucikari. Setiap bulan si orang tua bisa datang mengambil uang hasil prostitusi sang anak dengan catatan si anak tidak lari atau diambil oleh orang tuanya. Untuk mengikat si anak, mucikari dengan suaminya menjatuhkan mental sang anak. Bila si anak menolak melayani klien, anak tersebut tidak hanya dipukul dan dimarahin, tetapi juga dimasukan ruang bawah tanah yang sudah dipenuhi ular. Adapun pengalaman Somaly, karena dia sudah kebal dan tidak takut dengan ruang bawah tanah yang dipenuhi ular, majikan Somaly mengguyur dan memasukan belatung ke mulut Somaly.

Hal lain adalah ketika Somaly diminta seorang anak perempuan untuk menemui Ibunya yang sudah mengirim dia ke rumah bordil ketika dia berumur 5 tahun. Ketika bertemu sang Ibu anak tadi bertanya kenapa Ibu nya mengirim dia ke rumah bordil. Si Ibu menangis sesenggukan dan mengaku bahwasannya dia tidak tahu kalau itu rumah bordil. Tetapi saudara lelaki nya menyela, bahwa dia juga khawatir si Ibu akan mengirim adik perempuannya ke rumah bordil tapi itu tidak jadi karena adik perempuannya itu cacat.

Akhirnya si anak berkata pada Ibunya, kalau dia bukan Ibunya. Sambil menunjuk kepada Somaly si anak berkata kalau itulah Ibu dia yang sesungguhnya. Karena dia mendapatkan apa yang harusnya dia dapat dari seorang Ibu pada diri Somaly. Kejadian ini mengingatkan kita pada sebuah adigium yang mengatakan bahwa kadang kala persaudaraan itu bukan berkaitan dengan darah, tetapi berkaitan dengan cinta.

Hal yang sangat menarik adalah ketika dilihat dalam perspektif budaya komunikasi yang menjadikan Somaly sebagai orang yang dipercaya para korban. Masyarakat Kamboja adalah masyarakar tertutup. Membicarakan kesusahan dan malapetaka yang menimpa diri kepada orang lain hanyalah membuka aib diri sendiri dan membuka pintu malapetaka berikutnya. Somaly tidak pernah mengatakan kepada orang tua angkatnya bila pada umur 9 tahun dia sudah diperkosa oleh seorang pedagang Cina untuk menebus hutang kakeknya. Begitu juga yang dialami anak-anak korban pemerkosaan

Tetapi karena Somaly korban dan merasakan betul pahit getir prostitusi anak, maka tanpa bicara dia bisa merasakan apa yang dirasakan para korban. Somaly tidak perlu lagi berbicara dan berceramah, cukup memegang tangan dan memeluk, setiap korban prostitusi seks langsung percaya kepada Somaly. Sepertinya komunikasi antar hati inilah yang kemudian menjadikan Somaly dan para korban bisa bersama-sama menjalani perjalanan hidup mereka yang getir itu.

Meskipun Somaly menggugat orang tua yang rela mengorbankan anaknya serta budaya patriarkhi yang menindas anak perempuan, pada akhirnya Somaly menyadari kalau itu adalah produk konflik yang terjadi di negaranya. Kamboja sekian lama jatuh pada konflik yang berkepanjangan. Kepedihan yang ada menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang hidup berasaskan saling percaya dan kebersamaan. Pada era konflik, memperhatikan kehidupan tetangga adalah musibah. Seperti ada kecelakaan kendaraan di jalan raya, maka jalan yang terbaik adalah tidak menolong korban. Karena bila kita menolong, maka kitalah yang akan ketiban sial menjadi tersangka ataupun terbebani

Hal selanjutnya kita akan menemukan cerita khas aparat penegak hukum dunia ketiga yang korup. Berkongkalingkong dengan hakim, para pemerkosa yang diajukan ke pengadilan oleh Somaly bisa divonis bebas. Pada akhirnya Somaly bisa mendapat bantuan dari teman-temannya di pemerintahan dan kepolisian untuk mengadili para pemerkosa. Itupun hanya 5% dari total 3000 kasus yang dia ajukan ke pengadilan.

Hal yang menganggu Somaly adalah ketika pertanyaan teologis mampir ke kepalanya. Seorang korban bertanya kepada Somaly tentang keberadaan Tuhan yang maha kuasa tapi membiarkan dia dalam penderitaan yang sangat hebat. Hal yang sama juga diungkap Somaly yang mempertanyakan tentang orang-orang yang rajin berdoa ke vihara bersama dia dan pada saat bersamaan menjadi pelaku pemerkosaan.

Saya tidak menjadi atheis ataupun meragukan keadilan Allah setelah membaca memoar Somaly, tetapi jujur saja, saya masih mencari sisi keadilan Allah pada kasus Somaly. Semoga cepat ditemukan.

No comments:

Post a Comment