Tuesday, 24 May 2011

Menghadapi Gerakan Sosial Boikot Pajak




Bandung, 31 Maret 2010

Tindakan Gayusmenimbulkan kemarahan dan kerepotan berbagai pihak. Kepolisian yang baru saja mendapat applaus karena sukses menangkap gerombolan teroris, kembali menghadapi tekanan publik sebagaimana kasus Cicak Buaya dulu. Kejaksaan yang belum rehat setelah menghadapi tudingan publik pada kasus Anggodo, kembali mendapat cibiran publik atas perilaku jaksanya yang membiarkan Gayus di vonis bebas di PN Tanggerang.

Sementara itu Menkeu Sri Mulyani geram bukan main. Kerja kerasnya mereformasi Depkeu dengan remunerasi, perbaikan system, pengetatan pengawasan seolah tidak berbekas. Berbagai macam instruksi dan pemeriksaan terhadap pegawa pajak pun digelar. Yang paling marah tentunya wajib pajak. Hasil kerja kerasnya ternyata hanya untuk memperkaya pegawai pajaknya.

Bila diurai dalam sebuah siklus waktu keseharian, yang terjadi adalah sbb; Ketika kita mendapat uang, seketika kita dihadang Pajak Penghasilan (PPh). Ketika pendapatan yang baru dipotong itu kita bawa ke Bank untuk disimpan sebagian, kita mesti sudah bersiap adanya Pajak Bunga Bank. Ketika uang dibawa pulang untuk kemudian membayar berbagai macam surat tagihan bulanan yang datang ke rumah, mulai dari tagihan PDAM, listrik, pulsa, telepon rumah, didalam tagihan selalu ada peringatan kalau jumlah tersebut belum ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10%. Malamnya ketika bersama keluarga pergi ke supermarket membeli kebutuhan harian, selalu tercantum adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang mesti kita bayar dari setiap kebutuhan yang kita beli. Bahkan ketika kita kembali pulang untuk istirahat dan melihat rumah, kita sudah diintimidasi adanya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Diluar berbagai macam pajak yang sudah disebutkan diatas, ada jenis pajak lain yang belum diungkap. Ada pajak negara meliputi ; Pajak penjualan barang mewah, Pajak bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Bea Masuk dan Cukai. Adapun pajak daerah; Pajak kendaraan bermotor, pajak reklame, pajak radio

Karena hasil kerja keras dan keseharian kita sudah dipenuhi pajak, ketika ada informasi kalau pajak itu ditilep oleh petugas pajaknya sendiri, publik memberikan respon keras. Penemuan terakhir bidang tekhnologi informasi dan komunikasi berupa terbentuknya situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter, memungkinkan masyarakat untuk bisa meningkatkan lebih jauh kadar kegeramannya atas kejadian ini. Masyarakat dunia maya memobilisasi sebuah group yang menyatakan menolak pajak karena hanya untuk memperkaya pejabatnya saja.

Pemerintah tidak boleh meremehkan Gerakan sosial para facebooker ini. Mesti ada sebuah tindakan simpatik menghadapi gerakan ini. Setidaknya ada tiga alasan bagi pemerintah tidak menganggap remeh gerakan ini. Pertama, pengalaman sebelumnya dalam kasus perseteruan Cicak Buaya. Facebooker selain aktif di dunia maya, juga serentak turun ke jalan. Kejadian adalah gerakan koin peduli prita yang digagas di dunia maya, menjadi sebuah gerakan sosial yang massal di dunia nyata. Gerakan yang menyatakan dukungan pada Prita yang tertindas oleh konspirasi para Jaksa dan institusi kapital.

Kedua adalah kemampuan situs jejaring sosial untuk melipatgandakan dukungan dalam waktu singkat dan dalam jumlah besar. Terlebih media elektronik dan cetak yang juga memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kasus ini. Ketiga adalah kharakter para pengguna situs jejaring sosial yang relatif sudah mapan secara ekonomis dan well informed.

Menghadapi Gerakan Sosial Facebooker

Lalu bagaimanakah menghadapi gerakan sosial boikot pajak ini?

Starting point yang mesti menjadi bahan perhatian adalah bahwa meski facebooker menggunakan frasa “Gerakan Boikot Pajak” pada dasarnya adalah sebuah sikap, bukan perilaku. Facebooker baru menyatakan sikap mereka terhadap penyimpangan pajak oleh oknum pegawai pajak.

Menurut pakar psikologi seperti Lous Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowitz, 1972). Jadi apa yang diungkap oleh para facebooker barulah sebatas penilaian terhadap fenomena yang ada, belum menyatakan prilaku mereka untuk tidak membayar pajak.

Kajian psikologi sendiri menunjukan tidak selalu konsistennya antara sikap dan perilaku. Dari tiga postulat tentang hubungan antara sikap dan perilaku, hanya satu postulat yang menyatakan konsistensi antara sikap dan perilaku. Dua yang lain menyatakan tidak konsisten dan situasional

Adalah studi klasik LaPierre (1934) yang mengrim surat kepada banyak pemilik hotel dan restoran di seluruh Amerika Serikat menanyakan apakah mereka mau menerima tamu orang Cina. Hasilnya 91% mengataka “Tidak” dan sisanya mengatakan “Belum tentu”. Lalu LaPierre dengan sepasang suami istri Cina keliling Amerika sejauh kurang lebih 16000 km mendatangi 250 restoran dan hotel tersebut. Ternyata dari kesemua kunjungannya itu, LaPierre dan kedua orang Cina tersebut hanya mengalami penolakan sekali saja.

Sementara Allen, Guy dan Edgley (1980) berpendapat bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti norma-norma, peranan, keanggotaan kelompok, kebudayaan dan lain sebagainya. Sehingga sejauhmana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi yang lain.

Maka yang harus dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah mencegah sikap tersebut berujung kepada perilaku. Mencegah gerakan sosial boikot pajak menjadi perilaku tidak membayar pajak
Menurut Kelman (1958, dalam Brigham, 1991) setidaknya ada tiga proses sosial yang berperanan dalam proses perubahan sikap, yaitu kesediaan (compliance), identifikasi (identification), dan internalisasi (internalization). Kesediaan terjadi ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang atau kelompok lain karena berharap memperoleh tanggapan positif seperti dukungan dan simpati.

Adapun identifikasi adalah proses ketika seseorang meniru perilaku atau sikap seseorang atau kelompok lain karena sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bentuk hubungan menyenangkan antara dia dengan fihak lain. Sementara internalisasi terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang ia percayai dan sesuai dengan sistem nilai yang dimaksud.

Memenuhi aspek kesediaan, pemerintah harus memberikan respon positif terhadap gerakan sosial facebooker. Apresiasi dan penjelasan terhadap kasus ini mesti terus dilakukan. Tentunya jawaban-jawaban yang diberikan tidak cukup hanya berupa penjelasa verbal berupa pers confrence, press release, tetapi juga dalam bentuk tindakan konkrit.

Apa yang dilakukan Mentri Keuangan dengan memeriksa dan memberhentikan sementara atasan Gayus di Dirjen Pajak patut mendapat apresiasi. Terlebih ketika Menkeu menginstruksikan pemeriksaan SPT para petguas pajak dan mengapresiasi keinginan banyak orang untuk memonitor gaya hidup para pegawai pajak.

Lebih jauh dari itu, Departemen Keuangan pada dasarnya bisa membuat terobosan lebih jauh dalam berkomunikasi dengan facebooker. Misalnya adalah menggelar jumpa facebooker menjelaskan semua permasalahan. Tindakan ini akan mempertegas para facebooker bahwa pemerintah apresiatif dengan keresahan facebooker.

Dalam aspek identifikasi, perlu dipikirkan berkomunikasi dengan publik dengan menggunakan publik figure. Karena gerakan kali ini berkaitan dengan pajak, maka ada baiknya mencari figur-figur para wajib pajak yang sukses di tengah masyarakat. Ketua gabungan pengusaha, publik figur yang dikenal taat pajak bisa digandeng untuk meredam gerakan sosial ini.

Pada aspek internalisasi, perlu dikreasikan kembali susunan pesan yang akan dibicarakan kepada publik. Publik mesti diingatkan kembali tujuan pajak sebagai usaha untuk memakmurkan masyarakat. Mengungkapkan hal ini jauh lebih baik daripada menggambar-gemborkan adanya ancaman pidana terhadap pemboikot pajak.

Membiarkan dan menganggap remeh gerakan sosial para facebooker, hanyalah sebuah pintu masuk terjadinya konsistensi antara sikap dan perilaku. Gerakan sosial yang baru sebatas sikap, akan menjadi sebuah perilaku nyata bila tidak ditangani secara baik dan profesional. Bila hal ini terjadi, tidak hanya pemerintah yang merugi, masyarakat banyak juga menjadi rugi

No comments:

Post a Comment