Sebuah bom buku meledak di kompleks komunitas Utan Kayu. Bom yang sedianya ditujukan bagi mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla, justru memakan korban beberapa petugas kemanan dan seorang office boy. Dalam waktu tidak cukup lama, dua bom beruntun mengancam kantor BNN dan kediaman Yapto Soerjosoemarno, ketua Pemuda Pancasila. Esoknya dilanjutkan dengan penemuan bom buku di rumah artist kondang Ahmad Dhani
Ketika bom di Utan Kayu meledak, dua dugaan muncul. Dugaan pertama menilai pelakunya adalah para teroris. Meskipun hanya menggunakan low eksplosif, tetapi pola dan objeknya sama. Sementara dugaan lain menilai politis. Ancaman bom, utamanya bom yang ditujukan ke Utan Kayu, sarat muatan politik. Ulil sendiri dalam beberapa kesempatan menyatakan motif politik bom ini sangat kuat. Datang ketika dia aktif di dunia politik dan bersuara dalam beberapa isu sensitif seperti reshuffle. Sementara ketika dia lama berkecimpung dalam dunia pemikiran islam dan menjadi Koordinator JIL, dia tidak pernah mendapatkan ancaman seperti ini.
Pendapat Ulil ini tentunya tidak hanya merupakan “tuduhan terselebung” terhadap partai tertentu, tetapi juga berimplikasi sangat penting akan bagaimana seharusnya menyikapi kejadian ini. Karena hal yang penting dari setiap kejadian bukanlah kejadiannya itu sendiri, tapi cara pandang dan perlakuan kita terhadap setiap kejadian yang ada.
Bom Teroris
Sulit untuk mengatakan bila bom untuk Ulil, dan ketiga bom lainnya, tidak berkaitan dengan aksi teroris. Selain melihat pada pola kekerasan dan ancaman, objek pengiriman bom itu adalah orang-orang yang selama ini sangat dibenci dan erat kaitan dengan pelaku teror. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa diajukan untuk memperkuat argumen ini.
Pertama citra diri Ulil. Meskipun Ulil saat ini adalah politisi, tetapi citra Ulil adalah JIL yang bagi kalangan Islam garis keras dianggap telah menodai ajaran Agama Islam. Ulil adalah pemimpin JIL masa awal yang sangat aktif menyuarakan tema-tema yang bertentangan dengan pemahaman kelompok Islam garis keras. Ulil adalah JIL dan JIL adalah Ulil. Begitu kira-kira citranya. Kedua adalah tiga rentetan berikutnya yang ditujukan kepada Gorries Mere, Yapto dan Ahmad Dhani. Yapto mungkin memiliki afiliasi politik, tetapi itu pun dengan partai gurem yang tidak signifikan. Sementara Gorries Mere dan Ahmad Dhani bukanlah para politisi.
Ketiga track record Gorries Mere, Yapto dan Ahmad Dhani. Gorries Mere meskipun jabatannya adalah kepala BNN, tetapi Gorries adalah mantan pemimpin Densus 88. Gorries disebut-sebut sering melakukan penyiksaan terhadap teroris yang ditahan. Karena tugasnya, Gorries sering disebut sebagai seorang fanatik yang sangat benci terhadap Islam.
Sementara Yapto adalah ketua Pemuda Pancasila. Pancasila adalah tema yang selalu menjadi olok-olokan dan ejekan kalangan Islam garis keras. Pancasila tidak hanya dianggap sebagai sumber pemahaman yang keliru dan menyesatkan, tetapi juga dianggap sangat lemah tidak sebanding dengan Quran dan Sunnah yang mestinya menjadi pegangan. Adapun Ahmad Dhani disinyalir tidak jauh berbeda dengan Yapto yang disinyalir punya garis keturunan terhadap ras yang sangat dibenci oleh sebagian kalangan
Keempat dinamika politik Indonesia. Saat ini para politisi kita memang mempunyai penyakit akut; politisi nir prinsip. Iklim politik transaksional mendidik para politisi untuk tidak hitam putih melihat setiap lawan politik. Lawan politik hari ini, bisa menjadi mitra politik esok hari, begitu juga sebaliknya. Seperti mitra politik, lawan politik sama-sama bisa dimanfaatkan. Mengirim bom bukanlah pola dinamika politik politisi senayan.
Selain itu dunia politik kita bukan sekali kemarin diriuhkan dengan perdebatan panas seperti isu reshuffle. Dunia politik kita sudah cukup ramai dengan perdebatan panas seperti kasus century, hak angket pajak, cicak-buaya dan lain sebagainya. Selama itu juga kita tidak melihat adanya aksi teror terhadap para politisi. Umur dinamika politik kita, berbanding terbalik dengan umur aktivitas Ulil di dunia politik.
Saatnya Evaluasi
Pada dasarnya diantara hal terpenting dari kasus ini bukan hanya tentang jumlah korban, motif ataupun perpindahan pola kekerasan, tetapi adalah fenomena kekerasan yang tidak berhenti. Gerakan teror seperti berbanding lurus dengan usaha kita memerangi aksi teror. Pada titik inilah kita kemudian mesti mengevaluasi diri terhadap seluruh format gerakan dalam memerangi aksi teror
Meskipun JIL dan Densus 88 tidak pernah berkoordinasi, tetapi keduanya mempunyai kesamaan pandangan untuk memerangi gerakan agama yang menggunakan teror. Perbedaannya adalah bila yang satu merupakan gerakan intelektual, maka yang kedua adalah tindakan law enforcement. Bila JIL lebih membidik perubahan cara pikir dengan mengintrodusir wacana-wacana keagamaan yang menyangkal asumsi-asumsi dasar pemikiran radikal keagamaan, yang kedua lebih kepada tindakan fisik refresif terhadap pelaku teror.
Asumsi dasar yang sangat menonjol dan perlu dievaluasi dari JIL, Densus 88 juga gerakan-gerakan lain yang melakukan perang terhadap gerakan fundamentalisme dan teror, adalah ketika mereka menempatkan pelaku teror sebagai aktor aktif bukan sebagai korban keadaan. Karena menempatkan pelaku teror sebagai seorang subjek, maka tindakan kekerasan dan merendahkan menjadi sesuatu yang sangat lumrah.
Pada sisi yang sangat substansial, kita mesti menempatkan aktor-aktor teror sebagai korban keadaan. Seperti yang diungkapkan Desmond Tutu, You can never win a war against terror as long as there are conditions in the world that make people desperate -poverty, disease, etc Selalunya pelaku teror datang dari masyarakat yang termarginalkan secara ekonomi. Kemiskinan struktural selain menimbulkan dendam struktural, juga membuat membuat orang berada dalam kehidupan minim informasi. Terlebih ketika keadaan ini bertautan dengan person yang memiliki kapasitas intelegensi mapan. Alih-alih menggunakan kapasitas intelegensi sebagai modal memperbaiki kualitas hidup, tetapi malah dipakai untuk menjalankan gerakan idiologi perlawanan dengan pola destruktif
Hal lain yang mendesak dievaluasi adalah aspek perilaku dari semua fihak yang berkaitan untuk memerangi gerakan anti teror. Karena dalam banyak hal tindakan setiap orang sering lahir dari sebuah kebencian bukan pemikiran rasional. Kebencian yang lahir karena informasi yang memadai dan menemukan puncaknya ketika melihat orang yang dibenci menunjukan tindakan antipati, meremehkan dan merendahkan mereka. Mengatakan bahwasannya saya tidak terpengaruh oleh aksi bom dan akan beraktivitas seperti biasa, hanya akan memancing tindakan teror lebih besar ketimbang menunjukan ketegaran dan kehebatan diri.
Program besar memerangi aksi kekerasan membutuhkan serial program dengan multi perspektif. Merombak cara pandang dan cara sikap kita terhadap perilaku teror menjadi sesuatu yang sangat penting. Dari cara pandang dan cara sikap inilah kemudian kita bisa menemukan formulasi baru dalam usaha memerangi aksi teror
.
No comments:
Post a Comment