Ketika Presiden mengurai visi, mentri memaparkan strategi, politisi menyatakan komitmennya, pengacara gigih membela kliennya dan para aktivis berkoar sedang menyelamatkan negeri ini, publik kompak menjawab dengan satu suara; Cuma retorika. Retorika sudah mati dan pembunuhnya adalah orang yang hidup dan berkepentingan dengan retorika. Padahal hakikat retorika tidak seperti yang ditunjukan dan dipersepsi publik.
Adalah Aristoteles dalam bukunya “Rhetoric” mengurai makna retorika sesungguhnya. Bagi Aristoteles logika formal dan moral adalah dasar setiap public speaking. Orang yang mempelajari retorika harus mampu mengemukakan sesuatu yang benar, karena kebenaran adalah landasan retorika yang sejati
Bila seseorang beretorika, dia mesti memiliki ethos, pathos dan logos. Ethos adalah kesadaran moral sebagai pribadi yang bisa dipercaya. Pathos adalah emosi yang terlihat dari setiap paparan dan logos adalah kemampuan berargumen logis mencakup kejelian penalaran dengan tata bahasa akurat. Sementara bagi Plato negarawan yang ingin sukses berpolitik haruslah memahami dan terampil retorika. Retorika amat penting sebagai metode pendidikan, alat mencapai kedudukan dan mempengaruhi orang (Bachtiar Aly, 1994;16-17)
Jelas retorika adalah kemampuan agung. Orator yang baik adalah orang yang memewartakan kejadian sesungguhnya, mengerti kondisi psikologis publik dan menjabarkan semua argumen secara jernih dan rasional. Maka ketika Plato mengatakan seorang politisi harus mengusai retorika, politisi yang dimaksud adalah mereka yang bisa menunjukan diri sebagai orang yang dipercaya, peka kondisi masyarakat, dan terbiasa beragumen logis.
Tetapi fundamen yang dibangun Aristoteles dan Plato dicemari kaum sophist. Meskipun asal kata sophist adalah sophos yang berarti cerdik pandai karena mereka ahli dalam ilmu bahasa, filsafat, politik dan ilmu lainnya, tetapi publik menyebut sophist sebagai orang pandai bersilat lidah dan memainkan kata-kata untuk menipu orang lain demi keuntungan diri sendiri.
Kaum sophist hadir memenuhi panggilan penguasa yang membutuhkan agitator untuk melebarkan kekuasaannya. Mereka berusaha mempengaruhi pendapat umum dengan logika-logika tidak sah. Kaum sophist juga hadir karena masyarakat Yunani sedang membutuhkan orang yang mahir berbicara untuk membela diri di pengadilan, menjadi usahawan dan politikus sukses. Sophist dianggap memanipulasi ilmu pengatahuan untuk mendapatkan uang dan emas warga Athena yang kaya raya.
Tetapi Yunani terdiri dari masyarakat yang tidak mau begitu saja disesaki oleh logika-logika menyesatkan. Masyarakat Yunani kritis dan rajin mendiskusikan wacana publik yang sedang berkembang. Memfasilitasi kebiasaan ini, maka orang Yunani pun mendirikan Agora. Tempat pertemuan dimana segala peristiwa yang meyangkut perhatian dan kepentingan umum dibicarakan (Bachtiar Aly, 1994:13)
Munculnya kaum pragmatis ini bukannya tidak diantisipasi Plato dan Aristoteles. Plato melalui sekolah akademia menentang tindakan pragmatis shopist. Plato menekankan bahwa retorika selalu berhubungan yang berhubungan dengan kebenaran dan moral. Adapun Aristoteles melalui sekolah Lykeion menekankan pentingnya pembinaan karakter sebagai komponen esensial etos.
Dikeliling Kaum Sophist
Saat ini kita seperti sedang dikeliling para sophist. Ada politisi yang tidak memiliki ethos, amanah, sehingga begitu mudah meralat dan mencabut pernyataan terdahulu. Ada pejabat yang absen menyertakan unsur pathos dan membicarakan kesejahteraan diri dikala masyarakat berada dalam kesulitan ekonomi. Ada juga ketua organisasi publik yang tidak mempunyai unsur logos,sehingga pembicaraannya hanya menimbulkan sinisme publik.
Tetapi seperti juga Aristoteles, Plato dan masyarakat Yunani yang terus melawan fenomena ini, kitapun harus melawan dan kita sudah mempunyai modal untuk itu. Bila Aristo dan Plato mendirikan lembaga pendidikan, maka kita mempunyai banyak lembaga pendidikan komunikasi yang mesti kita ingatkan untuk tidak alpa menanamkan integritas moral terhadap anak didiknya.
Bila di Yunani ada Agora yang memfasilitasi diskusi publik, kita masih mempunyai media yang memberikan akses pada publik. Hasilnya sudah mulai terlihat. Institusi penegakan hukum yang menyembunyikan aktivitas paleserian Gayus bisa terbongkar hanya karena surat pembaca. Juga institusi layanan kesehatan masyarakat yang mengaku berkaliber internasional, tetapi tidak bertanggung jawab terhadap pasiennya. Inipun terbongkar hanya oleh sebuah pesan berantai di mailing list. Terlebih kita juga masih memiliki kelompok-kelompok masyarakat yang rela maju ke depan mengorbankan segalanya untuk menyuarakan nurani publik.
Menghapuskan ucapan kaum sophist dari langit Indonesia adalah sesuatu yang tidak mungkin. Tetapi kita punya modal dan mesti bergerak menetralisir ucapan kaum sophist. Selanjutnya biarkan publik menilai sendiri mana yang sesungguhnya retorika dan mana yang bukan
No comments:
Post a Comment