Tuesday, 24 May 2011

Berkumpul Tapi Tidak Bersatu


Ketika terjadi konflik dan perbedaan pendapat, berkumpul atau mengumpulkan semua fihak selalu menjadi solusi. Berkumpul atau mengumpulkan selalu diyakini sebagai cara mempertemukan semua fihak yang memiliki kepentingan berbeda, untuk bisa tetap berjalan bersama. Setidaknya hal ini juga ditunjukan oleh Presiden dan para elite politik.

Awal pemerintahan SBY-Boediono dimulai dengan mengumpulkan representasi kepentingan parpol dalam kabinet yang dikenal dengan kabinet pelangi. SBY sulit mengatakan kabinet kali ini berdasar kompetensi, karena representasi partai jauh lebih kuat dibanding profesionalisme. Fit and Propper Test, dianggap sebagai politik pencitraan semata. Peristiwa politik selanjutnya ditandai dengan terbentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab), kumpulan partai koalisi penyokong pemerintahan Selanjutnya menyikapi kisruh mafia hukum dan pajak, dibentuklah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Kumpulan para penegak hukum beranggotakan beberapa komponen penegak hukum meliputi pemerintah dan masyarakat.

Tetapi entah karena alpa, tidak tuntas ataupun sengaja karena semua hanya didesign sebagai politik pencitraan, tim gabungan alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada justru menimbulkan masalah baru dan menimbulkan kepercayaan publik.

Pada dasarnya keberhasilan sebuah kelompok yang terdiri dari berbagai macam kepentingan bisa diukur dari aspek produktivitas dan moralitas. Dalam aspek produktivitas bisa dilihat sampai sejauhmana targetan pekerjaan bisa dicapai. Sedangkan secara moral, kesuksesan sebuah kelompok bisa dilihat sampai sejauh mana publik bisa dipuaskan dari seluruh hasil kerja yang telah dilakukan.

Kabinet pelangi yang berjanji bekerja solid dan all out dihadang permasalahan mendasar dalam bekerja; koordinasi dan komunikasi. Meskipun telah dilaksanakan summit berskala besar-besaran juga rapat koordinasi nasional, hasil dari usaha penyamaan visi ini belum terlihat sampai sekarang. Penganiayaan TKI terus terjadi, penanganan bencana tidak ada perubahan signifikan, diplomasi luar negeri mendatangkan rasa malu dan kemiskinan pun hanya berubah definisi bukan kondisi

Kumpulan elite di Sekretariat Gabungan tidak jauh berbeda. Bertujuan menyelesaikan seluruh “sengketa politik”, Setgab justru menciptakan sengketa baru. Ide pembentukan poros partai tengah dalam Setgab bagaimanapun bukan saja lahir dari marginalisasi peran antar komponen partai pendukung, tetapi juga menunjukan bagaimana pengelolaan konflik kelompok dalam Setgab itu sendiri. Begitu juga Satgas pemberantasan mafia hukum. Anggota Satgas dari unsur kepolisian menyatakan keluar dari Satgas karena tersinggung dengan ucapan salah seorang anggota Satgas. Unsur kejaksaan digugat karena menunjukan adanya keseteraan perwakilan kelompok. Lebih jauh lagi, Satgas sekarang menjadi poros baru pusat konfllik kekuasaan

Perkumpulan Minus Loyalitas

Sia-sianya usaha mengatasi masalah dengan pendekatan “perkumpulan’ pada dasarnya terletak dari logika dasar “perkumpulan” yang dilupakan. Presiden dan para elite bersusah payah mengumpulkan seluruh kepentingan tetapi dengan melupakan hal mendasar adanya sebuah perkumpulan itu sendiri; persatuan. Problem mendasar inilah yang terlihat jelas oleh publik; adanya perkumpulan tanpa persatuan.

Sebuah perkumpulan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kerumunan. Ada lebih dari tiga orang yang duduk bersama dengan tujuan masing-masing dan tidak mendialogkan tujuan bersama. Semua berjalan sesuai dengan tujuan masing-masing bukan tujuan bersama. Ketika tujuan bersama diungkap dan disepakati, itu pun hanya dalam tataran yang sangat semu sekedar untuk penghormatan ataupun menjaga tujuan sendiri bisa tetap terfasilitasi.

Hal mendasar penyebab terjadinya pola perkumpulan seperti diatas adalah absennya kohesivitas diantara anggota kelompok tersebut. Dalam studi komunikasi, kohesivitas adalah istilah yang merujuk kepada loyalitas seseorang kepada kelompok yang diikutinya. Mengutip Ernest dan Nancy Bormann dalam tulisan berjudul Effective Small Group Communication Rubben menyimpulkan bahwa intisari dari konsep kohesivitas adalah seperti terefleksikan dalam moto Alexander Duma’s Three Musketters “All for one and one for all” (Rubben, 1998:292)

Ketidakjelasan loyalitas dalam konteks perpolitikan di Indonesia bisa jadi berpangkal pada sistem politik yang berjalan. Sistem presidensiil dengan pola multi partai menyebabkan para pembantu presiden pun terpaksa mengenyahkan monoloyalitas, menampilkan multi loyalitas. Loyalitas kepada presiden di satu sisi dan loyalitas kepada partai disisi lain. Himbauan dan pengingatan bahwasannya mereka pada saat sekarang sudah menjadi pembantu presiden menjadi sangat hambar karena yang menentukan kelayakan seseorang menjadi pembantu presiden adalah partai itu sendiri, bukan presiden.

Dalam kondisi seperti ini tidak adalagi istilah “All for one, one for All” yang ada dan menjadi pegangan masing adalah “All for me and me for All”. Di satu sisi menegaskan watak eksploitatif dari setiap orang karena adanya tujuan sendiri yang tidak terkoordinasikan dengan tujuan kelompok, di sisi lain terlihat adanya watak narisisitas untuk melanggengkan kekuasaan.

Pembenahan sistem tentunya akan memakan waktu yang sangat panjang. Dibutuhkan kajian, konsensus, kesepakatan, keputusan sampai implementasi dan evaluasi untuk menetapkan sebuah sistem baru yang menjadi aturan main bersama. Sementara kita menunggu waktu, permasalahan menunggu kita.

Dalam kondisi chaotic seperti ini sebetulnya bisa diselesaikan dengan bersandar pada leadership. Presiden sebagai pucuk pimpinan nasional bisa membuat terobosan dalam menciptakan monoloyalitas berupa ketegasan dan dan kejelasan dalam memimpin. Pemakaian beberapa hak perogratif presiden seperti penentuan komposisi kabinet, pengambilan keputusan dalam setiap urusan vital pemerintahan mestilah dilakukan dengan penuh kekuatan tanpa ragu.

Meskipun pada titik ini yang menjadi problem kepemimpinan nasional, keragu-raguan dalam memimpin dan mengambil keputusan, tetapi pada dasarnya pemerintah yang berkuasa bisa melewati hal itu. setidaknya pemerintahan terpilih mempunyai modal yang sangat kuat untuk melakukan itu; legitimasi publik yang tercermin dari pilpres presiden wakil presiden  yang berlangsung satu putaran serta dukungan partai koalisi yang sangat dominan di parlemen.

Tentunya kita sangat berharap dan mesti yakin bila kumpulan minus mono loyalitas dan minus persatuan yang sedang memimpin kita ini bisa diatasi oleh kepemimpinan nasional. Karena bila kondisi ini tidak tercapai, maka Indonesia hanya akan terus menerus diisi dengan kebisingan dengan kegaduhan yang melelahkan dan menjemukan bukan wacana publik yang mencerdaskan dan mencerahkan.


No comments:

Post a Comment