Monday, 23 May 2011

Dendam Terhadap Yahudi



Ini tulisan dari orang yang hanya memperhatikan berita insiden internasional penyerangan misi kemanusian kapal Mavi Marmara oleh Israel. Tetapi tidak mengerti bagaimana diplomasi internasional itu bagaimana. Tulisan orang yang pernah baca-baca tafsir quran, hadits serta menghapal keduanya. Tetapi karena kelalaian, rekaman di kepala dua teks suci itu banyak yang lompat keluar kepala.

Jadi jangan tanya detail posisi ayat dalam alquran yang dinukilkan, sanad (riwayat) dan matan (teks) haditsnya atau detail artikel yang dibaca. Saya hanya mengandalkan kepercayaan saja kalau yang saya nukilkan memang benar-benar alquran, hadits dan artikel yang saya baca. Kalau saudara tidak percaya, tinggalkan saja. No problem

Premis utamanya; saya muslim. Makna Islam adalah berserah atau keselamatan. Berserah adalah pengakuan adanya yang maha tinggi tempat dimana kita menyerahkan semua yang kita lakukan. Keselamatan bermakna bahwa bila memahami dan menjalani agama ini secara benar dan konsisten, maka keselamatan adalah milik kita baik di dunia maupun hari nanti.

Premis lanjutannya adalah tujuan Allah, yang dinyatakan dalam Al Quran, bahwa penciptaan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah supaya manusia itu saling mengenal. Supaya terjadi proses interaksi, berbagi, share informasi sehingga menghasilkan kerjasama dan formula baru dalam menghadapi persoalan hidup. Tidak ada keunggulan total sebuah kelompok masyarakat dibanding kelompok masyarakat lain.

Sebuah masyarakat boleh jadi unggul pada satu sisi, tetapi pasti selalu memiliki kelemahan pada sisi lain. Sehingga bila proses taaruf yang diisyaratkan Alquran terjadi, yang terjadi adalah bersatunya kelompok masyarakat yang saling menutupi kelemahan dan menyatukan kelebihan sehingga kualitasnya meningkat.

Fenomenanya adalah kekejaman Israel di Palestina. Apa yang terjadi di Palestina sudah menjadi kesadaran publik. Bila masa Orde Baru hanya sebagian kelompok masyarakat saja yang mengetahui dan peduli terhadap konflik Palestina-Israel, perkembangan massif media massa telah menjadikan isyu ini berkembang sedemikian massif menyentuh banyak kalangan. Sehingga simpati dan partisipas publik terhadap penderitaan masyarakat Palestina sudah tidak menjadi monopoli sebagian kelompok atau sub kelompok masyarakat.

Diantara partisipasi publik itu kemudian terdengar cukup jelas ungkapan kemarahan, kebencian, dendam, terhadap ras Yahudi. Kesimpulan yang muncul ke permukaan pun relatif ada kesamaan; Yahudi bangsa laknat, ras pengkhianat dari dulu sampai sekarang, layak dibunuh dan di siksa. Entah hoax atau bukan, di internet ada informasi kalau Hitler membunuh sebagian Yahudi dan membiarkan sebagian lainnya hidup supaya dunia tahu kenapa dia membantai Yahudi.

Pokoknya Israel itu bangsa yang dikutuk Tuhan sejak dia dilahirkan sampai sekarang. Sehingga jangankan di usir, di bunuh pun mereka boleh. Indonesia dijajah ratusan tahun oleh Belanda, tetapi kita tidak pernah mengatakan bahwa Belanda sebagai bangsa yang dilahirkan terkutuk, dilahirkan menjajah atau bangsa yang layak dilaknat.

Kerasnya suara kutukan, dendam serta perilaku Israel yang menjengkelkan, menjadikan dendam dan marah sebagai sebuah sifat yang melekat bila disebut nama Israel. Sehingga tidak aneh, ketika Presiden Gus Dur menyatakan akan membuat hubungan dagang dengan Israel, rencana tersebut urun dilaksanakan karena kuatnya aroma dendam dan rasional.

Padahal kalau mau diikuti lebih lanjut, gagasan Alm Gus Dur untuk membangun hubungan dengan Israel sangatlah rasional. Bagi Gus Dur sangatlah tidak mungkin Indonesia berperan besar menyelesaikan konflik Palestina-Israel bila Indonesia hanya memiliki akses ke salah satu negara saja. Indonesia mesti memiliki akses kepada keduanya sehingga dialog terjadi.

Selanjutnya yang terjadi adalah pemupukan dendam yang terus menerus di satu sisi, dan kekerasan yang tidak pernah berhenti di sisi lain. Seperti api disiram oleh minyak, dendam dan kemarahan tidak hilang oleh intimidasi dan kekerasan. Sementara Israel yang keras kepala pun tidak pernah mengurungkan kekerasannya hanya karena desakan, kecaman dan hujatan masyarakat internasional. Hujatan dan kecaman adalah makanan sehari-hari mereka.

Bila sudah seperti ini, bagaimana kemudian masalah ini akan selesai?Dimana-mana bila kedua sifat keras dan panas berhadapan, yang ada adalah kehancuran. Rumus sederhananya adalah pepatah orang Indonesia sendiri yang mengatakan kalau menang jadi abu kalah jadi arang.

Rumusannya sepertinya memang harus kembali kepada apa yang disebut agama sebagai keselamatan dan pandangan bahwa penciptaan manusia bersuku-suku dan bangsa untuk taaruf. Memasang kembali pandangan dalam kepala kita bahwasannya semua bangsa itu punya kelebihan dan kekurangan. Yahudi memang kurang ajar dan kejam, tetapi rasanya lebih tepat bila itu dikatakan itu dengan ungkapan limitatif “sebagian”.

Saya teringat hadits nabi yang mengatakan kalau dhaalim (penganiaya) dan madhlum (korban penganiayaan) sama-sama harus dikasihani. Pelaku kedholiman mestilah dikasihani karena pada dasarnya dia menyalahi kodratnya sebagai manusia untuk senantiasa rahman dan rahim kepada sesama. Madhlum terlebih lagi mesti dikasihani karena ada hak pada dirinya yang dirampas orang lain.

Karena mengasihani madhlum (bangsa Palestina) maka bantuan harus tetap kita kirimkan, do’a mesti tetap dipanjatkan dan dukungan mesti terus diteriakan. Karena mengasihani dhaalim (bangsa Israel) maka tekanan politik, kecaman, hujatan, negosiasi, diplomasi harus tetap kita lakukan karena kita tidak ingin mereka terus menerus melanggar kodratnya sebagai manusia dengan terus menerus melakukan kekerasan dan kekejian.

Dalam sebuah artikelnya di harian Seputar Indonesia, Rhenald Kasali, Guru Besar FE UI, menyebutkan kalau menurut sebuah penelitian otak orang marah itu mengkerucut menjadikan dia tidak kreatif dan cerdas keluar dari sebuah permasalahan. Saya membayangkan bila proses negosiasi, diplomasi dilandaskan pada kemarahan. Apakah yang akan terjadi bila sebuah negosiasi dan diplomasi tidak dilandaskan kecerdasan dan kreatifitas. Saya selalu meyakini kalau perjanjian para founding fathers selalu diliputi sifat arrahman dan arrahim, minimal terhadap bangsanya sendiri kalau tidak bisa terhadap lawan negosiasinya.

Tapi gak tahu lah. Ini kan orang yang memperhatikan. Orang yang juga sering marah karena amarah bukan karena kasih sayang. Orang yang tidak pernah tahu bagaimana proses negosiasi dan diplomasi itu terjadinya seperti apa dan bagaimana.

Waallahu’alam bi shawab

Bandung, Rabu 02 Juni 2010

No comments:

Post a Comment