Tuesday, 24 May 2011

Komunikasi Politik Minus Sensitivitas

Roderick Hart dalam risetnya menemukan adanya tiga jenis komunikator publik. Pertama adalah Noble Selves, orang membicarakan seluruh yang ada di pikirannya tanpa harus merasa, melihat dan menyesuaikan substansi maupun cara bicara dengan lingkungan. Kebalikannya adalah Rhetorical reflector, individu yang menaruh perhatian terhadap keinginan lingkungannya sampai dia tidak memiliki keinginan sendiri. Ketiga adalah Rhetorically Sensitivity, pembicara yang sensitif terhadap lingkungannya dan mempunyai keinginan sendiri. Bila dia mempunyai pendapat berbeda, dia selalu punya cara untuk mengutarakan pendapatnya. Dia akan selalu menyesuaikan cara bicara dengan level, mood dan kepercayaan orang lain. Rhetorically adaptive indivuals avoid rigidity in communicating with others, and they attempat to balance self-interest with the interests of others (Little John, 2001; 107)

Dalam bahasa berbeda, Aristoteles mengungkap bahwa negarawan handal dan sukses selalu menyertakan pathos dalam setiap komunikasi politiknya. Pathos adalah sisi sosio- psychologis yang muncul di setiap pembicaraan setiap pemimpin. Secara tidak langsung Aristo ingin mengatakan bahwa seorang pemimpin mestilah mengerti dan peduli terhadap apa yang terjadi pada rakyatnya. Sarannya cukup jelas; jangan membicarakan kesejahteraan diri di kala kesejahteraan masyarakat sedang terpuruk. Lebih baik membicarakan kesejahteraan bersama, atau mengajak untuk bersama-sama berusaha meraih kesejahteraan

Bila komunikasi politik tanpa sensitifitas terus dilakukan, maka yang terjadi bukan hanya kegagalan menyampaikan maksud tetapi juga hanya akan menimbulkan kemarahan dan ketidakpercayaan publik. Alih-alih memotivasi dan menjelaskan maksud, yang terjadi justru gambaran negatif pejabat publik dihadapan rakyatnya.

Berbicara diiringi sensitifitas tidak hanya cukup dengan tekhnik-tekhnik menyusun pembicaraan. Tetapi mesti dilengkapi dengan pengetahuan, pengertian dan empati terhadap kondisi publik. Bila pengetahuan, pengertian dan rasa empati hilang dalam diri seorang orator, dipastikan sensitifitas tidak akan pernah muncul dalam setiap pembicaraannya. Uraian air mata hanya akan dituding air mata buaya bila sensitifitas, yang tidak bisa diukur oleh air mata saja, absen dalam aksi komunikasi politik setiap pemimpin negara.

Saat ini sepertinya hal itulah yang sedang menjadi pandangan publik. Aksi komunikasi politik elite negeri ini jauh dari unsur sensitifitas. Dikala masyarakat sedang terpuruk ekonominya, pemerintah mewartakan tentang kenaikan gaji pejabat negara. Tidak berbeda dengan para politisi. Ketika publik menuntut penumpasan mafia hukum dan pajak, para politisi lebih tertarik untuk mempolitisasi mafia hukum dan pajak untuk proses bergaining politik.

Kita memang sedang berhadapan dengan atmosphere komunikasi politik elite yang buram dan menyesakan dada. Tetapi pada dasarnya tidak ada alasan bagi kita untuk putus asa menghadapi kondisi ini. Kita masih meyakini bahwa diantara sekian elite negeri ini, masih ada yang memiliki kepekaan nurani terhadap kondisi masyarakat. Terlebih kita masih mempunyai media yang mengabdikan diri buat masyarakat. Ditambah munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang terus menerus menyuarakan nurani mengingatkan para penguasa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi kebaikan republik tercinta ini selama kita masih terus bergerak memperbaikinya

No comments:

Post a Comment