Monday, 23 May 2011

Mau Punya Anak Berapa?



Pagi hari di dapur selepas shalat shubuh. Sementara saya nyuci piring, istri yang sedang masak iseng nanya lagi; “Jadi kita mau punya anak berapa”? Ini pertanyaan iseng tapi serius yang diungkap kesekian kalinya. Biasanya jawaban saya pun tergantung mood. Kalau lagi serius saya hitung secara cermat baiknya berapa. Tetapi kalau sedang rileks maka saya jawab juga dengan iseng. “Emang bunda mampunya berapa?” Nah kalau sudah seperti ini, maka dialognya tidak karu-karuan.

Pagi hari ini mungkin mix antara serius dan rileks. Disela-sela senyum dan ketawa saya coba menghitung-hitung kira-kira anak saya yang sudah mendekati usia 3 tahun ini mau dikasih adik berapa orang. Banyak variable yang hinggap di kepala saya untuk menjawab pertanyaan ini.

Kalau secara genetik, maka saya mesti buat anak sebanyak-banyaknya. Istri saya 9 bersaudara dan saya 10 bersaudara. Tetapi saya tidak terpikir mempunyai anak sebanyak itu. Saya meragukan kemampuan saya untuk memperhatikan dan mengkontrol tumbuh kembang anak segitu banyaknya. Apalagi saya sadar kalau istri saya bukanlah orang yang bisa saya tempatkan sebagai deputi di rumah. Istri saya punya potensi yang mesti saya berikan kesempatan dan dorong untuk berkembang sehingga rumah adalah bagian dari kehidupannya.

Beberapa waktu lalu saya baca sebuah artikel di Kompas yang menyebutkan kalau tumbuh kembang dan kebahagian anak salah satunya dipengaruhi oleh kuantitas pertemuan dengan ayahnya. Semakin banyak kuantitas pertemuan ayah dan anak, semakin baik tumbuh kembang anak. Kemarin saya seolah mendapatkan penguatan artikel Kompas itu. Saya membaca tuntas laporan khusus Majalah Tempo tentang kehidupan K.H Wahid Hasyim. Putra K.H Hasyim Asy’ari pendiri NU, ayahanda Gus Dur, dan Mentri Agama priode awal.

Dari hasil investigasi Tempo disebutkan kalau Alm K.H Wahid Hasyim, sangatlah dekat dengan anak-anaknya terutama anak pertama Abdurrahman Ad Dachil atau yang biasa kita kenal dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Setiap pagi K.H Wahid Hasyim disela kesibukannya sebagai tokoh masyarakat, mentri agama, aktivis politik zaman kemerdekaan, selalu menyempatkan diri untuk bisa mengantar anak-anaknya ke sekolah dan memantau tidur siang anaknya. Sekarang siapapun kalau memperhatikan keluarga Hasyim ini, pasti orang sangat iri dan kagum akan kesuksesan mereka.

Kalau variablenya anjuran pemerintah untuk ber KB, saya pikir sayang juga yah. Seorang teman pernah mengeluh karena dia hanya akan punya anak satu saja. Pasalnya adalah karena dia menikah dan mempunyai anak pertama diatas umur 30 tahun. Menurut info yang dia dapat, kalau dia melahirkan lagi, maka anak yang lahir akan rentan tumbuh kembangnya. Sementara saya dan istri termasuk orang beruntung, menikah pada umur umur yang tidak terlalu muda juga tidak terlalu tua. Jadi masih punya kesempatan berproduksi sangat banyak. Lagian katanya kita menikah itu bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan psychologis dan biologis, tetapi juga kewajiban membangun generasi

Kalau istri saya sendiri katanya pingin punya lebih dari dua anak. Katanya biar nanti kita mempunyai anak dengan kemampuan dan profesi yang berbeda. Mulai dari seniman, dosen, birokrat, militer sampai dengan kyai.

Selesai nyuci piring saya pindah ke ruang tv. Di karpet tergeletak katalog LSE (London School Of Ecnomics and Political Science) yang belum sempat dibereskan. Melihat itu saya jawab pertanyaan istri saya “Bagaimana kalau kita punya anak 5 orang saja?’. “Kenapa 5 orang?” istri saya nanya balik

“Kita sesuaikan dengan jumlah benua. Jadi nanti kita sekolahkan anak-anak kita di masing-masing benua. Nanti ada yang sekolah di Benua Eropa (Cambridge, LSE atau Sorbonne), benua Amerika (MIT, Yale, Stanford), benua Afrika (Al-Azhar, Kairo-Mesir) benua Asia (Jepang), dan Australia (ANU)” Jawab saya.

Sambil senyum istri saya menjawab “Bisa juga. Tapi kan jumlah benua ada 6, kalau yang di benua Antartika mau disekolahkan dimana?”. Ups, saya nyengir dapat jawaban istri. Pengetahuan geographi saya memang jeblok sampai-sampai tidak tahu kalau jumlah benua itu ada 6.

Belum sempat saya jawab, istri saya menyahut lagi “Nanti siang kita ke Fathia, katanya pendaftaran sudah buka. Si Ade sudah saatnya masuk Play Group, gak bisa di Taman Penitipan Anak lagi. Juni ini umurnya masuk 3 tahun”. Di belakang komplek rumah ada sekolah alam. Namanya Fathia Islamic School, untuk Play Group, TK dan SD. Beberapa teman merekomendasikan sekolah itu.

“Ok. Oya, disana berapa sih pendaftaran dan SPP buat Play Group?” tanya saya. “Katanya sih pendaftaran 4 juta, SPP 200 ribuan/bulan. Sudah ada duitnya belum”? Istri saya balik nanya sambil senyum. Sambil nyengir saya jawab “Duitnya sih sudah ada, tapi belum masuk rekening dan belum ada di dompet. Mesti dicari dulu hehehe…”

Sudah jauh-jauh khayal nyekolahin anak ke Sorbonne, lupa harus nyiapin duit buat pendaftaran Play Group. Mungkin begitu yah kalau kita bermimpi itu. Jauh melambung keatas tapi lupa berpijak ke kenyataan. Tapi masak sih dilarang bermimpi?Justru berbahaya kan kalau kita tidak punya mimpi. Yang tidak boleh itu kita bermimpi tetapi tidak berusaha mewujudkan mimpi itu. Lagian kita sudah dibuat susah dialam nyata, masak alam mimpi mau dibuat susah juga. Jadi saya nikmati aja mimpi punya anak kuliah di Sorbonne

No comments:

Post a Comment