Monday, 23 May 2011

Memblokir Blackberry


Dimuat di HU Pikiran Rakyat 17 Januari 2011



Research in Motion (RIM) mendapat teguran cukup serius dari pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring mengancam menutup layanan Blackberry bila RIM tidak memenuhi aturan main tentang layanan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia. Salah satu aturan main yang tidak dipenuhi RIM adalah penutupan situs porno di layanan Blackberry.

Setidaknya ada tiga peristiwa, personal maupun sosial, yang melintas dalam memori ketika isu pornografi dan media mencuat kembali ke permukaan. Peristiwa pertama adalah ketika awal 1998, masa ketika warung internet menjamur di mana-mana. Riset kala itu menunjukkan, situs yang menjadi top ten dikunjungi pengguna internet adalah situs-situs yang memberikan layanan pornografi baik visual maupun audio visual. Akan tetapi, sepuluh tahun kemudian situs-situs porno terlempar dari sepuluh besar situs yang paling banyak dikunjungi digantikan situs-situs news online, blog, dan jejaring sosial.

Peristiwa berikutnya adalah pengalaman penulis dengan seorang teman yang adiktif dengan film porno. Kebiasaan ini gayung bersambut dengan tren film di bioskop-bioskop kala itu. Pada suatu waktu kami mengajak dia menonton film yang sedang jadi pembicaraan publik. Keluar dari bioskop, teman tadi terperangah. Keluarlah ungkapan yang memuji film yang baru saja ditonton dan membandingkan dengan model film yang selama ini ia tonton. Selepas itu, kebiasaannya menonton film porno pun drastis turun.

Kejadian terakhir adalah fenomena yang terjadi di beberapa negara berkembang yang sempat dikunjungi penulis. Negara-negara yang memiliki tingkat pengangguran sangat rendah, ada jaminan sosial dan kesehatan dari pemerintah, serta tingkat pendapatan ekonomi masyarakat yang jauh di atas rata-rata. Di setiap penjual koran dan majalah eceran di sana, selalu terselip majalah-majalah porno. Akan tetapi, tidak seperti anggapan kalau majalah itu akan menjadi daya tarik, masyarakat meresponsnya biasa-biasa saja.

Setidaknya ada dua benang merah dari peristiwa tadi, memberikan alternatif informasi dan hiburan yang mendidik selalu menjadi solusi untuk mengalihkan publik dari layanan informasi yang merusak dan tidak mendidik. Benang merah lainnya adalah tentang agenda hidup. Di negara maju, masyarakatnya selalu mempunyai agenda di kesehariannya. Agenda ini yang kemudian menjelma dalam aktivitas keseharian yang tertata dengan baik. Setiap orang akan menyensor segala macam bentuk aktivitas yang tidak akan mendukung orientasinya. Majalah porno akan masuk keranjang sampah pada suatu masyarakat yang mempunyai aktivitas jelas. Hal inilah yang sedang menjadi problem kita, yaitu minimnya aktivitas masyarakat (baca: lapangan pekerjaan).

Tidak ada yang salah dengan ancaman pemerintah terhadap RIM. Karena memang tugas pemerintah adalah menjalankan UU yang menyatakan pelarangan terhadap pornografi dan melindungi warganya dari perilaku yang meresahkan.

Masalahnya mungkin menjadi sangat sulit ketika dihadapkan kepada pertanyaan, ke mana dan bagaimana sebetulnya kebijakan politik komunikasi pemerintah akan dijalankan? Dari sini juga lahir pertanyaan kedua, bagaimana sebetulnya selama ini pemerintah menganggap warganya?

Pelarangan atau pembatasan adalah salah satu strategi kebijakan. Akan tetapi, bila polanya terus seperti ini, akan melawan psikologi publik yang sejak pascareformasi didorong untuk terus berekspresi menyatakan penolakan terhadap segala bentuk pelarangan. Bila terus seperti ini, yang terjadi adalah sesuatu yang sangat kontraproduktif. Kekuasaan, jaringan, sumber daya uang pemerintah akan terbuang sia-sia bila terus-menerus dipakai untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak memenuhi kepentingan publik. Mungkin akan lebih baik bila energi dan segala sumber daya pemerintah dihabiskan untuk mendorong, mengajak, dan melayani partisipasi publik dalam menyediakan informasi alternatif yang menjadi kebutuhan publik.

Contoh kecil dalam konteks pengembangan IT. Publik belum mendengar bagaimana optimalisasi penggunaan IT untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana pemerintah mengembangkan IT untuk mendukung kegiatan pertanian sehingga petani bisa memanfaatkan IT sebagai penunjang aktivitas mereka, baik dalam proses penanaman maupun penjualan hasil bertani. Mungkin hal itu sudah dilakukan, tetapi ketika tidak optimal disosialisasikan, akan dianggap tidak dilakukan.

Dalam konteks lain, Kominfo bisa mulai menghadirkan layanan informasi yang menarik seperti memperbaiki situs-situs kementerian atau pemerintah daerah yang tampil apa adanya, monoton, dan kadang hanya update ketika masa penerimaan CPNS, menjadi situs yang menarik, interaktif, update, dan menjadi rujukan publik.

Bagaimana sebetulnya selama ini pemerintah menganggap masyarakatnya? Apakah pemerintah menganggap masyarakat sebagai kumpulan orang yang tidak berpengetahuan dan tidak berdaya sehingga harus terus menerus dilindungi atau pemerintah mengganggap masyarakat kita sebagai kumpulan orang yang tidak berpengetahuan, tetapi memiliki potensi sehingga solusinya adalah memberikan fasilitas dan dorongan untuk berkreasi?

Di sinilah yang kemudian menjadi kontradiksi sikap pemerintah. Pada satu sisi, pemerintah sering menganggap masyarakat sebagai kumpulan orang tidak berpengetahuan dan tidak punya inisiatif, di sisi lain muncul ungkapan-ungkapan menuntut partisipasi publik dari pemerintah. Menuntut sesuatu dari kumpulan orang yang dianggap tidak berpengetahuan tentunya sesuatu yang absurd.

Kebijakan komunikasi mestilah berangkat dan berjalan berdasarkan pandangan yang utuh dan lengkap terhadap masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi target dan aktor dari setiap kebijakan komunikasi yang dilahirkan pemerintah.

No comments:

Post a Comment