Konon dahulu kala ada sekelompok orang yang lama hidup dalam sebuah gua. Berita tentang ganasnya kehidupan di luar gua, membuat mereka enggan keluar gua dan menganggap gua sebagai sebaik-baik dan senyaman tempat. Semua kebutuhan hidup mereka sudah tersedia didalam gua sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk keluar. Sementara itu untuk mengusir binatang, memasak dan penerangan, mereka membuat api besar depan pintu gua. Karena api dinyalakan didepan pintu gua, api memantulkan bayangan apapun yang melintas di luar pintu gua.
Sekian lama mereka hidup gua, sekian lama itu juga mereka menganggap bahwa bayangan di dinding gua adalah yang sesungguhnya. Bagi mereka pohon yang ada di depan gua adalah seperti bayangannya yang ada di dinding gua. Begitu juga dengan harimau, beruang dan manusia yang lewat di depan gua, mereka adalah seperti yang terlihat bayangannya di dinding gua. Mereka tidak menyadari kalau bayangan di dinding gua hanyalah citra semata bukan yang sesungguhnya. Sampai suatu saat ketika mereka harus keluar dari gua, mereka terkejut melihat realita yang sesungguhnya. Ternyata sesuatu yang mereka anggap sebagai pohon, harimau, rumput, manusia tidaklah seperti yang mereka lihat di dinding gua. Realitas sesungguhnya ternyata lebih berwarna, lebih menarik dan kadang lebih menakutkan
Cerita diatas diungkap Plato sebagai sebuah itibar tentang keterbatasan setiap orang dalam mencerna setiap realitas. Kebanyakan orang sesungguhnya menurut Plato hanya mampu mencerna realitas bayangan bukan realitas sesungguhnya. Kalau orang ingin mengetahui realitas sesungguhnya seperti apa, maka orang tersebut mesti bergerak keluar dari kungkungan gua dan melihat secara langsung realitas sesungguhnya
Karena keterbatasan setiap orang untuk bisa keluar dari pintu gua, hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk dengan sengaja memanipulasi dengan mengatakan bahwa mereka menyajikan sedang sebuah realita padahal yang disajikan hanyalah bayangan. Para penipu publik itu bisa berarti sekelompok masyarakat bisa juga media yang kesehariannya mewartakan sebuah kejadian di suatu tempat ke masyarakat yang tidak ada di tempat tersebut.
Media sendiri pada dasarnya tidak selalu ingin memberikan realita kedua. Ada keterbatasan tekhnis maupun keterbatasan mendasar sehingga media hanya bisa memberikan realitas bayangan. Keterbatasan tekhnis bisa berupa keterbatasan tekhnologi, ruang di media atau human error untuk bisa mengurai fakta dimaksud. Sedangkan keterbatasan mendasar bisa berupa kapasitas tekhnis dan intelektual para juru warta yang dimiliki masing-masing media.
Selain dua faktor diatas, media hanya menyiarkan bayangan adalah karena idiologi atau keberpihakan yang menjadi naluri setiap pemilik dan pekerja media. Bila sudah menyinggung hal ini, maka sebetulnya kita tidak sedang membicarakan keterbatasan media, tetapi kita sedang membicarakan media yang sedang mendistorsi realita. Ada kepentingan politik, ekonomi maupun sosial dibalik pemberitaan yang dilakukan media.
Menghindari berkembangnya media yang berpretensi mendistorsi realita inilah kemudian banyak orang memunculkan perlunya diversifikasi pemilik dan diversifikasi konten media. Meskipun tidak berjalan sempurna, kita setahap demi setahap sedang berjalan menuju kedua hal diatas. Indonesia memang dikenal sebagai negeri seribu media tapi satu berita, tetapi kita melihat adanya perbedaan perspektif dari setiap pemberitaan memberikan keleluasaan pada setiap pembaca untuk melakukan penilaian akhir akan apa yang diwartakan media.
Diluar kedua hal diatas, menghindari bayangan yang mendistorsi, kita sedang berhadapan dengan berkembangnya citizen journalism, aktivitas journalistik berbasis partisipasi warga, yang akan membantu kita melihat bayangan yang mendistorsi. Meskipun perkembangannya masih terhalang tembok idiologi politik dan ekonomi media, tetapi dalam banyak hal kita bisa berharap besar kepada pola ini. Terlebih ketika publik demam situs jejaring sosial dan tidak meninggalkan blog sebagai sarana mengekspresikan pandangan.
Setidaknya kita sudah melihat bagaimana sebuah surat pembaca bisa menentukan headline media, agenda pemerintah serta perhatian nasional. Hal yang tidak pernah kita alami sebelumnya. Ada kasus Prita yang melahirkan gerakan solidaritas koin untuk Prita, ada juga kasus Gayus yang telah membuka tabir sejelas-jelasnya akan sosok para penegak hukum kita. Terakhir kita sedang melihat bagaimana keluh kesah seorang Alinda Kariza tentang orang tuanya yang dituntut secara tidak proporsional oleh para jaksa, telah memancing perhatian media dan kembali membuat publik mempertanyakan profesionalitas para jaksa dalam menegakan hukum
Semestinya siapapun tokoh atau organisasi, harus kembali menimbang kembali agenda politik yang dibangun hanya berbasis citra, bukan realita sesungguhnya. Selain hal diatas, banyak hal yang menyebabkan masyarakat bisa kritis melihat realita sesungguhnya dari setiap tampilan publik. Selain berkembangangnya citizen journalism yang sering menentukan arah pemberitaan media kepada realitas yang sesungguhnya, kita sekarang juga sedang melihat totalitas kelompok-kelompok masyarakat yang gigih menolak setiap upaya distorsi realita. Terakhir kita lihat bagaimana kaum agamawan dan para tokoh intelektual sudah menyuarakan suara hatinya terhadap kondisi ini.
Kelompok-kelompok masyarakat ini kemudian gaungnya berkembang lebih besar bukan hanya karena militansi gerakannya, tetapi juga bersinergi dengan pers baik itu yang mempunyai kepentingan politik pemberitaan, maupun pers yang berkepentingan dengan ekonomi pemberitaan. Kedua pers ini mempunyai kepentingan untuk tetap menjaga langit Indonesia tetap riuh dengan berita yang sesuai dengan misi masing-masing. Bila sudah seperti ini, maka dalam banyak hal pemerintah mesti mengingat aksioma tentang “kebenaran adalah kesalahan yang diucapkan berulang-ulang”
Diluar kedua hal diatas, pada dasarnya ada hukum alam yang mengingatkan kita untuk tidak terus menerus menampilkan citra. Hukum kebohongan mengajarkan bahwa orang hanya bisa berbohong kepada sebagian orang di sebagian waktu tetapi tidak bisa berbohong kepada seluruh orang di seluruh waktu.
Mungkin ada baiknya pemerintah belajar bagaimana Bill Clinton berhasil menghindar ancaman impeachment karena perselingkuhan. Hanya dengan cara bermain saxophone yang didampingi istri, Clinton tidak perlu berbohong atas kekeliruannya. Dan masyarakat Amerika yang dikenal tidak pernah sudi melihat pemimpinnya berselingkuh, memberi kesempatan Clinton menyelesaikan kepemimpinannya. Clinton menyajikan sebuah citra tanpa harus mendistorsi realita untuk menyelamatkan karir politiknya
Eksploitasi dunia citra berlebihan dan tidak mengindahkan kekritisan publik, hanya akan menjadi boomerang bagi kita semuanya. Pada satu sisi kita hilang kesempatan untuk mengungkapkan dan menerangkan kepada publik realita yang sesungguhnya, pada sisi lain kita juga telah berkonstribusi besar membangun budaya tidak saling percaya dan sinisme dalam kehidupan masyarakat kita. Alih-alih membangun high trust society sebagai sebuah syarat negara maju, negara malah mendorong terciptanya low trust society yang mendorong terjadinya negara gagal.
Seperti ketika mengutarakan maksud hati untuk memotivasi prajurit TNI untuk tidak terlalu memikirkan gaji tapi tetap fokus bekerja, yang muncul adalah sinisme publik karena dianggap curhat tentang gaji. Belasan instruksi tentang pengungkapan kasus mafia hukum, dijadikan publik sebagai parodi semata. Ekspresi kepedulian terhadap tindak kekerasan yang sedang melanda publik pun dipertanyakan otensitasnya. Semua dianggap citra dan hanya topeng untuk menutupi realitas yang sesungguhnya.
Kejadian seperti ini sudah sering terjadi dan pasti akan terus terjadi. Akibat dari pola seperti ini, maka masyarakat juga yang akan menjadi korban. Selain karena terbentuknya budaya sinisme dan ketidakpercayaan, konsentrasi dan energi pemerintah pun hanya untuk menjawab sinisme dan kritikan bukan untuk bekerja keras menuntaskan aneka program buat masyarakat. Saatnya menghentikan politik pencitraan
No comments:
Post a Comment