Kesekian kalinya publik dihentakan oleh tulisan di media bersifat curahan hati tanpa motif kekuasaan atau pretensi sosial politik. Adalah Alinda Kariza yang gundah gulana akan ketidakadilan yang menimpa Ibunya. Bagi Alinda, sangat naif bila Ibunya yang hanya kepala legal Bank Century, dituntut jaksa melebihi tuntutan master mind pelaku kejahatan Bank Century.
Keadaan menjadi sangat menyedihkan ketika sang Ibu adalah tulang punggung keluarga. Dan lebih ironi bila mengingat konstribusi Alinda yang telah mengharumkan Indonesia di forum-forum pemuda internasional dengan segudang prestasi internasionalnya. Hal yang kita yakin tidak pernah dicapai oleh para jaksa.
Curhat Alinda sontak jadi perhatian publik. Situs-situs jejaring sosial dan media memberi perhatian penuh. Selanjutnya seperti yang sudah diduga, kejaksaan tidak bisa berargumen secara terang dan politisi bersuara untuk mencitrakan seolah mereka peduli. Salah seorang anggota legislatif menyatakan Alinda bisa mengadukan masalah ini pada Jamwas. Sebuah retorika politik tanpa makna, karena sejak kapan publik mempunyai akses luas dan diperlakukan layak bila mengadu ke insitusi seperti Jamwas.
Curhat Alinda mengingatkan kita pada koin prita dan surat pembaca tentang Gayus. Koin Prita berawal dari curhat Prita di internet tentang layanan Rumah Sakit internasional yang sangat mengecewakan. Karena respon Rumah Sakit negatif, curhat ini menggelinding menjadi isyu publik dan membangkitkan solidaritas publik. Begitu juga dengan kasus palesiran Gayus yang bernilai milyaran rupiah. Meskipun sudah ditutup dan di organisir sedemikian rupa oleh penyelenggara negara, tetapi terbongkar oleh beberapa paragrap surat pembaca.
Dua kejadian sebelum kasus Alinda ini semestinya sudah memberikan warning bagi semua penyelenggara negara bahwa perkembangan media dan masyarakat telah menempatkan mereka dalam pengawasan publik. Fungsi media sebagai social surveilance sudah semakin meluas dan menguat. Perkembangan teknologi informasi telah mendorong perubahan besar di kehidupan kita. Bila sebelumnya orang menyebut media interaktif low in socio emotional touch, tetapi perkembangan teknik penulisan dan penyajian gambar berhasil membangkitkan emosi setiap orang seolah mereka merasakan langsung apa yang dirasakan setiap korban ketidakadilan.
Tetapi hal ini tidak membuat elite negara berhenti melakukan penyimpangan. Para Jaksa tak jera menyiasati hukum. Terlebih para politisi, yang menjadi pilar kehidupan politik, telah kehilangan etika, moralitas dan prinsip dalam berpolitik. Semua bertindak untuk keuntungan diri seolah dunia akan runtuh esok hari.
Bila curhat Prita telah mendorong solidaritas publik, surat pembaca Gayus menimbulkan gelombang protes publik maka hal yang tidak jauh berbeda akan terjadi bila para politisi tidak mengindahkan public surveilance. Bila mereka menganggap masyarakat cinta damai dan tidak anarkis, mereka lupa bahwa masyarakat kita terbiasa melawan dalam kebisuan.
Kita hidup di abad teknologi komunikasi dan informasi yang memudahkan segalanya. Abad teknologi adalah abad ketika manusia semakin melek keadaan dan munculnya inisiatif publik tanpa mobilisasi. Seperti diungkap William Pasley, “Technological change has placed communication on the front lines of a social revolution” (1985). Revolusi sosial di Indonesia akan terjadi lagi bila elite absen melekatkan moralitas, etika dan prinsip dalam mengelola negara.
No comments:
Post a Comment